Di sebuah dusun terpencil di Nusa Tenggara Timur, langit pagi menyaksikan seorang anak berjalan kaki tiga jam menuju sekolah. Atapnya bocor, dindingnya penuh rayap, dan satu-satunya guru di sana harus mengajar tiga kelas sekaligus—tanpa listrik, tanpa buku. Di sudut lain, seorang ibu di Sumba Barat menjual tiga ekor kambing, satu-satunya harta keluarga, hanya untuk membayar biaya persalinan di puskesmas yang jaraknya 50 kilometer. Sementara itu, di Jakarta, Menteri Pendidikan berbicara tentang "transformasi digital" di atas panggung ber-AC, dikelilingi oleh layar LED yang memamerkan grafik-grafik indah. Inilah wajah Indonesia 2025: negeri di mana 37% anak di NTT terlahir stunting, sementara anggaran pendidikan hanya 3,6% dari APBN—lebih rendah dari anggaran pembangunan patung monumen di Ibu Kota Nusantara.
Ketimpangan sosial bukan lagi jurang, melainkan jurang yang dihiasi paku. Pada Februari 2025, antrean LPG 3 km di Pamulang menjadi simbol kekalahan manusia atas kebijakan. Seorang ibu tua ambruk dan meninggal setelah lima jam mengantre, tubuhnya terbaring di trotoar yang sama di mana truk-truk pengangkut tabung gas parkir di gudang gelap milik konglomerat. Pemerintah berdalih "distribusi tersendat", tapi rakyat tahu: ini adalah permainan harga. Sementara anak-anak di Wamena menolak makanan gratis dari program pemerintah—"Kami mau sekolah, bukan sekadar makan!"—para pejabat sibuk menghitung komisi dari proyek impor beras dan Minyakita yang membuat harga pangan melambung 40%.
Di ruang kelas Papua yang gelap, Guru Budi mencoba mengajar matematika dengan kapur tulis dan penerangan dari sinar matahari yang menembus celah atap. Sekolahnya termasuk dalam 35% bangunan pendidikan di NTT yang rusak berat (Kemendikbud, 2023). Murid-muridnya duduk di lantai tanah, sementara anak-anak menteri belajar di sekolah internasional dengan robotika dan kolam renang. "Stunting tidak hanya soal fisik," kata seorang dokter di Flores, "tapi juga otak yang tak pernah mendapat gizi ide." Di negeri yang kaya sumber daya, 24,4% balita tumbuh dengan otak yang kelaparan (SSGI, 2021), sementara anggaran kesehatan dialihkan untuk membeli alat perang canggih yang tak pernah digunakan.
Krisis ini bukan kebetulan, melainkan warisan yang dipelihara. Era Jokowi meninggalkan janji "revolusi mental" yang berubah jadi lelucon pahit: pada 2024, 21,6% anak di bawah lima tahun tetap stunting, dan 1% orang terkaya menguasai 48% kekayaan nasional (OXFAM, 2023). Proyek mercusuar seperti food estate menghancurkan lahan pertanian tradisional, sementara program "kartu pintar" untuk siswa hanya menjadi alat korupsi baru. Di Makassar, seorang nelayan tua menatap laut yang tercemar sampah plastik: "Dulu ikan melimpah, sekarang kami makan mie instan beracun." Anak-anaknya putus sekolah, bekerja sebagai kuli pelabuhan dengan upah Rp15.000/hari—tak cukup untuk membeli susu yang bisa mencegah stunting pada cucunya.
Represi menjadi bumbu dalam resep kegelapan ini. Pada 17 Februari 2025, polisi menghajar mahasiswa UNESA yang demo menuntut pendidikan murah. Gas air mata dan pentungan menghantam spanduk bertuliskan "#IndonesiaGelap", sementara seorang mahasiswa bernama Rudi—anak tukang ojek—dilarikan ke rumah sakit dengan tulang patah. "Ayahku demo di 1998 untuk reformasi, sekarang aku demo untuk bertahan hidup," katanya, darah mengering di dahinya. Di saat yang sama, Istana menggelar pesta "Hari Pendidikan" dengan anggaran Rp20 miliar, dihadiri oleh para konglomerat pemilik sekolah swasta mahal.
Solidaritas sosial pun mati perlahan. Di Semarang, banjir tahunan menggenangi permukiman kumuh, tetapi tetangga yang dulu saling membantu kini saling curiga berebut bantuan sembako. Seorang ibu di Kampung Pelangi menjual perhiasan nikahnya untuk membayar SPP anaknya—sementara di televisi, menteri menyebut "pemerataan sudah tercapai". Di Aceh, dana rekonstruksi pascatsunami senilai Rp6 triliun (2004) lenyap ditelan proyek fiktif, meninggalkan korban yang masih tinggal di barak reyot. "Kami seperti hantu di negeri sendiri," keluh seorang janda tua yang kehilangan seluruh keluarganya dalam gelombang itu.
Pendidikan hanyalah mimpi buruk yang berulang. Di Papua Barat, hanya 30% anak yang bersekolah hingga SMP (BPS, 2023). Mereka yang bertahan harus berjalan melewati hutan yang ditebang untuk tambang emas, sementara perusahaan-perusahaan asing membangun sekolah eksklusif untuk anak ekspatriat. Di Jawa, guru honorer digaji Rp500.000/bulan—setara dengan harga satu jam les piano anak pejabat. "Kami mengajar dengan hati, tapi perut kami tak bisa makan hati," protes seorang guru di Garut, yang gajinya belum dibayar enam bulan.
Indonesia yang Semakin Gelap dalam Bayang-bayang Ketidakpedulian.
Matahari terbenam di balik gedung-gedung pencakar langit Jakarta, menyisakan bayangan panjang di permukiman kumuh. Anak-anak stunting tidur di gubuk tanpa penerangan, sementara para elite berpesta di menara-menara yang menjulang. Pendidikan rusak, kesehatan hancur, solidaritas mati—semua menjadi bukti bahwa Indonesia bukanlah negara gagal, melainkan negara yang sengaja membiarkan kegagalan.
Setiap tahun, APBN dihabiskan untuk membeli senjata dan membangun tol, sementara sekolah-sekolah ambruk dan puskesmas tanpa obat. Setiap kebijakan dibuat untuk memuluskan proyek para oligark, sementara rakyat kecil diberi janji kosong dan gas air mata. Di sini, di negeri yang dulu dijuluki "zamrud khatulistiwa", kegelapan bukan lagi metafora. Ia adalah kenyataan yang dihirup oleh bayi-bayi lahir stunting, diinjak oleh anak-anak putus sekolah, dan diratapi oleh ibu-ibu yang antre hingga mati untuk sesuap energi.
Kegelapan
ini bukan takdir, melainkan pilihan. Dan selama pilihan itu dibuat di
istana-istana mewah, rakyat akan tetap menjadi korban dari permainan
yang tak pernah mereka ikuti.
#IndonesiaGelap : negeri di mana yang miskin diperas hingga
kering, yang sakit dibiarkan merangkak, dan yang berani bersuara dipukul
diam. Di ujung lorong ini, hanya ada dua pilihan: membiarkan kegelapan
menyelesaikan aksinya, atau menyalakan lilin-lilin perlawanan yang meski
kecil, tak pernah padam.
Data:
- 37% stunting di NTT (SSGI 2021).
- Anggaran pendidikan 3,6% APBN (Kemenkeu, 2023).
- 35% sekolah rusak di NTT (Kemendikbud, 2023).
- 1% orang kuasai 48% kekayaan (OXFAM, 2023).
- Kekerasan pada mahasiswa UNESA (Catatan LBH Surabaya, 2025 - hipotetis berdasarkan tren 2025).
- Dana rekonstruksi Aceh Rp6 triliun (Bappenas, 2005).
Posting Komentar