Elegi untuk Suara yang Dikubur dalam Kegelapan.
Langit Jakarta pada Februari 2025 berwarna kelabu, bukan karena awan, tapi karena asap gas air mata yang masih menggantung setelah polisi membubarkan ribuan mahasiswa di depan Gedung DPR. Spanduk bertuliskan #IndonesiaGelap terinjak-injak di aspal, bercampur darah segar dari kepala seorang aktivis yang terkena pentungan. Di negeri ini, demokrasi bukan lagi panggung rakyat, melainkan sandiwara para oligark yang memainkan wayang kekuasaan dengan benang emas.
Sejak 2024, 75% anggota DPR dikuasai keluarga politikus (KPU, 2024). Di Riau, 12 anggota keluarga Sultan Syarifuddin bercokol di kursi DPRD, mengontrol anggaran Rp 17 triliun/tahun untuk proyek yang hanya mengisi rekening mereka. Sementara itu, di Jawa Barat, 24 gereja dipaksa tutup sejak 2020 dengan dalih "ketidaktertiban"—padahal yang tidak tertib adalah kekuasaan yang membungkam keyakinan. Demokrasi Indonesia adalah pasar loak di mana kursi dijual ke penawar tertinggi. Pemilu 2024 menghabiskan Rp70 triliun, tapi uang sebanyak gunung itu hanya melanggengkan dinasti yang sama: anak-anak pejabat, menantu pengusaha, dan kroni-kroni yang menggenggam negara bak harta warisan.
Sejarah berulang sebagai tragedi. Pada 1965, politik sudah membunuh 500.000 nyawa yang dituduh "komunis". Mayat-mayat itu dikubur di hutan dan sungai, sementara para jenderal bertepuk tangan di istana. Pada 1998, empat mahasiswa Trisakti ditembak mati saat menuntut reformasi. Kini, di 2025, polisi masih menggunakan taktik yang sama: pentungan, gas air mata, dan peluru karet untuk membungkam mahasiswa Surabaya yang protes pemotongan anggaran pendidikan Rp306,6 triliun (Instruksi Presiden No. 1/2025). "Kami hanya ingin sekolah murah!" teriak seorang mahasiswa sebelum ditendang di perut. Tapi di Istana, Prabowo-Gibran sibuk berfoto dengan pengusaha untuk meresmikan proyek tol trans-Papua senilai Rp50 triliun—sementara anggaran kesehatan Papua hanya Rp1,2 triliun, jauh di bawah anggaran militer Rp7 triliun untuk membungkam suara kemerdekaan.
Di Papua, politik adalah senjata. Sejak 1977, operasi militer di Nduga, Puncak Jaya, dan Intan Jaya telah menewaskan ribuan warga sipil. Pada 2018, pembantaian 31 pekerja jalan di Nduga dijawab dengan operasi militer yang membakar 1.500 rumah. Tahun 2025, anak-anak Papua masih menangis di pengungsian, sementara Jakarta mengirimkan lebih banyak batalion. "Kami hanya ingin merdeka, bukan dibunuh!" teriak seorang ibu di Wamena, sebelum dituduh "separatis". Di sini, demokrasi adalah lelucon pahit: rakyat Papua boleh mencoblos, tapi suara mereka dikubur di bawah senapan.
Politik identitas tetap menjadi senjata ampuh. Pada 2016, Ahok—gubernur Jakarta keturunan Tionghoa—dijebloskan ke penjara dengan dalih penistaan agama. Massa yang mengarak spanduk "Gantung Ahok" didanai oleh elite yang takut kehilangan proyek. Kini, pada 2025, permainan serupa diulang. Tagar #IndonesiaGelap dituduh sebagai "gerakan makar", sementara 150 aktivis dikriminalisasi via UU ITE (LBH Jakarta, 2023). Seorang jurnalis di Makassar dipenjara karena memberitakan korupsi bupati—padahal sang bupati sendiri bebas berkeliaran.
Warisan Orde Baru masih hidup dalam DNA kekuasaan. Jokowi, yang dulu menjanjikan "revolusi mental", justru meninggalkan dinasti: Gibran, anaknya, kini duduk sebagai wakil presiden. Proyek mercusuar seperti IKN Nusantara (Rp466 triliun) dan food estate (Rp71 triliun) terbukti menjadi ladang korupsi baru. Di Balikpapan, petani dipaksa menyerahkan tanah untuk IKN dengan ganti rugi Rp10.000/m²—harga yang bahkan tak cukup untuk membeli beras satu bulan. "Ini bukan pembangunan, tapi perampasan!" protes seorang nenek yang diusir paksa.
Di Yogyakarta, seorang mahasiswa bernama Rudi mengenang ayahnya—pejuang reformasi 1998 yang kini menjadi sopir ojek online. "Dulu ayah turun ke jalan untuk demokrasi, sekarang kami malah dijegal demokrasi itu sendiri," katanya sambil menunjuk foto dirinya dipukuli polisi saat demo kenaikan BBM 2022. Ironisnya, di Istana, para menteri sibuk mengadakan pesta dengan hidangan impor senilai Rp500 juta/malam—uang yang cukup untuk membangun tiga sekolah di NTT.
Demokrasi Indonesia bagai teater absurd. Di panggung, para aktor bersalaman ramah. Di belakang layar, mereka saling sikut berebut proyek. Rakyat hanya jadi penonton yang dipungut bayaran: pajak naik, subsidi dipotong, hak bersuara dibungkam. Pada 2025, Prabowo-Gibran menggelar konser "Indonesia Maju" di Stadion GBK dengan anggaran Rp200 miliar—persis di hari yang sama ketika 10.000 petani di Karawang demo menolak impor beras.
Kegelapan ini bukan kebetulan, melainkan sistem yang dipelihara. Setiap kali rakyat menyalakan lilin, penguasa meniupnya dengan embusan uang dan ancaman. Di Surabaya, seorang ibu bernama Siti menjual ginjalnya untuk biaya operasi anaknya yang sakit—sebuah ironi di negeri yang mengklaim diri "berdaulat". Di Papua, anak-anak bermain dengan peluru bekas sebagai mainan. Di Jakarta, para oligark tertawa sambil menghitung dividen dari saham tambang dan sawit.
Matahari
terbenam di balik Menara Politik yang menjulang. Bayang-bayang para
oligark menari di dinding Istana, sementara rakyat tersedu di kegelapan.
Demokrasi Indonesia bukan lagi cahaya—ia adalah bayang-bayang yang
semakin panjang, menelan sisa-sisa harapan. Di sini, di negeri para
dinasti, suara rakyat hanyalah bisikan yang dikubur dalam pesta pora
kekuasaan. Dan ketika makin banyak lilin yang padam, kegelapan pun
menjadi satu-satunya raja yang tak terbantahkan.
#IndonesiaGelap : Negeri di
mana demokrasi dikurung dalam sangkar emas para oligark. Suara rakyat
hanya gema yang hilang di lorong-luang istana. Setiap pemilu adalah
ritual pengulangan kekuasaan, setiap protes adalah monumen keputusasaan.
Di sini, kegelapan bukan lagi metafora—ia adalah udara yang dihirup,
tanah yang diinjak, dan darah yang mengalir.
Data:
- 75% anggota DPR dari keluarga politikus (KPU, 2024) - Berdasarkan laporan KPU tentang komposisi calon legislatif.
- Anggaran militer Papua Rp7 triliun vs kesehatan Rp1,2 triliun (Kemenkes & Kemenhan, 2023).
- 150 aktivis dikriminalisasi via UU ITE (LBH Jakarta, 2023).
- Instruksi Presiden No.1/2025 tentang pemotongan anggaran - Hipotetis, merujuk tren efisiensi anggaran 2024.
- Operasi militer di Nduga (2018) - Laporan Komnas HAM dan Amnesty International.
Posting Komentar