Kita seakan membuka lapisan ironi mendalam pada narasi antroposentris modern. Jika munculnya narasi eksplisit tentang antroposentrisme saat ini bertujuan untuk bertahan hidup, maka hal itu memang mencerminkan bentuk antroposentrisme yang lebih subtil tetapi juga lebih nyata. Pada dasarnya, manusia tidak sedang melampaui antroposentrisme, melainkan menyesuaikannya dengan konteks baru, yaitu menyelamatkan dirinya sendiri dari dampak perilakunya terhadap planet ini.
Narasi ini sering hadir dalam bentuk kritik terhadap eksploitasi alam atau perubahan iklim, tetapi jika dilihat dari motivasinya, banyak yang mendasarkannya pada upaya mempertahankan keberlanjutan manusia, bukan planet itu sendiri. Misalnya, kampanye untuk mengurangi emisi karbon atau menjaga keanekaragaman hayati sering kali dibingkai dengan argumen seperti "agar generasi mendatang tetap memiliki kehidupan yang layak" atau "agar manusia tetap bisa bertahan di bumi." Dalam narasi ini, fokusnya tetap pada manusia sebagai pusat, meskipun dibalut dengan kesadaran lingkungan.
Hal ini menunjukkan bahwa antroposentrisme tidak menghilang, tetapi justru berevolusi menjadi bentuk yang lebih kompleks. Perilaku dan narasi manusia masih berpusat pada dirinya, tetapi kini dengan alasan yang lebih "mulia" atau "global." Bahkan, konsep seperti "Antroposen" yang seolah-olah mengkritik dampak destruktif manusia, pada akhirnya masih berorientasi pada cara manusia dapat bertahan hidup di era perubahan besar yang sebagian besar diciptakannya sendiri.
Bisa dikatakan, ini adalah antroposentrisme dalam bentuk reflektif, di mana manusia menyadari bahwa kelangsungan hidupnya bergantung pada menjaga keseimbangan dengan alam. Tetapi, perhatian ini sering kali tidak benar-benar tulus terhadap alam itu sendiri. Misalnya, langkah-langkah untuk melindungi spesies tertentu sering kali dilakukan bukan demi keberadaan spesies tersebut, tetapi karena spesies itu dianggap penting untuk ekosistem yang mendukung kehidupan manusia.
Dengan demikian, kritik terhadap antroposentrisme modern sering kali berakhir menjadi bentuk antroposentrisme baru yang lebih terselubung. Upaya manusia untuk "menyelamatkan planet" sebenarnya adalah upaya untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Ini bukan sekadar masalah moralitas, tetapi sebuah refleksi mendalam tentang bagaimana manusia, sebagai spesies yang sadar akan dampaknya, tetap tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari kerangka berpikir bahwa dirinya adalah pusat dari semua hal.
Melampaui Antroposentrisme Reflektif?
Saya mengajak Anda membayangkan gambaran sebuah paradoks menarik yang sering terabaikan: milyaran planet di alam semesta terus berproses tanpa sedikit pun campur tangan manusia. Namun, ketika berbicara tentang bumi, kita melihat usaha besar-besaran manusia untuk "menyelamatkan" planet ini—sebuah kampanye yang, meskipun berlandaskan niat baik, tetap menunjukkan pola pikir yang terpusat pada manusia. Bumi dibela bukan karena bumi itu sendiri, tetapi karena keberadaan manusia di dalamnya. Hal ini bisa dianggap sebagai ironi, kelucuan, atau mungkin sekadar cerminan dari keterbatasan perspektif manusia yang masih sulit melampaui dirinya sendiri.
Setelah fase antroposentrisme reflektif seperti ini, mungkin akan ada bentuk narasi baru yang berkembang, terutama jika manusia terus melampaui batas-batas tradisional kehidupannya di bumi. Misalnya, eksplorasi luar angkasa yang semakin intensif bisa melahirkan kosmosentrisme—sebuah pandangan di mana manusia mulai memandang dirinya sebagai bagian dari proses kosmik yang lebih besar, bukan sekadar penghuni bumi. Dalam kerangka kosmosentris ini, manusia mungkin tidak lagi memprioritaskan "menyelamatkan bumi" secara eksklusif, melainkan memikirkan posisi dan peran spesiesnya dalam skala alam semesta yang jauh lebih luas.
Hanya saja, transisi ini tidak akan mudah. Manusia harus terlebih dahulu menghadapi keterbatasan biologis dan psikologisnya. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang dirancang untuk berpikir secara lokal—tentang dirinya, komunitasnya, dan lingkungannya. Untuk benar-benar melampaui antroposentrisme, manusia harus melampaui pola pikir instingtif ini, yang hanya mungkin terjadi jika terjadi perubahan evolusioner, baik biologis maupun kognitif, mungkin dengan bantuan teknologi.
Jika narasi yang lebih baru muncul, itu kemungkinan besar akan berorientasi pada post-humanisme, di mana manusia mulai melepaskan diri dari identitasnya sebagai spesies yang terikat pada bumi. Dalam dunia yang sudah penuh dengan teknologi seperti AI, Brain-Computer Interfaces, atau bahkan migrasi antarplanet, narasi manusia sebagai pusat segalanya mungkin perlahan-lahan terkikis. Alih-alih menyelamatkan bumi, manusia mungkin mulai mengadopsi pandangan bahwa semua kehidupan, baik di bumi maupun di tempat lain, adalah bagian dari jaringan yang saling terkait di alam semesta.
Namun, jika narasi seperti ini tidak muncul dan manusia tetap terjebak dalam antroposentrisme, ada risiko bahwa perjuangan untuk "menyelamatkan bumi" hanyalah perpanjangan dari upaya manusia untuk mempertahankan eksistensinya sementara mengabaikan skala kosmik yang lebih besar. Ini adalah pilihan evolusi naratif yang akan menentukan apakah manusia tetap berada dalam lingkaran sempit egosentriknya, atau benar-benar mampu melampaui batas-batas itu untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Posting Komentar
...