Dalam film The Matrix, Morpheus menyodorkan pilihan sederhana kepada Neo: pil merah untuk kebenaran yang menghancurkan, atau pil biru untuk ilusi yang menenangkan. Dua dekade kemudian, metafora itu bukan lagi fiksi. Kita hidup di zaman pil biru massal—zaman di mana kebenaran direndam dalam lautan hoaks, algoritma memeluk prasangka, dan ketakutan akan realitas dijual sebagai komoditas. Tapi di balik pilihan hitam-putih itu, tersembunyi pertanyaan yang lebih dalam: bisakah manusia bertahan tanpa ilusi? Ataukah kebenaran adalah beban yang hanya bisa dipikul oleh segelintir Neo?
Filsuf Friedrich Nietzsche pernah menggambarkan kebenaran sebagai bongkahan es yang retak di bawah kaki mereka yang tak sanggup memikulnya. Bagi Nietzsche, menerima realitas yang keras—bahwa hidup tak punya makna bawaan, bahwa tuhan mungkin sudah mati—adalah ujian bagi jiwa yang berani. Tapi Jean-Paul Sartre membalikkan narasi itu: kebenaran, katanya, adalah tanah subur kebebasan. Tanpa ilusi, kita bisa merajut makna sendiri, meski itu berarti terjun ke jurang ketidakpastian. Di sini, di persimpangan antara beban dan kebebasan, manusia modern terjebak. Kita tahu pil merah itu perlu, tapi pil biru terasa begitu manis—seperti selimut hangat di malam yang dingin.
Teknologi, ironisnya, menjadi penjual pil biru terampuh abad ini. Media sosial—dengan algoritma yang haus engagement—telah mengubah kebohongan jadi tarian yang memabukkan. Setiap hari, jutaan orang dikurung dalam echo chamber, disuguhi konten yang mengukuhkan prasangka, sementara fakta-fakta tak sedap dipinggirkan. Pada 2020, riset MIT membuktikan hoaks menyebar enam kali lebih cepat daripada kebenaran. Di Ukraine, video deepfake Presiden Zelenskyy menyerah pada Rusia sempat memicu kepanikan global. Kita tak lagi hidup di dunia yang bisa dipercaya; kita hidup di pabrik ilusi, di mana palsu dan asli bercampur seperti air dan minyak di dalam gelas keruh.
Tapi kabar buruknya: pil biru tak cuma memabukkan—ia juga mematikan. Selama pandemi COVID-19, hoaks tentang vaksin dan 5G meracuni jutaan pikiran. Di Brasil, petani menolak imunisasi karena percaya vaksin adalah "tanduk setan". Di India, ratusan tewas setelah menenggak alkohol sebagai "obat COVID". Ini bukan lagi soal salah paham—ini epidemi ketakutan yang diproduksi oleh mesin disinformasi. Filsuf Byung-Chul Han menyebutnya "masyarakat transparan": kita tenggelam dalam banjir informasi, tapi justru semakin buta.
Lalu, bagaimana melawan ini? Jawabannya mungkin terletak pada pendidikan—tapi bukan pendidikan yang sekadar menuangkan fakta ke dalam kepala. Paulo Freire, pemikir Brasil, mengkritik sistem pendidikan banking yang hanya mencetak penurut. Yang kita butuhkan adalah literasi digital yang mengajarkan anak-anak memilah fakta dari fiksi, mengenali bias algoritma, dan bertanya, "Apa buktinya?" Finlandia telah membuktikan ini: dengan kurikulum literasi media sejak SD, mereka berhasil membentengi generasi muda dari hoaks. Tapi pendidikan saja tak cukup. Seni dan sastra bisa jadi senjata rahasia—di Brasil, komikus mengubah hoaks politik jadi meme satire; di Indonesia, lagu-lagu Iwan Fals dulu menyelipkan kritik sosial di balik melodi ceria.
Lihatlah dua ujian terbesar zaman ini: pandemi dan perang. Saat COVID-19 melanda, WHO tak hanya melawan virus, tapi juga infodemi—wabah hoaks yang menyebar lebih cepat dari varian Delta. Di Ukraina, perang fisik dibayangi perang informasi: Rusia membanjiri media dengan narasi palsu yang saling bertentangan, membuat publik lelah dan akhirnya pasrah. Di tengah kekacauan ini, kebenaran tak cuma harus benar—ia harus menarik, cepat, dan mudah dicerna.
Tapi ada harapan. Filsuf Martha Nussbaum mengingatkan: kebenaran tak perlu kejam. Dengan kebenaran berbelas kasih, kita bisa menyampaikan fakta tanpa merendahkan. Alih-alih menertawakan penganut Bumi datar, ajak mereka melihat bumi bulat lewat teleskop. Ganti narasi "perubahan iklim membunuh" dengan kisah nelayan yang kehilangan mata pencaharian karena naiknya permukaan air laut. Di sini, kebenaran dan empati berpelukan—seperti kintsugi, seni Jepang yang memperbaiki retakan dengan emas.
Jika The Matrix dibuat ulang hari ini, mungkin Morpheus akan menawarkan pil ketiga: pil hijau untuk metaverse—dunia baru di mana realitas dan ilusi menyatu. Tapi di dunia itu, pertarungan tak lagi merah vs biru. Yang tersisa adalah pertanyaan abadi: bagaimana tetap manusiawi saat kebenaran dan kebohongan sama cairnya?
Di ujung semua ini, mungkin Rumi paling tepat menjawab: "Di antara benar dan salah, ada lapangan. Aku akan menunggumu di sana."
Di lapangan itu, kita bisa menari—dengan pil merah di satu tangan, pil
biru di tangan lain, dan tawa yang mengakui: kita semua sedang bermain
game yang aturannya tak pernah jelas. Yang penting, jangan berhenti
bertanya. Sebab di era post-truth, pertanyaan adalah pemberontakan
terakhir yang tersisa. (part 1 dari 6)
baca enam rangkaian essai ini
➮ part 2: Transisi Manusia Menuju Era Simulasi
➮ part 3: Catatan dari Pinggiran Literasi
➮ part 4: Menjadi Penulis dan Tahanan Kisahnya Sendiri
➮ part 5: Kopi, Kode, dan Kegelisahan Eksistensial
➮ part 6: Puing-puing Narasi dan Secangkir Kopi Kosmik
Posting Komentar
...