Catatan dari Pinggiran Literasi

     Di sudut pelosok Nusa Tenggara Timur, seorang ibu paruh baya dengan tekun menganyam daun lontar menjadi atap rumah. Tangannya lincah bergerak, tapi matanya kosong menatap debu yang beterbangan. Ia percaya bahwa anaknya yang demam tinggi bisa sembuh dengan air keramat dari gua leluhur, bukan dengan obat klinik yang jaraknya hanya tiga kilometer. Cerita ini bukan tentang kebodohan, tapi tentang ilusi yang hidup subur di tanah gersang literasi. Di sini, di masyarakat yang menggenggam erat tradisi namun buta huruf, kebenaran tak pernah hitam-putih—ia adalah bayangan yang menari di antara cahaya dan kegelapan.

     Masyarakat literasi rendah sering disebut tertinggal, tapi mereka sebenarnya ahli dalam seni bertahan hidup. Ilusi bukanlah musuh di sini—ia adalah teman setia yang melindungi mereka dari teriknya realitas. Ketika data statistik tentang stunting atau angka putus sekolah tak sampai ke meja makan, yang tersisa adalah mitos turun-temurun: "Anak kurus itu tanda dikasihani roh nenek" atau "Sekolah hanya untuk yang punya rezeki". Hoaks politik? Di sini, yang berkuasa adalah dongeng tentang calon pemimpin yang konon bisa mengubah tongkat jadi emas. Ilusi-ilusi ini adalah tameng dari dunia luar yang asing dan menakutkan.

     Tapi siapa yang menjahit tameng ini? Bukan tanpa sebab masyarakat memilih percaya pada hal-hal irasional. Di balik ilusi, ada struktur kekuasaan yang memetik manfaat. Elite lokal, dukun, bahkan oknum agama, dengan sengaja memelihara kegelapan. Mereka tahu: masyarakat yang melek huruf akan mulai mempertanyakan mengapa tanah adat dijual ke perusahaan tambang, atau mengapa dana desa selalu menguap entah ke mana. Di sini, buta huruf bukan sekadar tak bisa baca—ia adalah bentuk kontrol sosial yang menjaga status quo.

     Lalu, bagaimana cara membawa cahaya tanpa membakar tameng yang melindungi mereka? Inilah seni yang rumit. Seorang aktivis pendidikan di Sumba bercerita: ia tak pernah datang dengan jargon "literasi" atau "fakta ilmiah". Ia memulai dengan duduk di bawah pohon beringin, mendengarkan cerita nenek-nenek tentang hantu penunggu sungai. Perlahan, ia selipkan kisah tentang bakteri yang mengintai di air kotor. "Kita harus bicara dalam bahasa mereka," katanya, "bukan dalam bahasa kita." Hasilnya? Masyarakat mulai membangun jamban sederhana—bukan karena paham sanitasi, tapi karena takut "roh bakteri" mengganggu anak cucu.

     Inilah paradoks yang pahit: kebenaran harus menyamar agar bisa diterima. Di Jawa Timur, kader kesehatan menggunakan wayang kulit untuk menjelaskan pentingnya vaksinasi. Di pedalaman Kalimantan, data deforestasi diubah menjadi lagu tradisional. Tapi strategi ini bukan tanpa risiko. Saat seorang pemuda di Flores mencoba membongkar mitos tentang "tanah larangan" yang dianggap keramat—padahal hanya lahan tak subur—ia diusir warga. "Kau mau kutukan nenek moyang menimpa kita?" bentak seorang tetua.

     Di sinilah dilema muncul: apakah menghancurkan ilusi demi kemajuan adalah bentuk keberanian atau keangkuhan? Paulo Freire, filsuf pendidikan, mengingatkan: "Masyarakat tertindas bukan butuh diselamatkan, tapi diajak melihat rantai yang membelenggu mereka." Tapi bagaimana jika rantai itu terbuat dari emas ilusi yang mereka anggap perhiasan?

     Jawabannya mungkin ada pada kesabaran. Seperti kisah gerakan Ibu Pembelajar di Sumba: butuh lima tahun bagi para ibu buta huruf itu untuk berani menandatangani dokumen dengan nama sendiri, bukan cap jempol. Prosesnya lambat, tapi setiap langkah kecil adalah pemberontakan. Mereka tak perlu jadi Neo yang heroik—cukup jadi lilin kecil yang menerangi sudut ruangannya sendiri.

     Di ujung semua ini, kita belajar bahwa literasi bukan sekadar soal baca-tulis. Ia adalah senjata untuk membedakan tameng dari penjara. Tapi di masyarakat yang ilusi adalah napas hidupnya, tameng itu perlu dihormati sebelum perlahan diganti dengan kaca bening. Sebab, seperti kata pepatah: "Air selalu lebih dalam dari apa yang dipantulkannya." Di balik ilusi yang tampak naif, ada arus kebijakan lokal yang tak boleh diabaikan.

     Mungkin tugas kita bukanlah menghancurkan ilusi, tapi menyulam benang kebenaran ke dalam tenun mitos. Agar suatu hari, saat ibu penenun itu melihat anaknya sembuh berkat obat klinik, ia tetap bisa percaya bahwa roh nenek moyang tersenyum dari balik awan. (part 3 dari 6)


Inilah paradoks yang pahit: kebenaran harus menyamar agar bisa diterima.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.