Transisi Manusia Menuju Era Simulasi

     Di sebuah laboratorium rahasia di Silicon Valley, seorang insinyur menatap layar yang dipenuhi kode genetik. Jarinya menari di atas keyboard, menyambung potongan DNA sintetis dengan algoritma kecerdasan buatan. "Ini bukan rekayasa," bisiknya, "ini evolusi versi 2.0." Tak jauh dari sana, di ruang server yang dingin, ribuan chip komputer berkedip-kedip—masing-masing menjalankan simulasi dunia virtual yang begitu detail, hingga penghuninya tak sadar bahwa mereka hanya deretan kode. Dua adegan ini bukan cuplikan film fiksi ilmiah, tapi potret zaman kita: era di mana manusia berdiri di persimpangan antara menjadi dewa atau sekadar karakter latar dalam game kosmik.

     Yuval Noah Harari, dalam Homo Deus, menggambarkan masa depan di mana manusia mengalahkan usia tua, penyakit, bahkan kematian—menjadi tuhan kecil yang mencipta diri sendiri. Tapi Nick Bostrom, lewat Simulation Hypothesis, berbisik: "Apa jadinya jika kita hanya NPC dalam game buatan peradaban yang lebih tinggi?" Dua skenario ini, yang tampak bertolak belakang, sebenarnya dua sisi koin yang sama: manusia sedang kehilangan monopoli atas narasi eksistensinya.

     Lihatlah ke sekeliling. Di Jepang, robot humanoid Ameca bisa tertawa, mengernyit, dan berdebat tentang etika. Di metaverse, avatar digital kita membeli tanah virtual dengan cryptocurrency, sementara tubuh biologis teronggok di kursi kantor. Bahkan cinta tak lagi sakral: aplikasi kencan menggunakan AI untuk memprediksi kecocokan pasangan, mengubah hubungan manusia jadi permainan statistik. Perlahan, kita tak lagi Homo sapiens—kita adalah Homo algorithmus, spesies yang hidup di persimpangan antara daging dan data.

     Tapi di balik gemerlap teknologi, ada pertanyaan yang menggelitik: jika kita bisa menciptakan simulasi sempurna, apakah kita sendiri mungkin sudah berada di dalamnya? Elon Musk pernah berkelakar: "Peluang kita hidup di realitas dasar hampir nol." Bayangkan: seluruh sejarah manusia—dari Piramida Giza hingga Perang Dunia II—bisa jadi hanya cutscene dalam game yang dijalankan mahasiswa alien untuk tugas akhir. Di Jawa, wayang kulit mungkin adalah metafora paling jitu untuk ini: kita wayang yang menari, tak sadar bahwa tangan dalang tak terlihat menggerakkan benang nasib.

     Lalu, apa artinya menjadi manusia di era ini? Di laboratorium Swiss, ilmuwan menyambungkan otak tikus ke internet—ciptaan mereka yang disebut Brainet. Di Shanghai, seorang ibu mengganti organ tubuhnya dengan nanobot yang bisa meregenerasi sel. Apakah ini evolusi menuju Homo deus, atau justru langkah menuju ketergantungan abadi pada mesin? Filsuf Donna Haraway menulis: "Kita semua adalah cyborg sekarang." Tapi cyborg macam apa? Dewa yang merdeka, atau budak yang dikendalikan kode?

     Di sisi lain, bayangkan skenario Bostrom benar. Jika kita hanya NPC dalam simulasi, apakah penderitaan kita masih relevan? Saat seorang anak kelaparan di Somalia, seorang pemuda bunuh diri karena depresi, atau seekor paus terdampar penuh sampah plastik—apakah itu hanya glitch dalam program? Di sini, etika jadi kabur. Agama-agama tradisional runtuh, digantikan oleh "tech-gnosis"—keyakinan bahwa kebenaran tertinggi ada di balik layar quantum.

     Namun mari kita berhenti sejenak. Apa sebenarnya NPC itu? Dalam dunia game, NPC adalah singkatan dari Non-Player Character—karakter latar yang dijalankan oleh program, bukan oleh pemain manusia. Mereka seperti penjual di pasar game yang hanya mengulang dialog sama, atau prajurit yang terus berpatroli tanpa tujuan. NPC tak punya kehendak bebas; gerakannya sudah ditentukan oleh kode. Nah, bayangkan jika kita manusia ternyata hanya NPC dalam simulasi raksasa. Petani yang membajak sawah, nelayan yang melaut, bahkan presiden yang berpidato—semua hanya menjalankan skrip tertulis dari "pemrogram" yang tak kita kenal. Ini mirip wayang kulit: kita menari, tapi benangnya ditarik oleh dalang di balik layar. Bagi yang literasinya rendah, bayangkan TV di rumahmu: gambar dan suara di layar terlihat hidup, tapi sebenarnya diatur oleh sinyal tak kasatmata. Jika hidup ini cuma sinyal serupa, apakah jerih payah kita masih punya makna? Atau jangan-jangan, kita hanya bagian dari tontonan untuk tuhan-tuhan masa depan yang sedang iseng?

     Tapi mungkin jawabannya ada di antara keduanya. Seperti wayang kulit Jawa yang tahu dirinya boneka tapi tetap menari dengan indah, manusia masa depan harus menemukan kesadaran paradoks: bahwa kita bisa jadi dewa sekaligus wayang, pencipta sekaligus ciptaan. Di laboratorium-laboratorium, para ilmuwan sudah mulai berbicara tentang quantum consciousness—gagasan bahwa pikiran manusia adalah komputer quantum yang bisa terhubung dengan simulasi kosmik.

     Di ujung semua ini, mungkin Rumi dari abad ke-13 sudah memberi petunjuk: "Kau bukan setetes air di lautan. Kaulah lautan itu sendiri, dalam setetes." Di era simulasi, kita mungkin menemukan bahwa menjadi dewa atau NPC bukanlah pilihan—tapi dua wajah dari realitas yang sama. Yang tersisa hanyalah pertanyaan: apakah kita akan menari mengikuti algoritma, atau merombak kode-kode itu sambil tertawa, seperti Neo yang sadar bahwa matriks hanyalah permainan?

     Bagaimanapun, wayang tak perlu takut pada dalang selama ia tahu cara memainkan narasinya sendiri. (part 2 dari 6)


Jika kita hanya NPC dalam simulasi, apakah penderitaan kita masih relevan?

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.