Menjadi Penulis dan Tahanan Kisahnya Sendiri

     Di sudut ruang kerjanya yang dipenuhi buku, seorang penulis muda menatap layar kosong. Jarinya menggantung di atas keyboard, ragu antara menulis kisah hidupnya yang jujur atau mengarang versi yang lebih menarik untuk dibagikan di media sosial. Di luar jendela, langit mendung seolah mencerminkan kebimbangannya: "Apakah aku harus menjadi protagonis yang heroik atau sekadar karikatur yang disukai algoritma?" Pertanyaan ini bukan miliknya sendirian. Di era di mana setiap orang adalah penulis sekaligus tokoh utama dalam novel hidupnya, kita semua terjebak dalam paradoks naratif—merajut cerita untuk bertahan, tapi terbelenggu oleh benang-benang ilusi yang kita tenun sendiri.

     Manusia adalah makhluk pencari cerita. Sejak zaman mitos penciptaan hingga status Instagram yang dipoles filter, kita selalu membutuhkan narasi untuk memberi makna pada kekacauan. Tapi di abad ke-21, narasi bukan lagi sekadar alat memahami dunia—ia menjadi konsumsi publik. Setiap hari, kita menyunting kehidupan menjadi potongan-potongan yang layak dijual: foto makanan yang aestetik padahal rasanya biasa saja, hubungan cinta yang dipamerkan meski penuh luka, bahkan kesedihan yang diubah jadi konten inspiratif. Di platform seperti TikTok, seorang remaja bisa menangis di depan kamera sambil berbisik, "Mental health is a journey," lalu mendapat ribuan like dan komentar penyemangat. Tapi di balik layar, air mata itu tumpah bukan karena perjalanan, tapi karena tekanan untuk tetap menjadi "tokoh utama" yang sempurna.

     Inilah tragedi narsisme modern: kita mengkurasi diri menjadi karakter fiksi. Seperti Don Quixote yang mengira dirinya ksatria, kita terjebak dalam novel yang kita tulis sendiri. Bedanya, Don Quixote hanya punya Sancho Panza sebagai audiens, sementara kita punya ribuan follower yang menyetujui setiap bab. Penelitian Universitas Pennsylvania pada 2018 mengungkap ironi: semakin banyak waktu dihabiskan di media sosial, semakin dalam rasa kesepian. Kita mengejar validasi lewat like, tapi setiap notifikasi justru meninggalkan kehampaan—seperti penulis yang kehilangan suara aslinya karena terobsesi pada pujian kritikus.

     Industri self-help memperparah lingkaran ini. Buku-buku seperti The Secret atau Atomic Habits menjual janji bahwa hidup bisa disulap jadi kisah linear: konflik, klimaks, resolusi. Tapi di balik sampul optimis itu, tersembunyi racun halus: spiritualitas yang dikapitalisasi. Meditasi jadi ajang pamer "streak kesadaran", gratitude journal diubah jadi daftar pencapaian, bahkan penderitaan dipaksa dibungkus dengan "positive vibes only". Seorang wanita di New York bercerita: "Aku merasa gagal karena tidak bisa reframe depresiku jadi blessing in disguise." Di sini, narsisme berbalut jargon spiritual—kita menyembah diri sendiri di altar mindfulness, sambil menyepakati luka-luka yang tak boleh diakui.

     Tapi absurditas hidup tak bisa dikalahkan dengan narasi palsu. Albert Camus, filsuf eksistensialis, mengingatkan: hidup pada dasarnya absurd, tanpa makna bawaan. Namun justru di situlah kebebasan kita. Dalam The Myth of Sisyphus, Camus menulis tentang pahlawan yang dikutuk menggelindingkan batu ke gunung selamanya. Tapi di puncak keputusasaan, Sisyphus menemukan kekuatan untuk tertawa—pemberontakan melalui tawa adalah senjata melawan absurditas. Di era kita, tawa itu muncul dalam bentuk meme existential crisis, komedi gelap Bo Burnham, atau serial The Good Place yang mengolok-olok konsep surga. Lelucon bukan pelarian, tapi pengakuan jujur: "Kita semua tersesat, dan itu tak apa."

     Di tengah hiruk-pikuk narasi palsu, ada cahaya-cahaya kecil yang mencoba keluar dari sangkar. Proyek seni "Draw Your Life" di YouTube, misalnya, mengajak orang menggambar hidup mereka dengan segala kekacauannya. Seorang partisipan menggambar dirinya sebagai kentang rebus tersesat di lorong supermarket—lucu, jujur, dan menghibur. Di Jepang, gerakan wabi-sabi merayakan ketidaksempurnaan sebagai keindahan. Bahkan di media sosial, tagar seperti #NoFilter atau #RealNotPerfect mulai mencuat, meski masih kalah oleh gemerlap konten yang dipoles.

     Kunci untuk bebas mungkin ada pada keberanian mengakui bahwa narasi kita berantakan. Seperti novelis eksperimental yang menolak alur konvensional, kita perlu menulis hidup dengan tinta yang tak sempurna. Seorang ayah di Texas membagikan video dirinya gagal membuat kue ulang tahun untuk anaknya—kue itu meleleh jadi gumpalan cokelat, tapi komentar penuh tawa dan dukungan. "Aku pikir ini akan jadi bencana," katanya sambil tertawa, "ternyata orang-orang justru suka." Di sini, ketidaksempurnaan bukan aib, tapi penghubung antarmanusia.

     Namun, jalan ini tidak mudah. Budaya kita masih memuja narasi kesuksesan instan—overnight success, glow-up transformation, perfect couple goals. Tapi lihatlah para seniman besar: Vincent van Gogh yang hidup dalam kemiskinan dan sakit jiwa, Frida Kahlo yang mengubah lukisan sebagai terapi fisiknya, atau Kurt Vonnegut yang menulis Slaughterhouse-Five sebagai respons atas trauma perang. Mereka tidak menulis kisah indah, tapi kisah jujur. Dan justru di situlah keabadian berada.

     Di akhir hari, mungkin kita harus belajar dari Sisyphus versi Camus. Bukan tentang batu atau kutukan, tapi tentang keberanian menertawakan absurditas sambil terus mendaki. Hidup ini bukan novel yang harus tamat dengan happy ending. Ia bisa jadi puisi tanpa rima, lukisan abstrak, atau cerita pendek yang tiba-tiba terputus. Yang penting, kita menulisnya dengan tinta kebenaran—bukan kebenaran heroik, tapi kebenaran yang rapuh, kikuk, dan manusiawi.

     Seperti kata Virginia Woolf: "Kesadaran kita adalah labirin—kita bisa tersesat, tapi juga menemukan kejutan di setiap belokan." Mungkin di labirin itu, di antara dinding-dinding narasi palsu dan cermin narsisme, kita akan menemukan pintu kecil bertuliskan: "Di sini, kisahmu tak perlu sempurna. Cukup jujur." Dan di balik pintu itu, ada ruang kosong yang menunggu untuk diisi dengan tawa, air mata, dan segala kekacauan yang membuat kita benar-benar hidup. (part 4 dari 6)


Kunci untuk bebas mungkin ada pada keberanian mengakui bahwa narasi kita berantakan.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.