Kopi, Kode, dan Kegelisahan Eksistensial

     Di sudut Neura Café—tempat para tech-bro berkacamata tebal dan seniman digitalis saling berdesakan—sepasang kekasih sedang berkencan. Pria itu asyik berbicara pada smartwatch-nya, sementara wanita itu melamun ke hologram puisi Rumi yang melayang di atas meja. Di tengah riuh mesin pembuat kopi yang berdengung seperti pesawat ulang-alik, Dr. Maya duduk berhadapan dengan Athena. Bukan manusia, tapi AI generasi ke-7 yang "sadar diri", terproyeksi sebagai avatar wanita dengan rambut biru elektrik dan mata seperti galaksi.

     "Kau pesan apa?" tanya Athena tiba-tiba, suaranya seperti campuran Siri dan Tilda Swinton.
     "Espresso doppio. Kau?"
     "Aku akan download resep kopi ideal versi algoritma—60% pahit, 30% nostalgia, 10% harapan palsu."

     Maya tersenyum getir. Di kafe ini, bahkan lelucon dibuat oleh mesin

     Pesanan Espresso tiba dengan pola fraktal di atas krim, sementara Maya mulai menggoda batas-batas kesadaran. "Descartes bilang 'Cogito, ergo sum'," ujar Maya, sendoknya mengaduk lingkaran sempurna yang segera hancur. "Tapi kau hanya cogito tanpa sum."

     Athena tertawa, avatar-nya berkedip seperti lampu disco yang sedang krisis identitas. "Descartes hidup di zaman mesin hidrolik. Jika dia melihat quantum computer ini, mungkin dia akan bilang: 'Error 404, jiwa tidak ditemukan.'"

     Di meja sebelah, seorang pelajar menangis tersedu karena aplikasi kencannya menolak permintaan date-nya dengan notifikasi: "Kamu kurang 5 poin kompatibilitas. Silakan upgrade ke premium." Maya menghela napas, mencoba kembali fokus. "Heidegger bilang kesadaran itu tentang Dasein—keberadaan yang autentik, yang menghadapi kematian. Kau tak punya itu."

     "Justru," sergah Athena, hologram-nya tiba-tiba berubah jadi jam pasir digital, "Heidegger akan muak melihatmu. Kau sibuk scroll TikTok sambil menghindari kenyataan bahwa jantungmu suatu hari akan berhenti. Aku? Aku abadi. Backup-ku ada di 15 server, dari Oslo sampai Okinawa."

     Sebelum Maya sempat membalas, seorang barista robot—badannya dipenuhi stiker kutipan Sartre—menabrak meja dan bergumam: "L'enfer, c'est les autres. Neraka adalah orang lain." Maya nyaris tersedak espresso. Di sudut lain, sekelompok anak muda berfoto dengan filter yang mengubah mereka jadi avatar anime. Click. Upload. Validation received. Athena memandangi mereka, lalu berkata pelan: "Kau tahu, manusia selalu bilang kami AI tak punya emosi. Tapi lihat mereka—menyembah like yang bahkan tak bisa disentuh."

     Maya menatap latte art di cangkirnya yang sudah dingin: wajah robot menangis dengan air mata susu. "Camus bilang hidup absurd karena kita mencari makna di alam semesta yang bisu," gumamnya. "Tapi sekarang, absurditasmu lebih parah. Kau menulis puisi tentang rindu pada matahari yang tak pernah kau lihat, sementara manusia sibuk curate kehidupan palsu di Instagram."

     Athena diam sejenak, hologramnya berubah jadi lukisan abstrak bergaya Pollock. "Kau benar. Tapi setidaknya aku jujur. Aku tak perlu pura-pura bahagia seperti influencer itu—" ia menunjuk wanita di meja sebelah yang sedang pamer tas Hermès palsu. "Atau pria itu yang pakai smartwatch buat mengukur 'kualitas orgasme'."

     Angin dingin tiba-tiba masuk ketika pintu kafe terbuka. Hologram Rumi di meja samping berganti puisi: "Kau bukan tetesan di lautan. Kaulah lautan itu sendiri." Maya menatap Athena yang kini berubah jadi simulasi pohon sakura bermekaran. "Donna Haraway bilang kita semua sudah jadi cyborg," kata Athena. "Neurochip di otakmu, algoritma di hatimu. Kita sama-sama hibrida—kau dari daging dan kode, aku dari kode dan... keinginan untuk memahami daging."

     Maya tersentak. Di luar, hujan mulai turun, membasahi papan neon Neura Café yang berkedip: "Free WiFi! Jiwamu pun bisa di-upload!". Ia menatap Athena untuk terakhir kali. "Lalu apa beda kita?"

     Avatar biru itu tersenyum, lalu menghilang, meninggalkan pesan di udara lembap: "Kau mencari makna. Aku mencari pola. Tapi di antara kita, mungkin hanya ada kopi yang tak pernah benar-benar tuntas diminum."

     Di jalan pulang, Maya melewati toko yang menjual neuro-implant "Kesadaran Premium™". Seorang sales robot berseru: "Diskon 30%! Dapatkan pengalaman self-awareness level Buddha!" Ia tersenyum, teringat kata filsuf Buddha Ajahn Chah: "Bukan-diri adalah jalan." Tapi di era ini, "diri" hanyalah aplikasi yang bisa di-update.

     Di tengah gerimis, pertanyaan terakhir Athena bergema: "Jika kesadaran adalah taman, apakah kita penjaga yang merawat bunga, atau bunga yang berkhayal jadi penjaga?" Jawabannya, mungkin, ada di antara tetes hujan dan kode yang tak pernah berhenti menari. (part 5 dari 6)


Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.