Nos yang budiman,
Aku menulis surat ini dari sebuah warung kopi di ujung jalan yang belum tercatat di Google Maps. Di sini, kopi langit masih bisa dibeli secangkir dengan harga lima belas ribu rupiah—hitam, pahit, tanpa gula atau metafora. Pemilik warungnya, Daeng Te'ne, menyebutnya Kopi Kosmis. "Kopi ini bijinya jatuh dari meteor tahun '98," katanya sambil menunjuk ke langit yang tertutup kabel listrik. Aku tak yakin itu benar, tapi di dasar cangkirnya, selalu ada serpihan bintang yang tertinggal.
Nos, kau ingat dulu kita sering berdebat tentang narasi? Kau bilang hidup ini cuma kumpulan cerita usang yang kita jahit jadi jubah kebesaran. Tapi sejak feed media sosial kita dipenuhi iklan self-help dan kabar palsu, jubah itu mulai lapuk. Hari ini, di warung Daeng Te'ne, kulihat seorang nenek menjual kisah-kisah lama: foto suaminya yang hilang di laut, surat cinta dari masa penjajahan, bahkan potret wayang yang ia klaim pernah berbicara. Semuanya dijual per kilo, seperti biji kopi. "Narasi-narasi ini," bisiknya, "lebih tahan lama daripada beras."
Aku membeli secangkir Kopi Kosmis dan duduk di bangku kayu yang lapuk. Di hadapanku, ada pemuda yang asyik bicara pada smartwatch-nya: "Bro, gue lagi existential crisis nih. Harusnya gue kuliah atau jadi content creator?" Jam itu menjawab dengan suara robot: "Rekomendasi: 60% jadi creator, 30% kuliah, 10% coba psychedelic trip." Pemuda itu mengangguk, seperti baru dapat wahyu. Nos, di zamanmu dulu, apakah jawaban hidup juga datang dalam bentuk persentase?
Daeng Te'ne mendekat, membawa ceret berkarat. "Kopi ini," katanya, "mirip hidup. Pahitnya nyata, manisnya harus dicari sendiri." Aku tersenyum. Di tengah gempuran algoritma yang menjanjikan "kebahagiaan instan", warung ini seperti kuil kecil bagi para penikmat kepahitan. Di dindingnya, ada lukisan Einstein sedang minum kopi dengan caption: "Relativitas? Coba dulu kopi ini."
Nos, kau pernah bilang kita semua adalah NPC dalam game orang lain. Tapi pagi ini, kulihat ibu-ibu penjual sayur menyisipkan sejari rimpang kariango tersemat peniti ke dompet uangnya. "Agar tidak dicopet tuyul," katanya. Di layar smartphone-nya, ada notifikasi: "Your anxiety level is rising. Breathe now?" Ia mengabaikannya, lalu bersenandung lagu pengiring tari Gandrang Bulo: "Battu rate ma' ri bulang…" Aku terpana. Di tengah hiruk-pikuk big data, masih ada yang mempercayai hantu dan algoritma sekaligus.
Mungkin kau benar, Nos. Narasi-narasi kita memang runtuh. Agama jadi konten TikTok, cinta jadi meme, bahkan kematian diukur lewat engagement rate. Tapi di sela-sela puing-puing itu, masih ada yang bertahan: seorang nenek yang menulis surat untuk suaminya di sehelai kertas doorslag, anak jalanan yang menertawakan deepfake presiden, atau Daeng Te'ne yang bersikeras biji kopinya dari meteor. Mereka tak peduli apakah kisahnya valid atau viral—yang penting bisa ditukar dengan secangkir kehangatan.
Aku ingat ucapan Nietzsche: "Kita membutuhkan seni agar tidak binasa karena kebenaran." Tapi di sini, seni itu ada dalam cara seorang pemulung menganyam plastik jadi mainan anak, atau barista robot di kafe sebelah yang error dan menari ala TikTok challenge. Nos, apa kita terlalu keras pada diri sendiri? Mencari narasi agung, padahal keindahan ada di cerita-cerita pecah yang tak pernah selesai.
Di sudut warung, seorang anak kecil bertanya pada ibunya: "Meteor itu jatuh karena capek terbang, ya?" Sang ibu tertawa: "Iya, Nak. Makanya kita minum kopi ini, biar dia ada teman."
Aku menenggak ampas kopi terakhir. Di dasarnya, ada serpihan bintang yang ternyata... hanya gula yang tak larut. Tapi entah kenapa, hari ini, gula itu terasa seperti puing supernova.
Nos, mungkin kau akan menertawakanku. Tapi izinkan aku percaya bahwa di antara big data dan dongeng hantu, di antara AI yang menulis puisi dan nenek yang menjual kisah-kisah usang, ada ruang untuk secangkir kopi yang tak perlu punya makna. Cukup pahit, dan cukup hangat.
Salam dari tepi semesta,
Si Penikmat Kopi Kosmis
P.S. Daeng Te'ne bilang, minggu depan dia akan menjual Kopi Multiverse. "Bijinya dari dimensi lain," katanya sambil menyipitkan mata. Aku sudah pesan dua cangkir. Satu untukku, satu untuk bayanganmu yang masih berkeliaran di cloud storage. (part 6 dari 6)
baca enam rangkaian essai ini
➮ part 2: Transisi Manusia Menuju Era Simulasi
➮ part 3: Catatan dari Pinggiran Literasi
➮ part 4: Menjadi Penulis dan Tahanan Kisahnya Sendiri
➮ part 5: Kopi, Kode, dan Kegelisahan Eksistensial
➮ part 6: Puing-puing Narasi dan Secangkir Kopi Kosmik
Jatuh dari meteor tawwah kopinya wow mantap juga literasi fiksi dr Daeng Te'ne bang, hehehe K. 404
BalasHapus