Kecerdasan Manusia Dan Kecoa Berdangdut

     Manusia, dalam segala keangkuhannya, sering kali menakar kecerdasan spesies lain berdasarkan standar kecerdasannya sendiri. Manusia memang makhluk yang penuh keyakinan. Bayangkan, mereka akan heboh bila ada hewan yang mampu berhitung penjumlahan matematis sederhana lalu melabeli hewan itu sebagai cerdas. Atau bayangkan reaksi mereka jika mendapati ada hewan yang menyelamatkan jemuran pakaian ke tempat kering ketika hujan turun dan penghuni rumah sedang tidak berada di rumah. Seolah-olah kecerdasan itu hanya diukur dari kemampuan melakukan hal-hal yang manusia anggap penting.

     Sebagai manusia, kita sering lupa bahwa tidak semua spesies harus bisa berhitung atau menyelamatkan jemuran untuk dianggap cerdas. Ini adalah penakaran kecerdasan yang sangat tidak fair karena dilakukan berdasarkan kacamata antroposentris. Burung tidak lebih cerdas dibanding ikan hanya karena burung bisa terbang, dan ikan tidak lebih cerdas dibanding burung hanya karena ikan bisa menyelam. Kita seolah-olah mengabaikan fakta bahwa setiap spesies memiliki cara uniknya sendiri untuk beradaptasi dan bertahan hidup di dunia yang penuh tantangan ini. Lalu, siapa yang memberikan manusia hak untuk menjadi juri dalam menentukan siapa yang cerdas dan siapa yang tidak?

     Manusia memang bertambah cerdas secara individu, jika melihat usia harapan hidup yang semakin panjang dari zaman ke zaman. Di era pemburu-pengumpul, usia Homo sapiens hanya sekitar 24 tahun. Di akhir abad 19, usia harapan hidup Homo sapiens sudah sekitar 49 tahun. Dan di milenium ketiga ini, harapan hidupnya telah meningkat hingga 81 tahun. Betapa bangganya manusia dengan pencapaian ini! Tapi tunggu dulu, secara spesies, apakah Homo sapiens benar-benar sehebat itu? Eksistensi sapiens di panggung evolusi sama sekali belum teruji.

     Mari kita lihat dari perspektif keberhasilan evolusioner. Homo erectus, nenek moyang kita yang gigih itu, mampu bertahan selama sekitar dua juta tahun, menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa dalam berbagai lingkungan dan perubahan iklim. Sementara itu, Homo sapiens, meskipun baru ada sekitar 350 ribu tahun, telah menunjukkan kecerdasan teknologi dan sosial yang signifikan. Tapi sekarang mereka menghadapi tantangan keberlanjutan ekologis yang bisa mengarah pada kepunahan massal keenam. Jadi, siapa yang lebih cerdas di sini?

     Dan bagaimana dengan kecoa? Makhluk kecil ini memang tidak bisa membuat puisi atau menyanyi lagu dangdut, tapi mereka telah ada selama lebih dari 200 juta tahun. Bayangkan itu! Bertahan melalui berbagai periode kepunahan massal, termasuk kepunahan dinosaurus. Kecoa telah menunjukkan ketahanan luar biasa terhadap perubahan iklim dan lingkungan. Mereka benar-benar ahli bertahan hidup di dunia yang terus berubah ini.

     Kecoa bukan satu-satunya makhluk yang harus diakui. Ambil contoh buaya dan aligator, yang termasuk dalam kelompok Crocodilia. Mereka telah ada selama sekitar 200 juta tahun. Dengan adaptasi yang sangat baik dalam ekosistem air tawar dan air asin, buaya telah bertahan melalui berbagai perubahan ekologis. Ada lagi hiu, predator laut yang telah ada selama sekitar 400 juta tahun. Hiu mampu bertahan melalui berbagai perubahan ekologis dan kepunahan massal. Dan Homo sapiens? Baru ada sekitar 350 ribu tahun. Benar-benar remaja di panggung evolusi.

     Bagaimana manusia bisa mengklaim mereka adalah spesies yang paling cerdas ketika mereka belum membuktikan diri dalam rentang waktu evolusi yang panjang? Manusia mungkin bisa membangun gedung pencakar langit, mengirim satelit ke luar angkasa, dan mengembangkan teknologi canggih. Tetapi kemampuan ini tidak ada artinya jika mereka tidak bisa bertahan melalui tantangan evolusi yang sebenarnya.

     Melihat kecerdasan dari sudut pandang kemampuan untuk bertahan hidup dan beradaptasi di panggung evolusi menawarkan perspektif yang inklusif dan relevan untuk berbagai spesies. Setiap spesies memiliki kecerdasan yang unik dan adaptif, yang mencerminkan strategi mereka untuk bertahan hidup dan berkembang dalam lingkungan mereka masing-masing. Dengan pendekatan ini, kita dapat memahami bahwa kecerdasan bukan hanya tentang kemampuan kognitif yang kompleks, tetapi juga tentang kemampuan untuk beradaptasi dan bertahan dalam dunia yang terus berubah.

     Manusia mungkin merasa unggul dengan kemampuan intelektualnya, tetapi mereka juga harus belajar menghargai kecerdasan adaptif yang ditunjukkan oleh spesies lain. Daripada memandang diri mereka sebagai pusat alam semesta, manusia bisa mengambil pelajaran berharga dari keberhasilan evolusioner spesies lain. Keberhasilan di panggung evolusi tidak diukur dari kemampuan bernyanyi dangdut, mengarang fiksi atau berhitung matematis, tetapi dari kemampuan untuk bertahan dan berkembang di dunia yang penuh tantangan ini.

Siapa yang memberikan manusia hak untuk menjadi juri dalam menentukan siapa yang cerdas dan siapa yang tidak?

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.