Dulu, sebelum kata “opini” diciptakan, manusia sudah memilikinya dalam bentuk paling primitif. Seorang pemburu menggoreskan bison di dinding gua bukan karena terpesona oleh estetika, melainkan karena butuh validasi, ingin diyakini, ingin diikuti. Goresan itu bisa jadi adalah propaganda pertama—sebuah pesan visual yang menyatakan, “bison adalah sumber hidup, hormati dia, ikuti aku.” Opini publik pertama mungkin lahir saat sekelompok manusia gua sepakat pada satu tafsir: bahwa jejak di lumpur adalah tanda dewa, bahwa arah angin adalah isyarat alam. Di sana, suara kolektif adalah hukum, dan penyimpangan berarti bahaya—bisa diasingkan, dianggap penyihir, atau sekadar menjadi makan siang seekor beruang. Publik adalah suku, dan opini bersifat totemik, sebuah lukisan bersama tentang dunia yang tak boleh diubah.
Lalu datang revolusi agrikultur. Sawah, ladang, dan kebun bukan hanya mengubah pola makan, tapi juga pola berpikir. Dari ritme nomaden yang bebas, manusia kini terikat pada tanah, pada musim, pada otoritas yang memastikan irigasi berjalan. Kepala suku atau raja kecil mulai bicara lebih lantang, dan orang lain mendengarkan. Agama mulai memantapkan dirinya sebagai penyaring realitas: bukan lagi apa yang kau lihat, tapi apa yang dikatakan imam. Konsensus tak lagi lahir dari pengamatan bersama, melainkan dari narasi yang disahkan penguasa. Opini publik dibentuk dengan ritual, simbol, dan hukum tak tertulis yang mengatur dari kapan harus menanam hingga siapa yang harus dikorbankan saat banjir besar. Dan anehnya, semua itu berjalan mulus tanpa ada yang menyebutnya sebagai “opini publik.”
Barulah di Yunani Kuno, opini mulai berani tampil di panggung terbuka. Agora menjadi teater bagi yang punya cukup waktu dan kekayaan untuk tidak bekerja di ladang. Retorika muncul sebagai senjata: seni memutar logika, mengemas kata hingga kebenaran terasa manis di lidah, atau kebohongan terasa logis. Di sana, orang bisa berdebat apakah bumi bulat atau datar, apakah Socrates bijak atau berbahaya. Namun demokrasi ini tak sepenuhnya demokratis—yang bisa bicara hanyalah segelintir yang berpendidikan, dan suara mereka lalu diulang-ulang sampai terdengar seperti suara mayoritas. Opini publik di sini bukanlah milik publik, tapi milik minoritas yang pandai membuatnya terdengar kolektif.
Ketika agama monoteistik bangkit, opini publik seperti dimasukkan ke dalam botol kaca tebal lalu disegel rapat. Dogma menggantikan dialog. Apa yang diucapkan dari mimbar menjadi kebenaran tunggal, dan siapa pun yang mengajukan pandangan lain dianggap musuh Tuhan. Buku dibakar, lidah dipotong, tubuh diseret ke tiang pancang. Namun, di balik semua itu, opini berbeda tetap tumbuh seperti api kecil di hutan kering. Ada bisik-bisik di pasar, tulisan rahasia di margin kitab suci, diskusi malam di ruangan gelap. Di situ, opini publik bukanlah arus deras, melainkan rembesan yang perlahan menggerogoti fondasi kebenaran tunggal.
Pencerahan datang bersama suara mesin cetak. Gutenberg, dengan roda gigi dan tinta hitamnya, meledakkan pintu sangkar yang selama ini menahan gagasan. Tiba-tiba ide bisa melintas dari kota ke kota, dari benua ke benua. Luther menempelkan 95 dalil di pintu gereja bukan sekadar tindakan teologis, tapi pukulan langsung ke monopoli opini. Pamflet dan buku menjadi senjata baru, dan opini publik kini bergerak seperti pasukan gerilya: dari mulut ke mulut, lembar ke lembar, menjadi gelombang revolusi yang meruntuhkan raja dan memenggal kepala aristokrat. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, opini publik terasa seperti milik rakyat, meski tetap saja, mereka yang bisa mencetak dan menyebarkannya adalah segelintir yang punya sumber daya.
Abad 20 mengubah medan pertempuran ini lagi. Radio, lalu televisi, memperluas cakrawala suara tunggal. Seorang pemimpin kini bisa berbicara kepada jutaan orang serentak, menciptakan ilusi keintiman antara penguasa dan rakyat. Pidato Hitler yang membakar semangat, debat Kennedy-Nixon yang menentukan persepsi, semuanya menunjukkan satu hal: opini publik telah menjadi senjata strategis. Walter Lippmann menyebutnya phantom public—sebuah bayangan yang tampak nyata namun bisa dibentuk ulang sesuai kepentingan. Dan di sini muncul pertanyaan yang menghantui: apakah opini publik adalah cerminan kehendak rakyat, atau hanya pantulan yang sudah dipoles oleh media dan kekuasaan?
Internet datang seperti badai. Semua orang bisa bicara, semua bisa mengunggah, semua bisa viral. Demokratisasi informasi terasa seperti janji yang manis. Namun yang terjadi kemudian adalah banjir opini yang kehilangan arah. Kebenaran bersaing ketat dengan hoaks, dan keduanya dinilai bukan berdasarkan akurasi, melainkan seberapa menarik untuk dibagikan. Post-truth menjadi norma: percaya karena suka, bukan karena benar. Algoritma—yang katanya netral—mulai menyaring apa yang kita lihat, menempatkan kita dalam gelembung kenyamanan opini, membuat kita merasa mayoritas bahkan ketika kita minoritas.
Kini, kita berada di ambang bab baru. Kecerdasan buatan tak hanya memantau opini publik, tapi memprediksi, memodifikasi, dan menyusunnya sebelum ia benar-benar lahir. Dari kampanye politik yang dipersonalisasi hingga bot yang memicu trending topic, opini publik semakin sulit dibedakan dari simulasi yang dirancang untuk memberi kita ilusi berpikir bebas. Cambridge Analytica hanyalah contoh kecil dari kemungkinan besar yang sedang berlangsung setiap hari. Yang kita anggap “suara rakyat” mungkin hanyalah hasil perhitungan statistik yang dibungkus emosional, diberikan tepat pada waktu yang membuat kita merasa itu suara hati kita sendiri.
Dan pada titik ini, kita patut bertanya: apakah opini publik masih “publik”? Atau ia telah menjadi ekosistem digital yang sepenuhnya bergantung pada pola klik, reaksi emoji, dan rentang perhatian yang tak lebih panjang dari satu paragraf? Ironisnya, dari semua bentuk kontrol di masa lalu—dogma, sensor, propaganda—algoritma mungkin adalah yang paling efektif, karena ia tak memaksa. Ia hanya memberi kita apa yang kita suka, sampai kita lupa bagaimana caranya menyukai hal yang berbeda.
Akhirnya, perjalanan ini membawa kita kembali ke titik awal. Dulu, di gua, kita menggambar bison agar orang lain melihat dan setuju. Kini, di layar, kita mengetuk jempol biru dengan harapan yang sama. Bedanya, dulu yang melihat adalah sesama pemburu yang kita kenal; kini yang melihat bisa jadi mesin, atau akun anonim di belahan dunia lain. Dari coretan di batu hingga jejak digital, satu hal tetap sama: opini publik tak pernah benar-benar milik publik. Ia selalu menjadi arena perebutan—oleh imam, raja, pemilik media, korporasi teknologi, atau mesin.
Mungkin suatu hari nanti, kita akan sadar bahwa dalam ribuan tahun evolusi ini, kita hanya mengganti batu dengan server, asap api unggun dengan notifikasi, dan bisik-bisik pasar dengan thread panjang di media sosial. Dan seperti leluhur kita, kita akan terus mencari tatapan setuju itu—meski kali ini, mungkin yang menatap balik hanyalah algoritma.
Posting Komentar
...