Opini publik sering diibaratkan sebagai ombak di lautan luas, terbentuk dari ribuan arus kecil yang bertemu, saling menekan, kadang bertabrakan, lalu menghasilkan gelombang besar di permukaan. Tetapi seperti ombak, ia tidak selalu lahir dari kedalaman yang bermakna. Banyak hanya tercipta dari riak angin sesaat, membesar sejenak lalu mati sebelum mencapai pantai. Di sinilah kesalahpahaman kerap lahir—orang mengira gelombang tinggi berarti lautan dalam, padahal hanya efek cuaca sementara. Kesalahan tafsir ini menjadi lebih rumit ketika kita sadar bahwa opini publik jarang sekali murni. Ia dibentuk, diarahkan, disaring, bahkan dikoreksi ulang oleh mereka yang memahami cara memainkan tempo dan ritme informasi.
Dalam dunia yang dipenuhi saluran komunikasi cepat, kelahiran opini publik hampir selalu melibatkan semacam orkestrasi. Isu yang kita anggap “tiba-tiba muncul” sering kali sudah dirancang jauh sebelum ia meledak. Viral yang tampak spontan kerap hanya skenario dengan perhitungan dingin: kapan memantik, di mana memicu, siapa yang pertama kali bicara. Yang menguasai teknik ini mengerti satu hal penting—opini publik adalah organisme yang hidup dari emosi, bukan logika. Satu berita yang membangkitkan rasa takut atau marah dapat bergerak lebih cepat daripada seribu klarifikasi rasional. Di era post-truth, kecepatan persebaran emosi ini mengalahkan akurasi fakta. Kebenaran menjadi relatif, bergantung pada seberapa banyak yang menyukai dan membagikannya, bukan pada seberapa sahih sumbernya.
Opini publik bekerja seperti api di padang rumput kering, tak memerlukan bahan bakar besar untuk membesar. Cukup satu percikan kecil di waktu dan tempat yang tepat, sisanya adalah reaksi berantai. Namun seperti api yang cepat menyala, ia juga cepat padam. Wataknya sering menyerupai memori ikan mas—ledakan singkat diikuti lupa yang sama cepatnya. Hari ini isu tertentu menjadi pusat perhatian nasional, esoknya tenggelam oleh berita baru yang lebih segar. Paradox ini membuat opini publik menjadi kekuatan besar yang rapuh. Ia sanggup menjatuhkan kebijakan, menghancurkan reputasi, bahkan memicu perubahan sosial, namun jarang memiliki ketahanan untuk mempertahankan fokus jangka panjang.
Ketika sebuah kekuatan besar begitu mudah dialihkan, maka siapa pun yang menguasai seni pengalihannya akan memegang kendali arah pembicaraan. Pemerintah, korporasi, atau kelompok berkepentingan yang piawai tidak selalu berupaya mengubah keyakinan massa, cukup mengalihkan pandangan mereka. Dalam banyak kasus, lebih mudah menyingkirkan perhatian daripada meyakinkan orang untuk mengganti keyakinannya. Inilah yang membuat opini publik menjadi wilayah strategis dalam politik, bisnis, bahkan budaya populer.
Dari titik ini kita masuk ke ruang yang lebih suram—manipulasi. Opini publik dapat ditumbuhkan melalui rasa takut, diperkuat dengan kebanggaan, atau dipelintir oleh kebohongan yang diulang-ulang sampai terdengar masuk akal. Ia bisa disuntikkan perlahan hingga terasa seperti kebenaran yang muncul dari hati rakyat, padahal sesungguhnya rancangan dingin dari ruang rapat yang jauh dari keramaian. Ironisnya, sebagian besar orang akan bersikeras bahwa pandangan mereka lahir dari pengamatan pribadi, tanpa menyadari bahwa jalan pikiran yang mereka tempuh sudah diatur dari awal. Inilah medan yang subur bagi post-truth: saat fakta dan opini larut dalam satu adonan, dan “benar” berubah menjadi sekadar “sesuai dengan yang saya yakini”.
Meski begitu, opini publik tidak selalu bersifat busuk atau murni manipulatif. Ada momen-momen langka di mana ia menjadi kekuatan pembebas. Dalam situasi tertentu, gelombang opini publik bisa menciptakan tekanan moral yang nyata, memaksa kekuasaan mundur selangkah. Ia dapat menjadi sinyal keras bahwa ada batas yang tidak boleh dilampaui. Ketika suara banyak orang benar-benar lahir tanpa rekayasa, ada getaran yang tidak bisa dibendung, bahkan oleh penguasa yang paling keras kepala sekalipun. Sayangnya, momen seperti ini jarang terjadi, dan ketika terjadi, ia sering dibelokkan atau diredam sebelum mencapai potensi penuh.
Akhirnya, opini publik adalah arena perebutan, bukan udara bebas yang melayang tanpa tuan. Ia diperebutkan, dikendalikan, diwarnai. Yang lemah adalah mereka yang hanya menjadi penonton, puas merasa telah “ikut berpendapat” tanpa sadar bahwa bingkai pikiran mereka sudah dibentuk orang lain. Yang kuat adalah mereka yang paham bahwa opini publik hanyalah instrumen, dan kebenaran tidak selalu membutuhkan mayoritas untuk tetap berdiri.
Kita sering mengulang pepatah “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Tetapi jika suara itu telah dipelintir, digandakan gema satu arahnya, dan dibungkus dalam algoritma yang hanya memantulkan apa yang ingin kita dengar, apakah masih pantas kita menyamakannya dengan suara Tuhan? Atau jangan-jangan yang kita dengar hanyalah gema dari ruang tertutup yang dibangun oleh mereka yang ingin mengarahkan isi kepala kita?
Mungkin tugas kita bukan hanya mengikuti atau melawan opini publik, tetapi mempelajari arus di bawah permukaannya. Mengidentifikasi dari mana riak itu datang, siapa yang meniupkan angin, dan apa tujuan mereka. Tanpa itu, kita akan terus menjadi kapal kecil yang hanyut ke mana ombak membawa—merasa sedang menentukan arah, padahal kemudi kita sudah lama terlepas dari genggaman.
Posting Komentar
...