Di sebuah sudut kota metropolitan, seorang wanita muda duduk terpaku di depan layar laptopnya yang memancarkan cahaya biru. Di sebelah kanan, ponselnya bergetar tak henti—notifikasi media sosial, email kerja, promo belanja. Di sebelah kiri, buku self-help bertumpuk dengan judul-judul menggoda: "5 Langkah Menjadi Produktif", "Rahasia Bahagia ala Miliarder". Tiba-tiba, ia menutup semua perangkat itu, menarik napas dalam, dan memandang keluar jendela. Di langit, seekor burung terbang melintas tanpa aplikasi navigasi. Inilah pertanyaan yang jarang kita ajukan: Bagaimana jika kunci ketenangan bukan terletak pada apa yang kita tambahkan, melainkan pada apa yang berani kita buang?
Via Negativa—jalan penghapusan—bukanlah konsep baru. Ia lahir dari rahim pemikiran kuno, di mana para mistikus memahami bahwa Tuhan terlalu agung untuk didefinisikan dengan kata-kata, sehingga mereka mendekati-Nya dengan diam, dengan menanggalkan semua gambaran yang membatasi. Di zaman kini, filosofi ini menjadi tamparan halus bagi budaya "more is better". Kita seperti anak kecil yang terus menumpuk mainan di lantai kamar, lalu heran mengapa tak ada ruang untuk bernapas.
Setiap pagi, rata-rata manusia membuka ponsel 58 kali sebelum sarapan—ritual baru penyembahan dewa algoritma. Media sosial bukan lagi alat, melainkan tuan yang menghukum kita dengan FOMO (Fear of Missing Out). Tapi lihatlah paradoksnya: semakin banyak kita scroll, semakin sedikit yang benar-benar kita lihat. Seperti kisah Narcissus yang tenggelam dalam bayangan diri sendiri, kita terhipnotis oleh highlight reel kehidupan orang lain. Tapi Via Negativa mengajak kita melakukan pembedahan radikal: mematikan notifikasi bukanlah tindakan teknofobia, melainkan deklarasi kemerdekaan. Seperti petani yang membersihkan rumput liar agar padi bisa tumbuh, membuang aplikasi tak perlu adalah cara merawat kebun pikiran. Di Kyoto, seorang seniman keramik sengaja tak memiliki ponsel—karya terbaiknya lahir justru ketika dunia tak bisa mengganggu dengan ping dan ding.
Budaya modern telah mengubah kesempurnaan menjadi agama baru. Instagram menjadi altar tempat kita mempersembahkan potongan hidup yang terfilter, sementara LinkedIn adalah pameran trofi karier. Tapi lihatlah paradoksnya: semakin banyak achievement yang kita pajang, semakin dalam lubang kecemasan yang kita gali. Via Negativa berbisik: "Lepaskan mahkota duri 'harus sempurna' itu." Seorang ibu di Norwegia memilih tak mengikuti parenting group online—kebahagiaannya justru muncul ketika ia berhenti membandingkan anaknya dengan bayi-bayi dalam foto viral.
Pagi hari dimulai dengan pertempuran: sarapan apa? Baju warna apa? Lalu berlanjut ke 57 keputusan remeh lainnya sebelum jam 9 pagi. Fenomena ini bukan hanya lelucon—ilmuwan di Universitas Columbia menemukan bahwa otak kita hanya mampu membuat 4-5 keputusan berkualitas per hari. Sisanya? Sampah kognitif yang menguras energi. Via Negativa di sini adalah seni menjadi seperti sungai yang mengalir: alih-alih membangun bendungan pilihan, biarkan hidup mengikuti alur yang alami. Steve Jobs tahu ini—ia memakai sweter hitam yang sama setiap hari agar tak perlu memikirkan pakaian. Seorang koki di Barcelona menghapus 80% menunya—restorannya justru meraih bintang Michelin ketika fokus pada tiga hidangan sempurna.
Kita telah mengubah kesibukan menjadi agama baru. “Sibuk” adalah mantra yang diucapkan dengan bangga, seolah-olah itu bukti kesucian. Tapi coba tanyakan: sibuk untuk apa? Seperti tikus dalam roda, kita berlari cepat tapi tak pernah sampai. Via Negativa di sini adalah seni mengatakan “tidak” pada rapat tak penting, pada networking yang memuakkan, pada kursus online yang tak pernah ditonton. Di Silicon Valley, sebuah perusahaan menerapkan “No-Meeting Wednesday”—hasilnya, produktivitas naik 40% karena karyawan punya waktu untuk... berpikir.
Seni Menjadi Tukang Sampah Eksistensial
Menerapkan Via Negativa bukanlah aksi kekerasan pada diri, melainkan proses merangkul keheningan. Mulailah dengan pertanyaan sederhana: "Apa yang terjadi jika aku berhenti...?"
➮ Berhenti membuka media sosial di jam pertama bangun tidur, mungkin engkau akan menemukan matahari terbit lebih indah dari feed mana pun.
➮ Berhenti membeli kursus online yang tak pernah ditonton, mungkin engkau akan punya waktu untuk benar-benar membaca buku yang selama ini teronggok.
➮ Berhenti membicarakan politik di grup WhatsApp keluarga, mungkin engkau akan menemukan arti kata "darah lebih kental dari air" dalam acara family gathering.
Di ujung semua ini, ada paradoks manis: dengan membuang yang tak perlu, kita justru mendapatkan ruang untuk hal-hal yang benar-benar hidup. Seperti patung David karya Michelangelo yang lahir dari membuang serpihan marmer berlebihan, manusia menemukan jati diri bukan dengan menumpuk, tetapi dengan mengikis.
Di sebuah desa kecil di Yunani, seorang nenek berusia 102 tahun tertawa renyah ketika ditanya rahasia umur panjangnya. "Saya tak pernah diet superfood atau lari maraton," katanya, sambil menyiram tanaman tomat. "Saya hanya tak pernah membiarkan hal-hal tak penting masuk ke hari-hari saya."
Mungkin inilah kebijaksanaan Via Negativa
yang paling jitu: bahwa kadang-kadang, langkah paling progresif yang
bisa kita lakukan adalah berhenti. Berhenti mengejar. Berhenti
membandingkan. Berhenti mengacaukan hidup dengan segala yang "tambahan".
Dan dalam keheningan yang tersisa setelah semuanya pergi, barulah kita
mendengar: detak jantung sendiri, desau angin di daun, atau
mungkin—suara jiwa yang selama ini terpendam dalam tumpukan sampah
eksistensial.
Posting Komentar
...