Kebebasan, Kutukan, dan Secangkir Kopi yang Tak Pernah Dingin

     Kafe Les Deux Magots di Paris masih menyimpan jejak debu Perang Dunia II di sudut-sudut kursi beludrunya. Asap rokok menggantung seperti kabut pagi, menyelimuti wajah-wajah yang duduk di antara tumpukan buku dan cangkir kopi yang setengah kosong. Di sudut dekat jendela, di mana cahaya senja berseteru dengan hujan April yang ringan, duduk Jean-Paul Sartre. Matanya menyipit menatap ke luar, seolah-olah mencoba membaca takdir di balik rintik hujan. Di tangannya, secangkir espresso hitam—mirip pikirannya yang pekat.

     Tiba-tiba, pintu kafe berderit. Søren Kierkegaard masuk dengan langkah gugup, jas hujannya masih meneteskan air. Ia duduk di meja sebelah Sartre tanpa diminta.

     “Kau tahu, Sartre,” bisik Kierkegaard dengan aksen Denmark yang berat, “kebebasan itu seperti berdiri di tepi jurang. Semakin kau menyadari kedalamannya, semakin kau ingin melompat… atau lari.”

     Sartre menoleh, senyum kecut mengembang. “Tapi kau lupa, Søren. Kita tidak punya pilihan untuk tidak memilih. Bahkan jika kau melompat, itu tetap pilihan.”

     Sepasang mata biru Camus menyorot dari sudut lain. Ia menyela dengan suara khas Aljazairnya yang hangat: “Ah, kalian berdua selalu meributkan kecemasan! Lihat Sisyphusku—dia bahagia menggelindingkan batunya. Kebebasan adalah tawa di tengah absurditas!”

     Sartre menghembuskan asap rokoknya. “Tapi Camus, kau lupa bahwa Sisyphus tidak punya pilihan. Batunya sudah ditakdirkan. Kami manusia? Kami terkutuk untuk memilih bahkan warna batu itu.

     Di meja no.1 Kierkegaard mengeluarkan Alkitab kecil dari saku, membuka halaman yang telah lecek. “Kau terlalu angkuh, Sartre. Kebebasan tanpa Tuhan seperti berjalan di atas awan—kau akan jatuh. Hanya dengan lompatan iman, kita menemukan tanah.”

     “Lompatan?” Sartre tertawa getir. “Itu hanya cara kau kabur dari tanggung jawab! Kau serahkan kebebasanmu pada dongeng langit. Aku? Aku memilih untuk tidak memilih Tuhan—itu pun sebuah pilihan!”

     Dari belakang, suara berat Fyodor Dostoevsky menggema. Karakter Ivan Karamazov—dengan mata berapi dan wajah pucat—tampak menyelinap di antara bayangan. “Jika Tuhan tak ada, segalanya diperbolehkan,” geramnya, mengutip diri sendiri. “Tapi Sartre, kau tak sadar bahwa tanpa-Nya, moralitasmu hanyalah sandiwara!”

     Sartre menatapnya tajam. “Justru itu, Fyodor. Karena tak ada Tuhan, kitalah yang harus menulis moral itu—dengan darah dan keringat!”

     Camus mengangkat gelas anggurnya di meja 2, mencoba meredakan ketegangan. “Lihatlah pelayan itu,” katanya, menunjuk seorang pelayan yang membersihkan meja dengan gerakan mekanis. “Dia adalah Sisyphus modern. Setiap hari mengangkat piring kotor, tapi mungkin lebih bahagia dari kita.”

     Heidegger, yang tadi diam-diam duduk di pojok, tiba-tiba bersuara. “Dasein-nya terlempar ke dunia ini. Tapi di balik piring-piring itu, ada keautentikan—jika dia memilih untuk menyambut keterlemparannya.”

     “Menyambut?” Sartre menyeringai. “Kau dan Geworfenheit-mu itu hanya jargon akademis! Manusia tak perlu ‘menyambut’—dia hanya perlu bertindak.”

     Simone de Beauvoir, yang baru saja masuk dengan gaun hitam dan syal merah, menyela. “Tapi Jean-Paul, tindakan kita harus memperhatikan kebebasan orang lain. Kebebasanku berakhir di ujung hidungmu!”

     Nietzsche, duduk di meja seberang dengan kumis ikoniknya, tertawa terbahak. “Lihatlah kalian—berdebat seperti anak kecil! Kebebasan adalah kehendak untuk berkuasa. Menjadi Ubermensch! Mengapa meratapi kutukan jika kau bisa menari di atasnya?”

     Sartre memicingkan mata. “Kau terlalu sibuk menari, Nietzsche, sampai lupa bahwa tarianmu bisa menginjak kaki orang lain.”

     Slavoj Žižek, dengan rambut acak-acakan dan kaus "I ♥ Capitalism" yang ironis, tiba-tiba muncul sambil menggigit kue croissant. “Kebebasan? Itu ilusi! Kalian pikir bebas memilih? Ha! Setiap klik ‘beli sekarang’ di Amazon adalah tarian boneka yang ditarik tali algoritma!”

     Cioran, dengan wajah muram dan suara parau, menambahkan: “Kebebasan adalah penyakit… Kita menggaruk-garuk luka yang tak pernah sembuh.”

     Dari luar, deru motor Uber Eats mengganggu keheningan. Pelayan menatap layar ponselnya—sebuah story Instagram yang memamerkan “Freedom in Bali!” dengan filter matahari terbenam. Sartre menunjuk ke arahnya. “Lihat, Žižek. Itulah bad faith zaman sekarang—berteriak ‘Aku bebas!’ sambil mengejar like.”

Lampion di Tengah Kegelapan

     Hujan telah reda. Kafe Les Deux Magots perlahan sepi. Sartre masih duduk sendirian, cangkir kopinya kini benar-benar kosong. Di meja sebelah, secarik kertas tertinggal—coretan tangan Kierkegaard: “Kecemasan adalah pusingnya kebebasan.”

     Dari sudut lain, Camus melambai sebelum pergi. “Sampai jumpa, Sartre. Jangan lupa—bahkan di tengah kutukan, kita bisa mencuri kebahagiaan.”

     Sartre tersenyum tipis. Ia mengeluarkan pena dan mulai menulis di buku catatannya: “Kebebasan adalah kutukan yang kita ukir menjadi puisi. Dan puisi ini—kadang pahit, kadang absurd—adalah satu-satunya bukti bahwa kita pernah ada.”

     Di luar, lampu Paris mulai menyala—lampion-lampion kecil di tengah kegelapan. Mungkin itu jawaban dari semua debat: kebebasan bukan untuk dimengerti, tapi untuk dijalani. Bahkan jika harus dengan gemetar, seperti Kierkegaard di tepi jurang, atau dengan tawa getir seperti Camus yang tahu batu itu akan jatuh lagi.

     Seperti kata Nietzsche sambil menghilang di kerumunan: “Hidup bukanlah argumen—ia adalah tarian. Dan kadang, menari di atas panggung Zuckerberg pun lebih baik daripada duduk diam.”

     Tapi Sartre tahu: diam pun adalah pilihan. Dan malam ini, pilihannya adalah menulis—satu-satunya cara untuk memberontak terhadap kutukan yang tak pernah ia minta.

Hidup bukanlah argumen—ia adalah tarian. Dan kadang, menari di atas panggung Zuckerberg pun lebih baik daripada duduk diam.

Label:

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.