Inilah Tondano

     Salah satu kota di Sulawesi Utara yang geliat perkembangannya tidak seagresif wilayah lain di sekitarnya. Menelisik asal usul keberadaan Tondano, sepertinya tidak berlebihan bila menyebut Tondano sebagai 'the heart of Minahasa'. Bagaimana tidak, di saat daerah lain baru lahir, atau sedang menapak mencari jati diri, kota Tondano sudah eksis sebagai pusat pemerintahan wilayah Minahasa.
     Namun seiring berjalannya waktu, perkembangan Tondono menjadi relatif stagnan. Manado meluncur paling depan menjadi ibukota Sulut. Bitung berkembangan menjadi salah satu kota pelabuhan representatif di tanah air. Tomohon telah berdiri sendiri sebagai kota administratif, mengembangkan sendiri potensi yang ada di wilayahnya. Secara historis, semuanya berada di bawah kendali Tondano, dulunya.
     Tetapi di artikel ini saya tidak menjelaskan lebih jauh lagi tentang hal itu. Fokus ke Tondano, berikut beberapa foto yang bisa menjadi penanda bahwa inilah Tondano. Kota yang selalu sejuk hampir sepanjang hari. Sejuk yang bahkan sangat dingin di bulan-bulan tertentu setiap tahunnya.
     Nama Tondano sendiri, tentu saja merujuk ke sebuah danau yang begitu indah, danau Tondano. Danau yang merupakan kawah besar, berisi air yang menjadi cadangan kebutuhan konsumsi air bersih daerah-daerah yang dilaluinya, terutama kota Manado. Masalah danau sama saja dengan danau-danau lain di wilayah lain Indonesia, bermasalah dengan pendangkalan, sampah dan gulma berupa enceng gondok.
     Namun semua itu tidak bisa menutupi keindahan danau. Maka menjadi jamak bila hampir setengah keliling danau yang terjangkau dari arah Unima, disesaki dengan resto, bungalow, resting house dan sarana lain yang menunjang sebagai destinasi wisata. Icip-icip kuliner khas Minahasa bisa dimulai dari resto di sepanjang danau ini. Hanya saja untuk yang Muslim, harus lebih jeli bertanya menelisik sajian di resto-resto tersebut, mengingat sebahagian terbesar etnis Minahasa di wilayah ini menganut kepercayaan bukan Islam.
senja di danau Tondano
     Aksen lain yang menonjol di Tondano adalah keberadaan Unima, Universitas Negeri Manado. Destinasi yang pasti akan mengantar kita langsung ke Tondano, dari arah manapun di Sulawesi Utara. Angkot maupun angkutan antar provinsi akan membawa kita ke sana dengan mudah, lancar dan pasti.
     Di sekitar Unima, yang menurut saya juga menjadi penciri khas Tondano adalah banyaknya sumber air panas alam. Oleh masyarakat kemudian dibentuk menjadi kolam renang, ataupun kolam berendam untuk menikmati kehangatan air hangat yang keluar dari perut bumi. Berendam di kehangatan air itu dipercaya mampu meredakan ketegangan-ketegangan, merelaksasi stress oleh tekanan kerja sehari-hari.
salah satu kolam renang air panas di tondano
     Asset lain Tondano adalah satu jalan yang disebut sebagai 'Boulevard'. Pertama kali mendengar sebutan itu, bermacam imaji seketika muncul di kapala saya. Dan yah, sepertinya inilah jalan yang paling 'lebar' yang ada di Tondano. Kiri kanan jalan ada trotoar, yang di sisi luarnya dibatasi dengan tanggul beton, pas untuk duduk bersantai menikmati suasana boulevard. Lalu, sawah yang membentang luas menjadi pemandangan kiri kanan Boulevard. Di ujung batas pandang ada Unima di sisi Timur, nampak menghias bentang alam yang menonjol lebih tinggi. Sementara di arah Barat akan nampak Gunung Klabat di kejauhan bila cuaca sedang cerah.
     Di ujung jalannya di utara ada patung, yang bila kita dari arah selatan, maka berbelok ke kiri kita akan ke arah pusat kota, alun-alun Sam Ratulangi dan kantor bupati Tondano. Sedangkan kalau berbelok ke kanan akan mengantarkan kita ke arah benteng Morano, Unima dan danau Tondano.
     Hanya ada dua hotel yang jelas nampak di Tondano. Satu terletak persis di depan patung yang saya maksud di atas, satunya lagi juga terletak di jalan yang sama, hampir bersebelahan dengan alun-alun Sam Ratulangi. Hanya itu.!! Namun yang eksotis menurut saya adalah keberadaan andong (bendi.?) atau apalah sebutannya.. kendaraan yang ditarik oleh seekor kuda. Suka melihatnya, kendaraan yang tidak tergusur oleh keberadaan angkot modern. Setiap orang menggunakannya, mulai dari anak-anak sampai oma opa. Dari remaja muda mudi necis atau biasa, hingga om tante perlente menggunakan angkutan ini dengan sukacita.
     Dengan satu pengemudi andong, kereta itu masih bisa menampung hingga lima nona-noni atau bahkan lebih bila mau saling menumpuk. Kadang tubuh andong seakan hendak meledak oleh sesaknya penumpang. Pintu belakang sudah tidak bisa tertutup, sebahagian kaki dan anggota tubuh yang lain sudah menjuntai keluar. Tapi di situlah eksotiknya memandang moda transportasi itu.
     Kota yang menyapa kita dengan ramah. Namun begitu magrib menjelang dan matahari mulai benar-benar tenggelam, denyut aktifitas langsung berkurang drastis. Sebahagian terbesar warga memilih berada di rumah ketimbang melanjutkan aktifitas di luar. Ada kesan memilih diam beristirahat, ketimbang menyeruput aroma malam yang menyembunyikan rasa tidak aman oleh laku kriminal yang tidak terduga. Namun untuk saya, sangat beruntung karena tidak sempat terserempet oleh hal-hal yang dikuatirkan itu, meski mondar-mandir dengan berjalan kaki lewat tengah malam hingga dinihari..
      Dan cerita tentang Tondano tentu saja tidak akan terlepas dengan keberadaan Kampung Jawa, dimana etnis 'Jawa Tondano' disingkat Jaton, berada. Etnis yang terbentuk oleh kehadiran Kyai Modjo dan 62 pengikutnya yang diasingkan oleh Belanda di tahun 1829. Beranak pinak, mengembangkan lahan dan mengajarkan cara bercocok tanam padi kepada penduduk asli Minahasa. Jaton adalah sebahagian dari wajah Tondano, kontras dengan budaya dan keyakinan agama yang relatif berbeda dengan etnis Minahasa umumnya.
      Untuk menemukan Kampung Jawa bukanlah hal yang sulit. Wilayah Tondano yang relatif tidak luas, sangat mudah untuk dieksplorasi untuk setiap ikon di dalamnya. Mulai dari Mesjid Raya Al-Falah hingga makam Kyai Modjo berada di satu jalur yang bisa dicapai dalam sekali jalan. Jejak dan warisan Kyai Modjo sangat mudah untuk diakses. Dan untuk itu semua, sudah saya ulas di artikel berbeda.




      Hal yang tentu saja sangat menarik untuk saya adalah pawai keliling kota. Pawai panjang, berjalan kaki melintasi jalan-jalan protokol menjadi rutinitas untuk hampir setiap hari raya, baik hari raya nasional maupun keagamaan. Misalnya di hari pahlawan, hari pendidikan nasional, hari Paskah ataupun satu Muharram, hingga Festival Jaton. Ah, setidaknya inilah salah satu sarana eksistensi mozaik elemen-elemen yang menyusun keragaman masyarakat Tondano.
      Tentu saja pawai menjadi suguhan hiburan gratis bagi warga di sepanjang jalan yang dilalui. Saya tiba-tiba terkenang masa kecil dahulu, ketika Makassar belum berkembang sepesat sekarang ini. Murid sekolah atau elemen masyarakat mana saja, bisa memanfaatkan jalan-jalan utama kota untuk pawai. Belum ada ketergesaan seperti sekarang ini. Belum ada istilah macet untuk kebenaran dan pembenaran warga kota. Maka jalan yang tersendat sekali-sekali oleh pawai menjadi bumbu tersendiri di keseharian kehidupan kota. Dan pawai-pawai yang berlangsung di Tondano menyegarkan kembali kenangan itu.
      Di Tondano juga ada stadion sepak bola, Stadion Klabat. Sayang sekali saya tidak sempat membuat gambar yang bagus untuk stadion tersebut. Area stadion yang saya kunjungi ketika ada pameran pembangunan yang diselenggarakan oleh pemda. Gelaran pameran yang tentu saja hiruk pikuk. Mulai dari suguhan musik yang begitu menggelegar hingga aneka kuliner dan produk lokal ditemui di sana. Kreatifitas warga Tondano bisa ditemui di event tersebut. Komidi putar, spot-spot adu ketangkasan hingga game catur tiga langkah menjadi penyemarak untuk disuguhkan ke pengunjung.
      Dan di sisi lain, adalah Pasar Tondano. Pasar yang bersebelahan dengan Terminal. Pasar tradisional yang begitu eksotik di mata saya. Sedikit kumuh, tentu saja seperti dengan pasar-pasar tradisional lainnya. Hanya saja, yang agak lain di mata saya adalah apa yang dijajakan di sepanjang jalan sekitar menuju pasar. Pedagang kaki lima, dengan jualan basah maupun kering, seperti biasa merebut sebahagian akses jalan. Lalu andong, angkot, ojek dan kendaraan lain seperti biasa berebut melintasi spasi jalan yang tersisa.
      Tetapi bukan itu fokusnya. Bila di daerah saya begitu mudah menemukan penjual daging ayam, maka tidak seperti itu di Tondano. Yang sangat mudah ditemukan adalah jualan daging babi. Seketika saya menjadi maklum, mayoritas warga Tondano adalah non muslim, berbeda dengan daerah saya selama ini. Suguhan lain yang juga unik adalah ikan asap. Iya, ikan yang telah diawetkan dengan pengasapan sangat mudah ditemui. Ikan asap yang telah 'kering' dipajang dalam jepitan bambu. Begitu menggiurkan, bersanding dijajakan dengan ikan air tawar dari Danau Tondano.
       Namun yang cukup menarik untuk saya adalah dua menara yang hampir berhadapan, terletak di dekat pasar. Satunya adalah menara gereja, satu lainnya adalah menara mesjid. Letak kedua tempat ibadah itu memang tidak terpisah jarak yang jauh. Hampir saling berhadapan. Dan dua menaranya nampak dari kejauhan, saling berhadapan mesra. Harapan klasik di benak saya segera melangit, semoga harmoni antar umat beragama di wilayah ini juga tetap terjaga, saling mesra seperti menara yang berhadapan itu.
       Rasanya sangat banyak hal unik lain yang hendak saya tuliskan, namun untuk tidak melelahkan membaca artikel yang terlalu panjang, maka penggalan-penggalan artikel tentang Tondano lainnya bisa dilihat di kategori Tondano di sepanjang blog ini.
      Mengakhiri tulisan ini, maka mari kita ke Tondano..

Menelisik asal usul keberadaan Tondano, sepertinya tidak berlebihan bila menyebutnya sebagai 'the heart of Minahasa'. Bagaimana tidak, di saat daerah lain baru lahir, atau sedang menapak mencari jati diri, kota Tondano sudah eksis sebagai pusat pemerintahan wilayah Minahasa.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.