Buzzer, Politikus, dan Post-Truth Engine

     Di ruang kontrol Warung Telegram, lampu neon merah menyala redup, memantulkan bayangan puluhan layar yang menampilkan ribuan akun fake bergerak seperti semut gila. Seorang buzzer bernama Rian mengetik cepat, jarinya menari di atas keyboard berlumur noda kopi. "Goreng hashtag #PresidenCebongRacunAir," perintah bosnya lewat headset. "Pakai bukti foto air keruh di Ciliwung—edit dikit biar mirip limbah kimia." Rian menghela napas. Sebelumnya, ia disuruh menyebar hoaks vaksin mengandung chip; sekarang, air minum jadi senjata politik. "Ini SQL injection ke otak publik," bisiknya, meniru istilah teknis yang ia dengar dari hacker di forum gelap.

     Di layar sebelah, algoritma Warung Telegram bekerja gila-gilaan. Setiap clickbait dikonversi jadi engagement: komentar marah, share buta, air mata emosi. Seorang politikus paruh baya muncul di video call, wajahnya tersamar filter "Pahlawan Rakyat". "Kita perlu trending 48 jam," katanya, "Bikin deepfake Mbah Maridjan bilang dia dukung kami. Viralkan sebelum debat capres!" Rian mengangguk, lalu menjalankan AI Voice Cloning—suara almarhum juru kunci Merapi itu di-mix dengan pidato politikus. Dalam 10 menit, video itu sudah menyebar: "Pilihlah pemimpin yang tak korup!" kata Mbah Maridjan palsu, sementara di kolom komentar, akun-akun bot berseteru: "Ini suara leluhur!" vs "Hoaks! Mbah Maridjan sudah meninggal!"

     Sementara itu, di Istana Digital, tim narrative engineering partai berkuasa sibuk memantau dashboard real-time. "Aktivasi firewall," perintah kepala tim. "Blokir semua konten kritis pakai DSNP—Dalih Sensor Negara Penting." Di layar, grafik sentiment analysis berubah dari merah ke hijau saat ribuan akun buzzer membombardir hashtag #PresidenHebat. Seorang analis muda berseru: "Laporan, Pak! Hoaks 'Bumi Datar' kembali viral—kita ikut ride atau counter?" Sang kepala tim tersenyum: "Biarkan mereka percaya Bumi datar. Itu distraction bagus dari skandal korupsi kita."

     Di ruang rahasia bawah tanah, sekelompok hacker idealis meretas server partai. "Lihat ini," kata seorang coder bernama Luna, "Mereka pakai deepfake factory—setiap hari produksi 500 video palsu." Di layar, ada rekaman menteri kebudayaan sedang nobar film porno—hasil editan face-swap yang sempurna. "Ini malware demokrasi," geram Luna. "Kita harus expose!" Tapi rekannya, seorang mantan buzzer yang muak, menggeleng: "Tak ada gunanya. Mereka punya post-truth engine—kebenaran hanya jadi option, bukan fakta."

     Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang pendakwah terkenal diundang ke Studio TV Nasional. "Ustadz, bagaimana tanggapan Anda soal isu kiamat 2045?" tanya presenter. Sang ustadz tersenyum lebar: "Kiamat pasti datang, tapi sebelum itu, mari kita upgrade iman dengan donasi ke e-wallet kami!" Di layar, QR code berkedip di atas gambar neraka yang animasi-nya mirip game Mortal Kombat. Komentar berlonjakan: "Astaghfirullah, transfer sekarang juga!" "Ini penipuan, ustadz gadungan!" Tapi algoritma segera menenggelamkan suara kritis dengan ribuan like dan love.

     Malam itu, Rian pulang dengan kepala penuh pertanyaan. Di kamarnya, ia membuka laptop tua dan mengetik di forum merah: "Apakah kita NPC dalam game politik ini?" Seorang anonim membalas: "NPC? Kita lebih parah. Kita bot yang dibayar untuk percaya kita manusia."

     Di langit digital, satelit-satelit memancarkan gelombang 5G yang membawa jutaan konten palsu. Seorang petani di Garut melihat video bahwa pupuk langka karena dikorupsi presiden—padahal ia tak tahu siapa presidennya sekarang. Seorang ibu di Surabaya menangis karena deepfake anaknya minta tebusan di Facebook. Di Kominfo, server trust score mendeteksi 87% warga tidak percaya lagi pada media arus utama. "Aktifkan echo chamber," perintah seorang pejabat. "Bagi mereka ke bubble yang lebih kecil—biar debat sesama sendiri."

     Di suatu tempat, Steve Bannon tersenyum dari balik layar. "Flood the zone with shit," gumannya, mengutip mantra post-truth. Tapi di sini, shit itu di-encrypt jadi meme, TikTok, dan ayat suci yang dipelintir.

     Keesokan pagi, Rian kembali ke Warung Telegram. Bosnya menyuruhnya membuat narasi baru: "Goreng isu kudeta—presiden mau bubarkan DPR!" Rian menatap layar, lalu mengetikkan perintah SQL injection terakhir:

  Copy
DELETE FROM narrative_table WHERE truth=1
Tapi sistem membalas:
[Error: Truth not found]

     Di luar, hujan deras membasahi jalanan. Seorang anak kecil bertanya pada ibunya: "Mama, bener nggak sih langit lagi buffer? Katanya mau crash." Sang ibu, tanpa melepaskan pandangan dari smartphone, menjawab: "Iya, Sayang. Tapi kita beli cloud storage aja biar aman."

     Dan di suatu server rahasia, post-truth engine tetap berputar—memakan fakta, memuntahkan narasi, dan mengubah demokrasi jadi sandbox game yang dimainkan oleh para deity tanpa wajah.

Apakah kita NPC dalam game politik ini? Kita lebih parah. Kita bot yang dibayar untuk percaya kita manusia.

Posting Komentar

  1. Sebuah pencerahan di tengah Sahara Bang... K. 404

    BalasHapus

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.