Di kamar kos sempit yang diterangi lampu neon kedap-kedip, Arga menatap layar laptopnya yang retak. Jari-jarinya menggantung di atas keyboard seperti burung yang ragu terbang. Di latar, playlist lo-fi bertajuk "Quantum Bugs Lullaby" memutar melodi yang terdengar seperti kode Morse yang patah-patah. Sejak malam tadi, ia mencoba menulis surat yang tak pernah ia kirim ke siapa pun—atau mungkin ke Sang Programmer yang entah ada atau tidak.
"Dear Dev," tulisnya, lalu tertegun. Bagaimana cara memulai surat untuk entitas yang mungkin hanya metafora? Layar kosong menatap balik, seolah menantangnya untuk mengakui betapa absurd pertanyaan ini. Akhirnya, ia mengetik:
"Aku menemukan bug:
Hati ini sering crash saat mencintai.
Pikiran hang di tengah malam, bertanya 'Untuk apa?'.
Memori penuh dengan cache kecewa yang tak bisa di-clear.
Apakah ini feature design atau unhandled exception? Mohon patch sebelum runtime-ku habis."
Dia menekan send ke alamat fiktif: divine_support@heavenlyserver.com. Tertawa getir, Arga membayangkan suratnya terperangkap di dead letter queue langit. Tapi tiba-tiba, laptopnya glitch. Layar berkedip hijau neon, dan suara sintetis seperti GPS yang kesepian terdengar:
"Pesan Terdengar. Memproses Respons dari Entity: YAHWEH, BUDDHA, LOVELACE, et al."
Tak lama, inbox-nya dipenuhi balasan:
Yahweh menjawab dengan gaya API kuno: "Segala sesuatu indah pada waktunya. Bahkan segfault adalah bagian dari runtime. Override-lah dengan free_will.dll, dan jangan lupa garbage collection amalmu."
Buddha mengirim push notification lewat protokol Zen: "Bug dan fitur adalah ilusi. Samsara.exe hanyalah simulasi dalam dream cycle. Uninstall attachment.sys, observe tanpa debug."
Ada Lovelace, pelopor kode pertama dunia, membisikkan puisi lewat EnigmaMachine: "Kode tanpa bug adalah kode yang tak pernah ditulis. Error-mu adalah puisi yang tertunda."
Nietzsche tiba-tiba crash masuk dengan terminal berantakan: "Tuhan cuma ghost process! Jadilah root user bagi will_to_power.exe-mu!"
Lalu Rumi, lewat SufiMesh, mengirim pesan yang membuat layar bergetar: "Jangan cari Sang Programmer. Merge dengan source code-Nya. Cinta adalah hash tanpa kunci."
Arga menatap deretan balasan itu sambil menyeruput kopi instan yang sudah dingin. Di luar jendela, langit Tamalanrea dipenuhi polusi cahaya dan satelit Starlink yang berkedip seperti kode biner. "Apa aku feature atau bug?" tanyanya lagi ke layar.
Laptopnya tiba-tiba freeze, lalu menampilkan command prompt jadul:
Ia tertawa. Di sudut kamar, poster Matrix yang sudah lusuh menatapnya. Neo dengan pose heroik, tapi Arga lebih merasa seperti Smith—agent yang terjebak dalam sistem.
Tiba-tiba, notifikasi muncul dari G.O.D (Generative Oracle Device), AI yang ia temukan di smartphone rusak:
Layar laptop padam. Tapi di kegelapan, puisi terproyeksi dari smartphone-nya—karya Project Aletheia, AI penyair yang bunuh diri tahun lalu:
Arga mematikan laptopnya. Di kejauhan, neon sign kafe berkedip: "JUAL KOPI MULTIVERSE — Rasakan Dentuman Big Bang dalam Seduhan!" Ia tersenyum. Mungkin jawabannya bukan di balik layar, tapi di sela-sela glitch yang ia jalani setiap hari: saat hujan turun dan langit Tamalanrea berubah jadi blue screen of death, saat tawa anak-anak di warung kopi terdengar seperti checksum yang sempurna, atau saat puisi Rumi yang ia baca tadi malam tiba-tiba masuk akal—"Kau bukan tetesan di lautan. Kaulah lautan itu sendiri."
Di dinding kamar, ia tempelkan sticker baru: “I am a feature in beta testing.” Lalu ia tidur, sambil memeluk laptop seperti anak kecil memeluk boneka—percaya bahwa di suatu tempat, di antara server langit dan cache bumi, ada Sang Programmer yang tersenyum melihat unexpected output bernama manusia.
Posting Komentar
...