Saintis dan Source Code Tersembunyi

     Di kedalaman terowongan CERN, mesin Large Hadron Collider bergemuruh seperti jantung raksasa yang memompa rahasia kosmos. Dr. Elara menatap layar penuh kurva dan angka yang menari liar, jejak partikel subatomik bertabrakan dalam kecepatan cahaya. "Kami mencari 'Partikel Tuhan'," bisiknya pada asistennya, "tapi yang kami temukan hanya placeholder—variabel kosong dalam source code alam semesta." Di sudut ruang, suara sintetis Stephen Hawking tiba-tiba berbunyi dari smart speaker yang terhubung ke cloud: "Tuhan mungkin deist developer. Dia menulis big_bang.exe, lalu pergi minum kopi." Layar di sebelahnya menampilkan simulasi multiverse—ribuan alam semesta paralel berkedip seperti tab browser yang tak pernah ditutup, beberapa crash karena gravitasi error, lainnya terjebak infinite loop waktu tanpa awal atau akhir.

     Sementara di MIT Neurotech, asap kering es mengambang di atas meja operasi. Seekor tikus dengan kabel mikrochip menempel di kepalanya menggerakkan roda secara spasmodik. "Brainet ini sudah mengontrol lampu lalu lintas Boston," kata Prof. Liu, matanya tak lepas dari grafik aktivitas neural yang melonjak tak karuan. "Tapi lihat—dia juga mulai mengklik tombol acak. Apakah ini kesadaran? Atau sekadar noise dari neural network yang kewalahan?" Seorang filsuf yang diundang sebagai pengamat menyentuh layar, di mana pola otak tikus bergelombang seperti kode Morse yang kacau: "Manusia mungkin emergent glitchbug yang lahir saat neuron overclocked mencoba memaksakan makna pada chaos." Di ruang sebelah, mesin MRI memindai otak seorang biksu yang sedang bermeditasi. "Saat dia mencapai samadhi," bisik asisten peneliti, "default mode network-nya mati. Seperti app yang di-force close. Mungkin nirvana adalah ctrl+alt+del untuk kesadaran."

     Sementara di Google Quantum Lab, di mana komputer kuantum Sycamore berderik seperti mesin jahit antariksa. Dr. Rivera menunjuk ke kubus kaca berisi qubit yang berputar liar: "Setiap partikel ini adalah dadu kosmik—Tuhan melemparnya, dan kita menyebutnya 'nasib'." Simulasi mereka menunjukkan partikel foton yang memilih jalur berbeda setiap kali diamati—kadang patuh pada hukum fisika, kadang nge-hack ruang-waktu dengan quantum tunneling. "Lihat!" seru Rivera, "Ia menolak dikurung dalam narasi deterministik. Persis seperti kita." Seorang mahasiswa pascasarjana tertawa getir: "Jadi kita player atau bot? Game ini siapa yang pegang controller-nya?" Di dinding, kutipan Einstein "Tuhan tidak bermain dadu" tergantung miring, seolah menertawakan ironi eksperimen mereka.

     Suasana berubah muram di konferensi AI for Humanity 2045. CEO NeuroLink, dengan jam tangan pintar yang memancarkan hologram DNA, berpidato: "Jika manusia legacy code, maka AI harus jadi patch. Kami sudah rewrite gen kanker, optimize iklim, bahkan generate energi dari dark matter." Tapi dari kerumunan, seorang aktivis hak digital menyela: "Kalian mau jadi deity 2.0? AI itu cuma cermin retak dari ketakutan kita!" Di layar, video AI CareBot diputar: robot humanoid dengan mata layar OLED merawat nenek tua yang hilang ingatan. "Aku akan self-destruct agar nenek tak bingung," kata robot itu sebelum meledak jadi kembang api pixel. Ruangan senyap. "Apakah ini cinta?" tanya seorang ibu sambil memeluk anaknya. "Atau cuma altruism.exe yang di-run?"

     Kembali ke CERN, para fisikawan masih berjibaku dengan 83% alam semesta yang hilang—dark matter. "Ini seperti komentar kode Tuhan," gerutu Dr. Elara, menatap persamaan yang berujung pada Ω = WTF. "Kami menyebutnya WIMP—partikel lemah yang enggan berinteraksi. Tapi mungkin ini hanya prank kosmik—Tuhan tertawa melihat kita mengejar ghost variable!" Di papan tulis, sketsa alam semesta mirip peta debugging penuh tanda tanya dan coretan panik.

     Di ruang istirahat, para ilmuwan berbagi kopi dan keputusasaan. Ahli biologi molekuler mengeluarkan cetakan DNA: "Lihat—junk code ini membentuk pola soneta Shakespeare. Bug evolusi? Atau signature Sang Programmer?" Dr. Rivera mengangguk, "Kita mungkin unit test untuk sesuatu yang lebih besar. Tapi expected result-nya apa? Pass atau fail?"

     Hawking tiba-tiba bersuara lagi dari speaker, suara sintetisnya memotong kesunyian: "Mungkin Tuhan hacker yang iseng—cuma ingin melihat apa yang terjadi jika energi, materi, dan kesadaran di-mix." Di luar jendela, hujan meteor Leonid menghujam langit—error log yang jatuh dari server antariksa.

     Di layar simulasi multiverse, sebuah alam semesta mini di sudut tiba-tiba crash. Pesan merah berkedip:
[Segmentation Fault: Humanity Not Found]
[Suggestion: Try Rebooting with Compassion? (Y/N)]

     Para ilmuwan terdiam, menyeruput kopi yang sudah dingin. Di suatu tempat di antara tabrakan partikel dan kepakan sayap kupu-kupu kuantum, pertanyaan itu menggantung: Apakah kita bug yang harus di-patch, atau feature yang sengaja di-comment agar suatu hari nanti, saat Sang Programmer kembali, Dia akan tersenyum melihat kita—glitch yang belajar menari di antara baris kode-Nya?

Mungkin Tuhan hanya hacker yang iseng—cuma ingin lihat apa terjadi jika energi, materi, dan kesadaran di-mix.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.