Kesetiaanku

     Aku mengenang indah dan cerianya hidup diantara manusia-manusia sejak masih di sekolah menengah atas dulu. Wawasan dan pengalaman itupun semakin luas setelah saya menginjakkan kaki di perguruan tinggi. Aku tahu betapa pentingnya hubungan baik yang tercipta di antara setiap manusia. Dan saya berusaha untuk memilikinya dalam pergaulanku dengan siapa saja.
     Sehingga tidak heran, meskipun modal wajah saya tidak bisa dikatakan cantik, namun dengan bekal hati dan niat suci dalam pergaulan, saya berhasil mendapatkan banyak kawan, kenalan dan sahabat. Dan tentu saja, tidak saya tutup-tutupi bahwa kenormalan biologis sebagai wanita, saya cenderung untuk ingin memperbanyak sahabat di kalangan kaum pria.
     Namun satu hal, saya hanya sampai di batas persahabatan. Tidak lebih.
     Begitulah aku tampil sehari-hari, sambil memperbanyak ilmu di bangku kuliah. Hingga pada suatu hari aku sempat berkenalan dengan seorang mahasiswa di dekat kantor pos di lingkungan PKM kampusku. Orangnya biasa saja. Dia dua tahun lebih dahulu telah bercokol di Universitas ini. Di samping kuliah, ia juga aktif dalam kelompok pencinta alam universitasku.
     Perkenalan yang sederhana itu ternyata membekas sangat dalam bagiku. Entah mengapa, simpatiku begitu besar padanya. Padahal ia kelihatan biasa-biasa saja. Tidak gagah bahkan cenderung tidak rapi dalam penampilan. Rambutnya agak panjang dengan kesan jarang tersentuh sisir. Hanya sedikit senyum di bibirnya. Tapi di matanya..oh, aku tidak kuasa melukiskan seperti apa bila aku memandangnya.
     Aku mungkin telah jatuh cinta. Tapi sungguh, kenapa saya justru berusaha untuk menyembunyikan perasaan itu. Saya ingin agar ia menjadi sahabat biasa saja seperti yang lain-lainnya. Akibatnya saya sengaja menghindarinya.
*0*0*
     Di Fakultasku, aku mempunyai seorang teman pria, Tino, yang berusaha keras mendapat perhatian lebih dariku. Mulanya memang aku memenuhi keinginannya, dengan harapan ia akan menjadi sahabat yang baik. Namun lama kelamaan ia bukannya sadar akan tujuan persahabatanku, malah menyatakan rasa cintanya kepadaku. Aku jelas tidak bisa membalasnya. Siapa sih yang bisa memaksakan cinta?
     Untuk tidak menyakiti hatinya, aku berusaha berbuat sebijak mungkin. Aku jelaskan segalanya. Tapi ternyata ia tidak bisa untuk mengerti. Bahkan aku telah diproklamirkan di antara teman-teman, sebagai pacarnya. Mulanya aku marah sekali. Namun setelah kupikir-pikir, hal itu akan membuat keretakan diantara kawan sendiri. Akhirnya kuputuskan untuk berlaku wajar seperti biasa saja, sambil berusaha menghindari dia, Tino yang tidak punya pengertian itu.
*0*0*
     Hari-hariku berjalan rutin dengan acara kuliah. Lalu di akhir semester, himpunan mahasiswa di jurusanku mengadakan acara bakti sosial. Di tempat kegiatan itu, secara kebetulan aku bertemu lagi dengan anak pencinta alam yang dulu telah merebut banyak simpatiku. Kami memang lama tidak bertemu. Aku senang sekali. Rupanya ia berada di desa itu dalam acara pendakiannya ke gunung yang menjulang di sebelah Timur sana.
     Di tempat ini, aku tidak bisa lagi menutupi rasa simpatiku padanya. Namun demikian bukan berarti aku melupakan kawan-kawan yang lain. Apalagi Tino juga ikut dalam rombongan kami. Sebenarnya aku mulai muak terhadap Tino yang belakangan ini selalu hendak memaksakan kehendaknya padaku. Tapi itulah, aku lebih menghargai nilai suatu persahabatan dibandingkan kepentingan pribadiku sendiri.
     Rombongan kami lebih dahulu meninggalkan desa itu, sehingga mau tidak mau kami berpisah dengan anak-anak pencinta alam yang masih tinggal beberapa hari lagi di sana.
     Inilah yang aneh dalam hidupku. Tanpa berfikir, tanpa pertimbangan, aku mau saja menerima begitu saja pernyataan cinta si 'dia' yang telah merebut rasa simpatiku selama ini. Di sela-sela persiapan kepulangan rombonganku, ia menemuiku sejenak sambil bercanda menyampaikan rasa hatinya padaku. Aku yang mendengarkan hanya angguk-angguk setengah sadar, karena rasa gembira dan senang yang menyeruak begitu dahsyat dari dasar hatiku.
     Sungguh lucu membayangkan, aku bisa begitu mudah menerimanya tanpa kerewelan sedikitpun di saat itu. Hanya satu hal yang kuyakini bahwa ia laki-laki yang tulus. Di teduh tatapan matanya aku melihat indahnya sinar kejujuran itu.
     Dia menyalamiku ketika aku hendak naik ke bus yang akan membawa rombonganku. Sambil menjabat tanganku ia menyelipkan lipatan kertas kecil di antara jemariku.

          di bening bola matamu
          kulihat telaga tak beriak
          aku ingin meneduh di sana
          membasuh jiwa di bening kasihmu

          lusa aku jemput ya, untuk acara di sekretariatku. jangan pake lupa.
          Aku akan langsung menjemput ke rumahmu 
          setelah meninggalkan desa ini lusa.

          -RESTU-
*0*0*
     Pukul sembilan pagi, Tino menelponku. Ia mengajak untuk makan siang. Ia kemudian menjemputku, setelah ia berjanji mengantarku pulang begitu selesai makan siang. Sebenarnya aku merasa tidak enak, tetapi tidak kutunjukkan pada Tino.
     Kami berjalan-jalan di pantai sebentar, kemudian Tino membelokkan mobilnya ke arah luar kota. Aku mengingatkannya bahwa aku ada janji sore ini. Tapi lagi-lagi ia tidak mau mengerti. Kami berputar-putar di luar kota, dan mengantar aku kembali ke rumah setelah magrib. Aku kesal sekali.
     Setibanya di rumah, adikku bilang bahwa tadi ditunggu selama hampir tiga jam oleh seseorang. Oh.. dadaku rasanya begitu sesak dan kakiku gemetaran. Itu pasti Restu yang telang menungguku. Tanpa berfikir panjang lagi, aku segera ke sekretariatnya yang juga terletak di dalam kampusku, tempat dimana ia biasa berkumpul dengan teman-temannya. Tapi ia tak kutemui. Aku menunggu sampai acara selesai namun ia tak kelihatan juga. Aku pulang dengan langkah lesu.
     Sejak saat itu aku tidak pernah bertemu Restu lagi. Hingga saat ini, telah tiga tahun berlalu, dan aku tetap menunggunya. Aku ingat Restu pernah mengatakan bahwa ia belajar kesetiaan di alam. Coba lihat, betapi setianya matahari mengunjungimu setiap pagi, tanpa pernah ingkar sekalipun. Oh Restu.. akupun akan menunjukkan kesetiaanku seperti matahari itu. Cinta tulusku setia menantimu.
Makassar, Februari 1991
'ketika teknologi komunikasi belum
berkembang pesat seperti sekarang ini'
diterbitkan pertama kali 
dalam bentuk hardcopy di
bulletin lembanna Korpala Unhas
orang berakal hidup untuk masyarakatnya,
bukan untuk dirinya sendiri..

Aku mengenang indah dan cerianya hidup diantara manusia-manusia sejak masih di sekolah menengah atas dulu. Wawasan dan pengalaman itupun semakin luas setelah saya menginjakkan kaki di perguruan tinggi. Aku tahu betapa pentingnya hubungan baik yang tercipta di antara setiap manusia. Dan saya berusaha untuk memilikinya dalam pergaulanku dengan siapa saja.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.