Misteri Mokele-Mbembe

     Rencana yang cermat telah mereka susun secara tertulis. Berulang-ulang mereka menelitinya guna mencegah terjadinya kesalahan, bahkan yang terkecil sekalipun. Rancangan itu sudah begitu mantap, tinggal menunggu waktu pelaksanaannya saja. Malah tiket pesawat udara untuk ke Leopoldville juga telah mereka pesan. Bila tiada aral melintang, mereka bertiga pasti berangkat ke Kongo di Afrika.
     Rupanya kegagalan yang dialami Roy Mackal 13 tahun yang lalu belum membuatnya jera. Roy Mackal adalah seorang ahli biologi di Universitas Chicago. Sejak 1965, selama 3 tahun (malah mungkin lebih) dia selalu mengejar "binatang misterius". Tetapi binatang buruannya yang disebut Nessie, tinggal di Loch (danau) Ness, Skotlandia, tak pernah ditemukannya.
     Sudah tentu "perburu an" itu memakan banyak biaya. Tetapi karena ia pintar bersilat lidah dan mempunyai cukup banyak koneksi, ada beberapa pihak tertentu yang mau mensponsori pekerjaan itu. Dalam ekspedisi ke Kongo ini pun, dia mendapat sumbangan biaya cukup melimpah.
     Bersama dua orang temannya. Herman dan Kia Reguster, Roy Mackal tiba dengan selamat di Leopoldville. lni bukan berarti perjalanan mereka telah berakhir dengan sukses. Tetapi justru baru akan dimulai, dengan segudang kesulitan menghadang di depan mereka. Ketiganya memang petualang berpengalaman. Namun bukan kerja mudah untuk mencapai pedalaman Kongo yang penuh rimba lebat itu.
     Bekal uang yang mereka bawa memang cukup banyak. Namun mereka tidak tabu sampai kapan mereka akan tertahan di tengah hutan Afrika. Maka mereka tak dapat bermewah-mewah dengan mencarter helikopter untuk membawa mereka ke pedalaman. Malam itu mereka menginap di Leopoldville. Berkat bantuan polisi Leopoldville. Roy Mackal berhasil bertemu dengan Robert Khispruwe.
     "Asal Anda bersedia membayarku Seribu US dollar", ucap Khispruwe negro gemuk itu.
     "Aku sanggup mengantar kalian dengan perahu bermotor sampai ke Port Francqui. Kujamin Anda bertiga akan selamat sampai di sana."
     "Whooaaa . . .!" Roy berseru kaget, "Jangan seserakah itu, Tuan Khispruwe. Kami bukan orang kaya. Kalau kami Anda peras sesadis ini, kami akan segera menjadi pengemis kelaparan."
     "Anda boleh bilang apa saja, tetapi mustahil orang miskin dari Amerika sampai ke Kongo yang begitu jauh, dengan tujuan untuk menyelidiki makhluk misterius yang belum tentu ada. Apakah itu bukan membuang uang saja? Lagi pula Anda harus ingat, perjalanan kita cukup jauh dan sulit. Jaraknya persis setengah dari lebar negeri Kongo. Berlayar memudiki sungai yang berarus deras dan banyak riamnya. Selama dalam perjalanan, semua kebutuhan kalian kutanggung.”
"Tapi, di manakah letak Port Francqui'?"
"Pada perternuan antara Sungai Kassai dengan Sungai Sankuru."
Untunglah, Roy Mackal belum ketularan watak orang Skotlandia yang terkenal pelit. Tanpa banyak pikir, permintaan Robert Khispruwe dipenuhinya. Dia memberikan uang muka 15% sebagai tanda jadi.
     Dua hari kemudian, perahu bermotor Ahyoegirl milik Khispruwe menderu membelah permukaan air sungai yang keruh cokelat. Robert Khispruwe disertai oleh dua pembantu, Wambesi dan Phentsuwo. Kebetulan saat itu sungai sedang banjir. Maka mereka tak perlu mengkhawatirkan gangguan riam, sebab hampir semua riam akan terbenam di bawah permukaan air. Ahyoegirl melaju dengan susah payah, berusaha melawan arus air yang mencoba mengembalikannya ke arah hilir sungai. Mesin diesel MWM-nya menggeram-geram, menghimpun tenaganya yang 180 tenaga kuda, guna memutar baling-baling Ahyoegirl. Sepanjang perjalanan tak terjadi sesuatu yang penting.
     Pada malam hari kadang-kadang terdengar anjing hutan melengking keras di tepi sungai. Mungkin dia sedang minum dan disambar buaya. Yang lebih sering terdengar adalah jeritan monyet dan suara burung hantu. Memang jalan air terbukti lebih aman dan lancar dibandingkan dengan jalan darat. Menjelang pukul 4 sore hari ketiga, Ahyoegirl telah merapat di dermaga Port Francqui. Roy Mackal membayar ongkos pelayaran, lalu meninggalkan perahu bermotor itu bersama kedua temannya. Di belakang mereka Wambesi dan Phentsuwo memanggul barang-barang bawaan mereka.
     Setelah mengucapkan selamat berpisah, kedua negro itu segera kembali ke perahu bermotor mereka, sedangkan ketiga "pemburu binatang misterius" itu segera mencari penginapan. Sebab mustahil mereka dapat meneruskan perjalanan. Mereka menginap di sebuah hotel kecil, dengan nama mentereng, Concorde. Memangg cuma itu yang dapat mereka temukan di kota sekecil Port Francqui. Sebelum pergi tidur mereka mengobrol dengan sesama tamu hotel.
"Di antara Anda sekalian," begitu Roy Mackal bertanya. "Apakah ada yang pernah mendengar tentang Mokele-Mbembe?"
Seorang pria tua bernama Henry. Dickson mendadak mengangkat wajahnya. Sepasang matanya bersinar penuh perhatian sedang tangannya mengelus-elus cambang dan janggut lebat yang hampir memenuhi wajahnya. "Kalau Anda berminat terhadap Mokele-Mbembe, Tuan Mackal," tukas Dickson. "Anda sangat beruntung karena telah bertemu dengan saya."
"Dapatkah aku mengharapkan sesuatu dari Anda, Tuan Dickson'''
"Aku lebih suka dipanggil Henry saja. Tentang makhluk aneh itu memang tidak begitu banyak yang kuketahui malah aku sendiri tak terlalu percaya bahwa makhluk misterius itu masih ada sekarang." Roy Mackal, Herman, dan Kia Reguster merasa sedikit kecewa. Tadinya mereka berharap akan mendengar cerita hehat tentang Mokele-Mbembe.
"Tetapi kabarnya pernah ditemukan jejaknya yang cukup jelas di pedalaman sana. Apakah itu bukan bukti yang autentik?"
"Bagi seorang ilmuwan seperti Anda, Roy, itu bukan bukti. Seperti Yetti misalnya. Manusia salju di Pergunungan Himalaya itu sering terlihat jejaknya, tetapi adakah yang pernah melihat manusia salju itu?"
"Ya, Anda benar," Heiman dan Kia Reguster hampir bersamaan menjawab
"Yeaaah," Mackal menyambung. "Sekian tahun aku memburu Nessie di Loch Ness. Tetapi secuwil pun aku belum pernah melihatnya. Padahal sudah begitu banyak usaha yang dilakukan orang untuk menemukannya. Segala macam alat modern telah digunakan, tetapi hasilnya tetap nihil."
"Sesuatu yang misterius memang selalu sulit untuk dilihat dengan jelas. Tetapi justru itulah yang menyebabkan orang terus-menerus memburunya. Sama saja dengan Mokele-Mbembe. Mungkin sebenarnya makhluk misterius itu hanya hidup dalam khayalan orang pribumi di pedalaman sana."
"Itulah watak ilmuwan sejati. Gigih, ngotot dan sering keras kepala. Nah, temuilah Whimbouse Guran. Dia akan mengantarkan kalian ke daerah penuh rawa di jantung Kongo yang sangat sulit ditempuh."
Lepas tengah hari esok harinya, persetujuan dengan Guran telah dicapai. Ini pun setelah Roy Mackal mau mengalah. Sebab ternyata Guran mengajukan syarat yang tak boleh ditawar. Ongkosnya cukup mahal juga. Namun apa boleh buat. Mereka memang sangat membutuhkannya.
"Pukul 4 sore akan kujemput kalian di hotel," Guran berkata. "Sekarang kalian tidur saja. Medan yang akan kita tempuh sangat berat, maka memerlukan tubuh yang segar agar dapat melewatinya."
     Kata-kata Whimbouse Guran terbukti benar. Truk 1,5 ton yang mereka tumpangi terbanting-banting dengan suara gemeretak. Tak perlu memilih jalan, sebab memang tak ada jalan di situ. Hanya tanah gersang penuh alang-alang yang ada di sekitar mereka. Guran menyetir mobilnya dengan gesit. Namun roda mo¬bil masih sering membentur batu atau terjeblos masuk lubang yang tadinya tidak terlihat. Para penumpangnya sering terlonjak dari kursi mereka karena guncangan hebat itu. Rasanya hampir sama dengan naik kapal di tengah lautan yang sedang diamuk badai. Terasa seperti ada puluhan kera berdansa di dalam perut mereka.
     Sinar senja yang terakhir lenyap, dan kegelapan malam segera menggantinya. Sorot lampu truk menembus kepekatan itu. Sesekali tampak hewan liar melintas, memotong arah sinar lampu mobil.
"Anda tidak ingin berburu, Tuan Mackal?" tanya Guran sambil memindah versnelling. "Di rak itu ada bedil Gibbs berlaras ganda".
"Ah, tidak. Terima kasih. Selaku ahli biologi, tugasku adalah meneliti, menyelamatkan dan mengembangkan makhluk hidup. Bukan mengganggu atau bahkan membunuh binatang yang tak berdosa. Kecuali jika terpaksa."
     Mereka berhenti sebentar untuk makan malam. Perjalanan diteruskan sampai tengah malam. Kemudian mereka berempat tidur di dalam mobil. Ini jauh lebih aman daripada misalnya tidur di dalam kemah biasa.
     Whimbouse Guran terbangun duluan. Dia merebus air lalu membuat kopi. Lalu disiapkannya sandwich isi daging untuk sarapan. Dia belum selesai bekerja ketika 3 laki-laki lainnya bangun. Tanpa menyikat gigi atau cuci muka, mereka segera menyerbu makanan dan minuman itu.
     Hampir 12 jam mereka bermobil, dengan berhenti 3 kali, untuk makan-minum dan istirahat sekedarnya. Matahari sudah amat rendah ketika mobil Guran berhenti di dekat suatu desa bernama Dzeke. Kehadiran mereka disambut dengan seruan dan teriakan yang sulit diartikan. Penduduk desa segera merubung "gerobak tanpa kuda" itu. Meski bukan baru sekali ini mereka melihat mobil, tetapi benda itu masih terasa aneh.
     Mereka berempat segera turun, mengunci semua pintu truk, kemudian menemui Kepala Desa Dzeke. Dia menyambut tamu-tamunya dengan gembira, dan dengan bangga menyebutkan namanya, Paul Nggoloumbothock.
Ternyata dia orang yang ramah. Suka bicara dan banyak tertawa. Arak buatan sendiri dan daging babi panggang disuguhkannya cukup banyak.
     "Ha-ha-ha . . ..", Nggoloumbothock tertawa keras, lalu meletakkan gelas araknya yang sudah kosong. "Percayalah kepadaku, Tuan Mackal, Mokele Mbembe memang masih hidup. Dua minggu yang lalu aku melihatnya sendiri. Makhluk raksasa itu sedang berenang di rawa."
     "Hai, betulkah itu?" Roy Mackal terlompat dari duduknya.
     "Di mana letak rawa itu?" tanya Herman penuh semangat. Whimbouse Guran yang hampir berkata terpaksa menelan kembali kalimatnya.
     "Bagaimana bentuk dan keadaan Mokele-Mbembe?" Kia Reguster bertanya.
     "Tubuhnya sebesar gajah. Tingginya sama, tetapi lebih gemuk dan lebih panjang. Kulitnya mirip kulit biawak, berwarna cokelat kemerahan. Mokele-Mbembe hidup di darat dan di air, tetapi tubuhnya begitu besar dan pasti sangat berat. Mungkin dia tak terlalu pandai berenang "
     “,Kau melupakan sesuatu, Nggoloumbothock!" seru seorang laki-laki.
     “Nggoloumbothock tidak mungkin lupa, Rounthalegem!" sahut Nggoloumbothock.
     "Kau belum mengatakan betapa panjangnya leher Mokele-Mbembe, dan kepalanya yang besar serta mengerikan, mirip kepala ular phyton."
     Dalam hati, Nggoloumbothock mengakuinya, tetapi demi gengsi, dia bilang, Bukan berarti aku lupa. Aku telah hampir mengucapkannya, namun kau telah memotong kalimatku sebelum aku selesai bicara. Kau akan kuhukum!" Rounthalegem pura-pura ketakutan, tetapi hatinya tertawa geli.
     "Tuan Nggoloumbothock, dapatkah Anda mengantarkan kami ke tempat Mokele-Mbembe itu?" Roy Mackal mengucapkan itu dengan napas agak sesak, oleh desakan harapan yang terlalu besar.
     "Menyesal sekali, aku tak mungkin melakukannya. Anda harus tahu, Tuan Mackal, aku masih seorang pengantin baru. Belum seminggu aku mengawini istriku yang ke-8. Ia tak bisa berpisah dariku lebih dari 6 jam. Namun Anda tak perlu khawatir. Akan kucarikan orang untuk mengantar kalian ke tempat Mokele-Mbembe itu pernah menampakkan dirinya."
     Pagi-pagi benar seorang pria suku Pygmee menjemput mereka. Dia bernama Emmanuel Moumgoumbela, pemburu yang benar-benar jempolan. Tubuhnya kecil dan pendek, tetapi tampaknya dia dapat diandalkan.
     "Kita pergi ke dekat Sungai Likuoala. Mokele-Mbembe pernah kulihat di situ beberapa kali. Semoga dia mau muncul kembali hari ini."
     "Berbahayakah Mokele-Mbembe itu?" tanya Kia Reguster, agak cemas.
     "Jika dia marah dan mengamuk, memang cukup mengerikan. Biarpun geraknya lamban, tetapi pukulan ekor, tendangan kaki dan gigitannya dapat mendatangkan maut. Dengan mudah dia dapat mengalahkan buaya yang besar."
     Mereka segera berangkat. Semuanya 6 orang, termasuk 2 pemikul peralatan. Tempat itu memang cukup jauh sehingga mereka terpaksa menginap di sana. Moumgoumbela berjalan paling depan, diikuti 3 orang Amerika, dan 2 pemikul beban di belakang mereka.
     Mengagumkan sekali daya tahan para pria Afrika itu. Si Pygmee yang cebol dan 2 pemikul yang membawa beban berat, mampu melangkah sama cepat dan mantapnya dengan ketiga orang Amerika yang berlenggang kangkung. Daerah yang mereka lewati mulai menjadi becek. Di sekitar mereka tampak rawa-rawa penuh tetumbuhan liar bagai tak bertepi. Bau busuk yang menguap dari air rawa terasa menyengat hidung mereka. Dua jam lamanya mereka merambah padang rumput berair yang bercampur lumpur. Emmanuel Moumgoumbela membelok ke kiri. Sebentar kemudian mereka menginjak tanah yang lebih padat karena bercampur pasir. Tepat pukul 5 sore mereka sampai di tempat tujuan.
     Sesudah istirahat sejenak, pekerjaan pertama yang mereka lakukan ialah mendirikan kemah di tempat yang dianggap cocok. Moumgoumbela segera pergi entah ke mana. Dua jam sesudah itu dia kembali dengan memanggul hasil buruannya, seekor babi hutan muda yang gemuk. Daging celeng itulah yang mereka lahap dengan roti di waktu makan malam.
     Esok harinya, perburuan mencari Mokele-Mbembe dimulai. Dua pemikul beban, mereka tinggalkan menjaga kemah. Mereka menyusuri suatu daerah di dekat Sungai Likuoala. Tanpa bicara, mereka terus melangkah. Mata ke-3 orang Amerika itu jelalatan kian kemari, mencoba menemukan apa yang mereka cari. Tetapi Moumgoumbela sendiri nyaris selalu menekuri tanah, bagai sedang mencari sebutir intan yang terjatuh. Pemburu itu yakin, usahanya akan berhasil. Jerih payahnya ternyata tidak sia-sia.
     Matanya yang awas melihat sesuatu, dan si cebol itu berteriak, "Tuan-tuan, kemarilah kalian!" Yang dipanggil segera berlari-lari mendekat. Kia Reguster sampai hampir terjatuh karena terburu-burunya. Herman tiba paling dulu dengan napas tersengal, disusul oleh Roy Mackal dan Kia Reguster.
     "Lihatlah ini," ujar si pemburu. "Datang dari sana, menuju ke situ," telunjuknya menuding arah yang dimaksudkannya. "Pasti belum lama dia lewat di sini. Paling lama kemarin, atau mungkin malah baru tadi malam."
     Bekas itu terlukis amat jelas di tanah berpasir. Sepasang tapak sangat besar, yang jelas bukan tapak gajah. Menilik dalamnya lekukan jejak pasti makhluk itu bertubuh sangat besar dan berat sekali. Di tengah kedua tapak itu ada semacam jalur selebar 1,8 m. Jalan itu mirip bekas goresan ekor besar dan berat, yang pasti bukan ekor gajah.
     "Mokele-Mbembe berkaki 4," Moumgoumbela menjelaskan. "Kedua kaki depannya terlalu pendek dan kecil. Maka dia berjalan cuma menggunakan kaki belakangnya yang amat besar dan kuat. Ekornya terlampau panjang dan berat, sehingga selalu terseret di tanah, tetapi justru turut membantu menopang tubuh raksasanya itu, sehingga ia bisa berdiri lebih kokoh."
     Mereka berempat mengikuti jejak yang masuk ke sungai dan hilang di sana itu. Roy Mackal sibuk menghitung dan mengukur jejak jejakitu. Herman memotret , sedang Kia Reguster mencatat semua yang dianggap perlu.
     Sekitar tengah hari mereka kembali ke perkemahan. Usai makan siang mereka ngobrol membicarakan Mokele-Mbembe. Banyak informasi berharga didapat dari Moumgoumbela dan kedua pemikul beban itu. Sambil mendengarkan cerita, Herman sibuk membuat sejumlah sektsa. Dengan banyak revisi atas petunjuk Moumgoumbela rekonstruksi itu akhirnya menghasilkan sebuah gambar yang lumayan bagus. Di kertas Herman muncul seekor reptil raksasa, mungkin sejenis Dinosaurus yang bernama Saurotoda. Tak puas-puasnya mereka memandangi gambar itu.
     "Apakah kita akan pulang ke Dzeke hari ini?" tanya Kia Reguster.
     "Lebih baik tidak," jawab Moumgoumbela tenang. "Kita pasti akan kemalaman di jalan, dan pada malam hari jalan itu sulit sekali ditempuh." Sisa siang itu mereka habiskan dengan bermalas-malasan.
     Sekitar tengah malam terjadilah suatu keributan. Moumgoumbela tiba-tiba melompat bangun, dan lari ke luar cepat sekali. Dari situ dia berteriak memanggil teman-teman seperjalanannya, tetapi hanya kedua Negro pemikul beban itulah yang terbangun dan menyusulnya. Ketiganya biasa hidup di tengah rimba, naluri dan pancaindra mereka sudah mirip binatang hutan. Sedang ketiga orang Amerika itu masih tidur senyenyak mayat.
     Mereka yang terbangun beruntung sempat melihat Mokele-Mbembe yang berjalan setengah berlari mungkin sedang mengejar calon mangsanya. Langkah kakinya yang berat berdebum-debum bagai mengguncang bumi. Sebetulnya mengherankan juga makhluk seraksasa itu mampu berlari secepat itu. Mereka terlalu terpesona, sehingga tak terpikir sedikit pun untuk membangunkan ketiga orang Amerika itu. Ketika mereka tersadar dan pikiran semacam itu mulai mengisi benak mereka, maka Mokele-Mbembe yang dahsyat itu sudah lama menghilang ditelan kegelapan.
     Tentu saja esok paginya ketiga orang Amerika itu sangat menyesal ketika kejadian malam itu diceritakan kepada mereka.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.