Budaya Kita Budaya Menasehati

     Masyarakat adalah cerminan dari pola pikir, kebiasaan, dan nilai yang terakumulasi selama generasi. Ketika kita membicarakan budaya menasehati, fenomena ini tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari lingkungan sosial yang kaya akan tradisi, dogma, dan kondisi material tertentu. Dalam populasi dengan kesejahteraan rendah, budaya menasehati sering kali menjadi ekspresi dari keinginan untuk berkontribusi, meski sering salah arah. Namun, ini bukan sekadar soal kemiskinan. Pendidikan berbasis dogma yang tidak melatih berpikir kritis, literasi rendah yang bukan hanya soal akses tetapi juga kegemaran membaca, hingga kebiasaan crosslining yang dinormalisasi sebagai bentuk perhatian—semua ini berkontribusi membentuk kebiasaan tersebut.

     Bayangkan sebuah percakapan di ruang tamu, di warung kecil, atau bahkan di tempat ibadah. Orang-orang dengan cepat beralih dari diskusi ringan ke pemberian nasihat tanpa diminta. Kadang, nasihat itu menembus batas-batas wilayah privat: "Kapan menikah?" "Mengapa belum punya anak?" atau "Harusnya kamu lebih religius." Di sisi lain, pelanggaran di ruang publik seperti melanggar lampu merah atau menyerobot antrian hampir tidak pernah dibahas, apalagi dikritik. Mengapa? Karena nasihat di ruang privat terasa lebih dekat, lebih terjangkau, bahkan lebih "menguntungkan" secara moral.

     Namun, ada sisi lain dari kebiasaan ini yang jarang dibicarakan. Dalam banyak kasus, penerima nasihat tidak merasa terbantu. Mereka lebih sering merasa dinilai, bahkan dipermalukan. Tekanan sosial ini, meski disampaikan dengan dalih kepedulian, dapat melukai harga diri. Orang mungkin tersenyum dan mengangguk, tetapi luka itu tersimpan di dalam. Dalam populasi dengan tingkat literasi dan pendidikan yang rendah, orang sering kali tidak memiliki keterampilan untuk mengungkapkan keberatan mereka atau mempertahankan batas-batas personal dengan jelas. Ini adalah lingkaran setan yang sulit diputus, karena budaya ini telah diwariskan dari generasi ke generasi.

     Pendidikan seharusnya menjadi alat untuk membebaskan pikiran, tetapi dalam banyak kasus, ia justru memperkuat lingkaran ini. Sistem pendidikan yang berfokus pada penghafalan dan kepatuhan tidak mendorong individu untuk berpikir kritis atau mempertanyakan norma yang ada. Ditambah lagi, literasi rendah bukan hanya soal kemampuan membaca, tetapi juga tentang minat membaca dan akses terhadap bahan bacaan yang relevan dan menarik. Ketika bahan percakapan terbatas, orang cenderung kembali ke topik yang paling dekat dan mudah diakses: kehidupan orang lain.

     Mengapa kita tidak mengarahkan percakapan ini ke hal-hal yang lebih besar? Apa yang akan terjadi jika energi yang kita gunakan untuk mengurusi urusan privat dialihkan untuk membangun kesadaran kolektif? Kita memiliki modal sosial yang luar biasa—jaringan komunitas, nilai solidaritas, dan rasa kebersamaan. Bayangkan jika semua itu digunakan untuk menciptakan budaya yang menghormati hak individu sekaligus peduli pada kepentingan publik. Kampanye untuk antri dengan tertib, memperbaiki perilaku berkendara, atau menjaga kebersihan lingkungan bisa menjadi awal yang sederhana namun berdampak besar.

     Tentu saja, ini bukan jalan yang mudah. Perubahan budaya membutuhkan waktu dan usaha yang konsisten. Namun, langkah pertama adalah menciptakan kesadaran. Kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kebiasaan ini membantu kita tumbuh sebagai masyarakat? Atau justru menahan kita dalam lingkaran yang sama? Percakapan adalah senjata terhebat Sapiens, dan saat ini, kita harus menggunakannya untuk memecahkan mitos-mitos yang membelenggu kita. Dengan keberanian untuk mempertanyakan dan keterbukaan untuk mendengarkan, kita bisa memulai langkah kecil menuju perubahan yang lebih besar.

Budaya menasehati yang melampaui batas wilayah privat terbentuk dari kombinasi kesejahteraan rendah, pendidikan yang berbasis dogma, literasi yang min

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.