Manusia hidup dalam kelompok, sejak ribuan tahun lalu. Bukan karena pilihan, melainkan keharusan. Sebagai makhluk yang tidak memiliki taring tajam atau cakar mematikan, manusia hanya bisa bertahan dengan mengandalkan solidaritas kelompok. Namun, solidaritas itu membawa sesuatu yang lain: keterbukaan, atau lebih tepatnya, batas yang kabur. Privasi, jika pernah ada dalam kelompok kuno, hanya berupa kemewahan kecil yang sering dikorbankan demi kebersamaan. Dan entah bagaimana, kebiasaan melintasi batas itu tetap hidup hingga sekarang. Kita menyebutnya crosslining dan trespass, perilaku melampaui batas pribadi atau sosial, sering kali tanpa disadari, dan hampir selalu dianggap wajar.
Budaya ini berkembang bukan tanpa alasan. Dalam masyarakat dengan tingkat kesejahteraan rendah, kehidupan sering kali terasa seperti perjuangan kolektif yang abadi. Solidaritas dipaksakan oleh kebutuhan, bukan pilihan. Ketika sumber daya terbatas, semuanya berbagi—tidak hanya makanan dan tempat tinggal, tetapi juga cerita, rahasia, dan bahkan keputusan yang seharusnya bersifat pribadi. Di sini, crosslining menjadi semacam norma yang tidak tertulis. Seseorang yang mencoba menjaga batasnya sering kali dianggap sombong, atau bahkan anti-sosial.
Namun, bukan hanya kesejahteraan yang menjadi akar masalah. Pendidikan di banyak tempat masih berbasis dogma, mengajarkan anak-anak untuk menerima tanpa mempertanyakan. Tidak ada ruang untuk berpikir kritis, apalagi untuk menghormati privasi orang lain. Literasi rendah memperparah keadaan. Orang tidak membaca, tidak belajar tentang dunia di luar lingkaran kecil mereka, sehingga percakapan yang muncul sering kali hanya berkisar pada kehidupan pribadi tetangga. Apa lagi yang bisa mereka bicarakan? Mereka tidak tahu tentang planet yang jauh, teknologi canggih, atau ide-ide besar. Satu-satunya bahan percakapan yang tersedia adalah orang-orang di sekitar mereka.
Ambil contoh seorang ibu muda yang tinggal di lingkungan padat penduduk. Dia baru saja melahirkan anak pertama dan sedang belajar menjadi seorang ibu. Tapi setiap hari, tetangganya datang dengan berbagai nasihat: bagaimana memandikan bayi, makanan apa yang harus diberikan, hingga cara terbaik untuk menggendong. Ibu muda itu tersenyum, mengangguk, dan berterima kasih. Tapi di dalam hatinya, dia merasa seperti ditelanjangi. Kepercayaan dirinya hancur, sedikit demi sedikit, oleh serangan yang terus-menerus, meski niatnya mungkin baik.
Ada pula seorang siswa yang bersemangat memilih jurusan seni rupa di perguruan tinggi. Tapi sebelum sempat merasakan kegembiraan, dia dihujani kritik dari guru, kerabat, dan bahkan teman. "Seni rupa? Mau jadi apa nanti?" Kata-kata itu tidak hanya membunuh semangatnya, tetapi juga menggoreskan rasa malu yang dalam. Dia mulai meragukan pilihannya sendiri, bukan karena dia tidak yakin, tetapi karena orang-orang di sekitarnya terus melintasi batas pribadinya.
Di ruang publik, trespass mengambil bentuk yang lebih gamblang. Bayangkan sebuah antrian panjang di stasiun kereta. Semua orang berdiri sabar menunggu giliran, sampai seseorang dengan seragam keren tiba-tiba menyerobot ke depan. Tidak ada yang protes, meski jelas ini pelanggaran. Kenapa? Karena dalam budaya ini, mereka yang memiliki otoritas, atau bahkan sekadar penampilan otoritatif, dianggap "berhak" untuk melanggar aturan. Trespass di ruang publik ini bukan hanya merusak keteraturan, tetapi juga menormalisasi perilaku tidak adil.
Namun, dampaknya jauh lebih besar daripada sekadar konflik kecil. Pada tingkat individu, orang yang menjadi korban crosslining sering kali menyembunyikan luka mereka di balik senyum dan tata krama. Mereka tidak ingin menciptakan keretakan, meski di dalam, mereka merasa terkikis. Depresi dan kecemasan menjadi teman diam yang sulit diungkapkan. Pada tingkat komunitas, normalisasi perilaku ini menciptakan stagnansi sosial. Bagaimana bisa ada perubahan jika setiap upaya untuk mempertanyakan atau memperbaiki dianggap sebagai ancaman?
Jika kita meninggalkan budaya crosslining dan trespass, ada potensi besar untuk menciptakan kebahagiaan yang lebih mendalam dan merata. Kebahagiaan subjektif, seperti perasaan nyaman dan damai karena tidak ada lagi tekanan sosial yang tidak perlu, menjadi lebih mudah dirasakan. Orang tidak lagi merasa diawasi atau dihakimi dalam setiap langkah hidupnya. Sementara itu, kebahagiaan objektif—yang sering diukur dari indikator seperti penurunan tingkat depresi, meningkatnya kepercayaan diri, dan tumbuhnya solidaritas yang sehat—juga dapat dicapai. Dalam tatanan masyarakat yang menghormati batas, orang dapat hidup dengan martabat yang lebih tinggi, bebas dari ketakutan bahwa hidup mereka adalah panggung untuk kritik tanpa akhir.
Ide untuk menyesuaikan kualitas interaksi masyarakat moderen dengan meninggalkan budaya cosslining dan trespass tentu saja menghadapi resistensi.Tantangan terbesarnya adalah sikap defensif yang mendominasi. Sebutkan saja sebuah ide untuk mengubah kebiasaan ini, dan Anda akan segera diserang dengan argumen tentang "kearifan lokal" atau "nilai-nilai tradisional." Progressophobia—ketakutan terhadap kemajuan—mengakar kuat di masyarakat seperti ini, menjadikan setiap langkah maju terasa seperti ancaman, bukan peluang.
Namun, semua ini bukan alasan untuk menyerah. Kebiasaan melintasi batas ini, meski sulit diubah, bukanlah takdir. Refleksi sosial bisa menjadi langkah pertama. Kita perlu bertanya pada diri sendiri: Apakah kita benar-benar memahami dampak dari tindakan kita? Apakah kita menghormati batas orang lain, atau kita hanya memaksakan nilai-nilai kita pada mereka?
Manusia mungkin telah berevolusi untuk hidup berkelompok, tetapi kita juga memiliki kemampuan untuk belajar dan beradaptasi. Dengan literasi yang lebih baik dan pendidikan yang lebih inklusif, kita bisa menciptakan norma sosial yang lebih sehat. Privasi bukanlah ancaman bagi solidaritas, melainkan fondasi untuk membangun hubungan yang lebih kuat dan tulus. Ketika crosslining dan trespass ditinggalkan, kita tidak hanya membebaskan diri dari luka emosional, tetapi juga membuka pintu bagi masyarakat yang lebih bahagia dan maju. Inilah langkah kecil yang bisa membawa kita menuju masa depan yang lebih cerah, di mana kebebasan pribadi dihormati tanpa mengorbankan kebersamaan.
Posting Komentar
...