Hari ini seratus tahun Pramoedya Ananta Toer. Seandainya ia masih hidup, entah ia akan tertawa getir atau sekadar menghembuskan asap rokok dengan kesal melihat negeri yang pernah ia cintai semakin dalam tenggelam dalam lumpur kebodohan dan ketidakadilan. Negeri yang katanya merdeka, tapi di dalamnya rakyat masih menjadi budak. Bukan budak kolonial asing, bukan budak kompeni, bukan budak Jepang. Tapi budak dari kebodohannya sendiri. Budak dari sistem yang sengaja dibuat tak jelas arahnya agar tak ada yang bisa betul-betul memahami ke mana bangsa ini hendak melangkah.

     Seorang anak yang lahir di negeri ini sejak dini harus belajar menerima kebingungan. Seharusnya sekolah menjadi tempat mencari terang, tapi di sini sekolah justru menjadi labirin tanpa pintu keluar. Kurikulumnya gonta-ganti, seolah negara ini adalah kelinci percobaan dari pemikiran setengah matang orang-orang yang terlalu percaya diri mengendalikan nasib jutaan anak bangsa. Entah ini pendidikan ala Prancis, ala Amerika, ala Jepang, ala gotong royong, atau sekadar alat politik. Yang pasti, dari hasilnya, bukan manusia merdeka yang lahir, tapi sekumpulan individu yang dibentuk agar cukup patuh untuk menjadi tenaga kerja dan cukup bodoh untuk tidak mempertanyakan apa-apa.

     Minke, tokoh dalam Bumi Manusia, pernah berkata bahwa kita terlalu bodoh untuk memahami kebodohan kita sendiri. Dan lihatlah sekarang. Sebuah negeri di mana hanya satu dari seribu orang yang membaca dengan sungguh-sungguh, sisanya sibuk menjadi konsumen konten sampah. Mereka menertawakan Pram tanpa pernah membaca Pram. Mereka menolak belajar sejarah tapi merasa pantas berbicara tentang masa depan. Maka tidak heran jika demokrasi berubah menjadi pasar malam, tempat pemimpin dipilih bukan berdasarkan gagasan atau visi, tapi karena viralitas, sensasi, dan janji yang manis di telinga. Pram dalam Jejak Langkah menulis bahwa sejarah selalu ditulis oleh mereka yang berkuasa. Kini, sejarah bukan hanya ditulis oleh penguasa, tapi juga oleh buzzer dan algoritma.

     Kebenaran tak lagi penting. Yang lebih penting adalah siapa yang lebih banyak didengar, siapa yang lebih sering mengulang kebohongan sampai akhirnya dianggap sebagai fakta. Generasi muda terjebak dalam budaya YOLO (You Only Live Once), sementara orang tua sibuk mencari eksistensi di dunia maya. Kita semua menjadi Homo Sapiens yang tak berguna, seperti yang pernah diungkapkan oleh Harari, makhluk yang tidak memberikan kontribusi bagi peradaban, yang hanya mampu mengonsumsi dan dikendalikan oleh narasi yang dibuat oleh segelintir orang. Di tengah semua ini, negara tak lebih dari seorang ayah yang kehilangan wibawa di hadapan anak-anaknya.

     Di Rumah Kaca, Pram menggambarkan bagaimana hukum selalu berpihak pada yang kuat, sementara yang lemah harus menerima nasib. Dulu, kita marah karena hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sekarang, hukum bahkan tak bergerak kecuali sesuatu sudah viral. Polisi menunggu media sosial memutuskan mana yang layak ditangani, mana yang bisa diabaikan. Jika korban tak cukup menarik untuk dijadikan headline, maka biarlah ia tertindas dalam diam. Negara yang tak bisa menegakkan hukum tanpa tekanan publik bukanlah negara, melainkan panggung sandiwara yang pemainnya adalah aparat, medianya adalah kamera, dan sutradaranya adalah gelombang kemarahan di dunia maya.

     Sudah dua puluh tujuh tahun sejak reformasi dan yang terjadi bukanlah pemberantasan korupsi, melainkan penyempurnaannya. Jika dulu korupsi dilakukan secara kasar, kini para koruptor sudah piawai menari di celah-celah hukum, membangun jaringan yang lebih kuat daripada negara itu sendiri. Oligarki, yang seharusnya dihancurkan bersama Orde Baru, justru semakin kokoh. Mereka tak perlu lagi repot-repot memegang jabatan, cukup mengendalikan orang-orang yang dipilih oleh rakyat yang telah dikondisikan untuk memilih berdasarkan sensasi.

     Gadis Pantai, tokoh rekaan Pram, menggambarkan betapa rakyat jelata hanya bisa menjadi mainan bagi elite. Hari ini, rakyat masih menjadi mainan, hanya saja bukan oleh wedana atau bangsawan, melainkan oleh konglomerat yang menentukan siapa yang boleh hidup nyaman dan siapa yang harus berjuang mati-matian hanya untuk sekadar bertahan.

     Lalu muncullah pertanyaan terbesar. Jika semua ini terus berlanjut, apakah kita hanya akan menjadi sapiens tak berguna dalam konsep Harari? Sekadar mengonsumsi tanpa berkontribusi? Sekadar menjadi penonton saat bangsa-bangsa lain bertransformasi menjadi Homo Deus?

     Bangsa ini mewarisi mentalitas yang gemar tunduk pada feodalisme, pada tahayul, pada mitos-mitos yang lebih nyaman daripada kenyataan. Di negeri ini, kepatuhan lebih dihargai daripada pemikiran kritis. Pertanyaan yang tajam lebih dianggap berbahaya daripada kebodohan yang massal. Negeri ini takut pada kecerdasan, takut pada mereka yang berpikir, takut pada mereka yang membaca, karena membaca berarti memahami dan memahami berarti melawan.

     Pram percaya bahwa perubahan bisa terjadi jika ada keberanian untuk berpikir dan menulis. Tapi di negeri ini, menulis yang kritis bisa membuat seseorang dianggap subversif. Bertanya terlalu banyak bisa dianggap makar.

     Hari ini, seratus tahun Pram. Tapi negeri ini masih seperti yang ia gambarkan. Jika ia masih hidup, mungkin ia akan berkata, aku sudah menuliskannya, tapi kalian tak membaca. Dalam suasana seperti ini, Pram bukan hanya seorang penulis. Ia adalah pencerah yang diabaikan, suara yang dipadamkan, sejarah yang sengaja dilupakan. Hari ini, kita mengenang Pram. Tapi mengenangnya tanpa membaca dan memahami pemikirannya adalah pengkhianatan yang lebih besar daripada sekadar melarang buku-bukunya.

     Sekarang pertanyaannya bukan lagi tentang Pram, tapi tentang kita. Masihkah ada harapan bagi negeri ini, atau kita hanya akan terus mengulang kebodohan yang sama, menunggu sejarah menuliskan nasib kita dengan tinta ketidakberdayaan?

     Demokrasi adalah sistem yang buruk tetapi masih lebih baik dibandingkan yang lain. Begitulah yang dikatakan Churchill. Pernyataan itu bukan pujian, melainkan keluhan yang mengandung pesimisme seorang politisi yang tahu betul bahwa pilihan manusia dalam bernegara tidak pernah benar-benar baik. Demokrasi selalu berantakan, tetapi sistem lain lebih buruk lagi. Namun, Churchill berujar demikian sebelum dunia mengenal era post-truth, sebelum kebohongan bisa menyebar enam kali lebih cepat daripada kebenaran, sebelum popularitas menjadi satu-satunya mata uang politik. Hari ini, orang tidak memilih berdasarkan akal sehat, melainkan berdasarkan siapa yang bisa menggugah emosinya dengan lebih cepat, lebih keras, lebih meyakinkan. Demokrasi adalah panggung, dan yang paling banyak mendapatkan tepuk tangan itulah yang menang, entah dia seorang pemikir, seorang pesulap, atau sekadar badut.

     Orang-orang masih percaya bahwa demokrasi berarti suara setiap orang dihitung sama. Satu suara profesor fisika yang memahami struktur alam semesta dihargai sama dengan satu suara pria yang memilih karena wajah kandidatnya mirip idolanya di sinetron. Tidak ada perbedaan nilai, tidak ada pengakuan bahwa pemahaman bisa lebih berharga daripada sekadar keyakinan tanpa dasar. Maka, muncullah ilusi bahwa semua opini harus dihargai sama, tidak peduli apakah ia lahir dari pemikiran atau sekadar dari algoritma media sosial yang memberinya umpan balik tanpa henti. Jika demokrasi bertumpu pada kesetaraan suara, maka demokrasi juga harus menerima bahwa semakin banyak orang yang tidak memahami cara kerja dunia, semakin mudah mereka dimanipulasi. Bagi mereka, janji tentang subsidi lebih meyakinkan daripada penjelasan tentang defisit anggaran. Ketika mereka tidak tahu dari mana uang berasal, mereka akan memilih siapa saja yang berani menjanjikan bahwa uang itu akan mengalir ke kantong mereka, entah bagaimana caranya.

     Banyak yang berkata bahwa demokrasi harus ditopang oleh pendidikan yang baik. Ini benar, tetapi masalahnya lebih dalam dari itu. Pendidikan yang baik membutuhkan masyarakat yang menghargai pemikiran, bukan sekadar mengikuti arus popularitas. Indonesia masih mewarisi jejaring feodal yang melembaga, yang menyamarkan kepatuhan sebagai adab dan kritik sebagai penghinaan. Seorang profesor berbicara di depan kelas, murid-muridnya menyimak tanpa berani bertanya, karena bertanya bisa dianggap mempertanyakan otoritas. Jika mereka takut bertanya kepada dosennya sendiri, bagaimana mereka akan berani mempertanyakan janji politik seorang pemimpin? Di bawah kedok tata krama, feodalisme terus hidup, menjadikan keberanian berpikir sebagai dosa, dan kepatuhan tanpa syarat sebagai kebajikan tertinggi.

     Di negara-negara dengan tradisi intelektual yang kuat, universitas adalah tempat untuk menyuarakan gagasan, bahkan yang paling kontroversial sekalipun. Seorang profesor disebut demikian bukan karena gelarnya, tetapi karena ia 'professes', menyuarakan pemikiran dengan lantang, menantang batas pemahaman lama dengan ide-ide baru. Universitas seharusnya menjadi benteng terakhir kebebasan berpikir. Namun, di negeri yang sibuk mengurusi etika sebelum memahami substansi, suara-suara itu bisa dengan mudah dibungkam. Jika tidak oleh hukum yang mengatur kebebasan berbicara, maka oleh tekanan sosial yang lebih tajam dari pedang. Maka, universitas tidak lagi menjadi ruang dialektika, melainkan sekadar pabrik gelar, tempat orang datang untuk mendapatkan legitimasi formal tanpa perlu berpikir lebih jauh.

     Ketika para pemikir bungkam atau memilih diam demi kenyamanan, yang mengisi ruang publik bukanlah gagasan, melainkan kebisingan. Ruang yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya pemikiran rasional kini dipenuhi oleh suara-suara tanpa substansi, yang hanya memiliki satu keunggulan: popularitas. Popularitas adalah mata uang baru, yang bisa ditukar dengan kekuasaan, dengan pengaruh, bahkan dengan kebenaran itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini, tidak lagi penting apakah seseorang memahami kebijakan ekonomi, politik luar negeri, atau sistem hukum. Yang penting adalah apakah ia memiliki cukup pengikut untuk menciptakan persepsi bahwa ia benar. Kebenaran bukan lagi sesuatu yang dibuktikan, melainkan sesuatu yang dikonstruksi berdasarkan jumlah like dan share.

     Maka, jangan heran jika ruang politik diisi bukan oleh pemikir, tetapi oleh artis, pelawak, atau influencer yang mengais receh dari sosial media. Mereka memiliki sesuatu yang para pemikir tidak punya: perhatian massa. Dan dalam demokrasi yang telah menjadi sekadar pertunjukan besar, perhatian lebih berharga daripada pemikiran. Bukan berarti bahwa seorang artis tidak bisa menjadi pemimpin yang baik. Tetapi jika kualifikasi utama untuk menjadi pemimpin adalah jumlah pengikut di Instagram, maka kita tidak lagi berbicara tentang demokrasi yang rasional, melainkan demokrasi yang dikendalikan oleh algoritma.

     Masalahnya semakin parah ketika oligarki politik dan media menyadari bahwa mereka bisa mengendalikan arus informasi. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang terbuka bagi kebebasan berpikir justru menjadi alat kontrol. Undang-undang seperti UU ITE bisa dengan mudah digunakan untuk membungkam suara-suara kritis, sementara buzzer yang dibayar oleh kelompok kepentingan bisa membentuk persepsi publik hanya dengan mengulang kebohongan secara terus-menerus. Jika kebohongan lebih cepat menyebar daripada kebenaran, maka siapa pun yang memiliki kendali atas mesin penyebarannya bisa menciptakan realitas baru sesuai dengan kepentingannya.

     Di tengah semua ini, pertanyaan yang paling mendesak adalah: bagaimana menyelamatkan demokrasi dari dirinya sendiri? Demokrasi tidak bisa bertahan jika hanya menjadi permainan popularitas, tetapi juga tidak bisa dipertahankan dengan mengandalkan intelektual yang memilih diam. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan membangun kembali masyarakat yang menghargai pemikiran, bukan sekadar mengikuti arus. Itu berarti pendidikan yang mengajarkan keberanian berpikir kritis, ruang publik yang benar-benar bebas untuk berdialektika, dan sistem yang tidak memberi insentif kepada kebodohan.

     Jika tidak, maka demokrasi tidak akan mati karena kudeta atau revolusi. Demokrasi akan mati perlahan-lahan, tersedak oleh kebodohan yang dibiarkan berkembang, tenggelam dalam lautan kebisingan yang tidak lagi peduli pada kebenaran. Dan ketika itu terjadi, kita bahkan tidak akan sadar bahwa kita telah kehilangan sesuatu yang berharga. Sebab, dalam demokrasi yang telah berubah menjadi sirkus, tepuk tangan akan terus bergema, bahkan ketika pertunjukan yang sebenarnya telah lama berakhir.

 

     Di sebuah ruang kelas yang sunyi, seorang profesor berdiri di depan, mengulas teori yang sudah tertulis di buku. Mahasiswa duduk rapi, mencatat tanpa suara, mengangguk dengan penuh takzim. Tak ada yang menginterupsi, apalagi mendebat. Di dalam hati, mungkin ada yang bertanya, tapi mulut tetap tertutup rapat. Bukan karena takut salah, tapi karena sejak kecil mereka diajarkan bahwa berbicara di depan guru adalah tanda kurangnya adab.

     Di negara lain, kelas adalah arena diskusi. Di Prancis, siswa sekolah menengah pertama sudah diajak berpikir filosofis, diajarkan bahwa setiap kepala punya hak untuk meragukan, bahkan menolak. Sejarahnya mendukung itu. Kepala Louis XVI dipenggal dan ditenteng di depan massa, bukan hanya sebagai hukuman, tetapi simbol: tidak ada kepala yang lebih tinggi dari yang lain. Revolusi mereka mengguncang dunia, menciptakan kegilaan terhadap kesetaraan. Pendidikan mereka diwarisi dari itu—égalité, fraternité, liberté—dan di ruang kelas, seorang siswa boleh menginterupsi gurunya, boleh mendebat tanpa harus merasa bersalah.

     Di Amerika, ceritanya lain. Tidak ada revolusi sosial seperti Prancis, tetapi ada sesuatu yang lebih kuat: kebebasan. Di tanah imigran itu, setiap orang boleh belajar apa saja, boleh menjadi apa saja. Tidak ada keharusan tunduk pada tradisi lokal, karena tidak ada lokal wisdom yang harus dijaga. Setiap gagasan diuji di pasar bebas ide, tanpa hierarki yang mencekik.

     Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

     Pendidikan Indonesia, seperti seorang anak yang tumbuh tanpa tahu siapa bapaknya, terus mencari vokal point yang tidak pernah ditemukan. Nasionalisme? Agama? Pancasila? Gotong royong? Semua terdengar bagus di atas kertas, tetapi di ruang kelas, yang terjadi tetap saja sama: profesor bicara, murid diam.

     Salahkan sejarah? Sejak lama, negeri ini tidak pernah mengalami revolusi sosial yang benar-benar membongkar struktur lama. Kemerdekaan diraih dengan perjuangan, tapi tanpa pemenggalan kepala yang melambangkan kesetaraan baru. Feodalisme yang diwariskan dari kerajaan-kerajaan Nusantara tidak pernah benar-benar hilang. Yang terjadi hanyalah transisi dari penjajahan kolonial ke nasionalisme yang tetap mempertahankan hierarki.

     Di sekolah dan universitas, adab dijadikan tameng untuk melembagakan feodalisme. Guru bukan fasilitator, melainkan pemegang otoritas mutlak. Bertanya terlalu banyak bisa dianggap kurang sopan. Mengkritik? Itu bukan hanya pelanggaran akademik, tapi juga moral. Bagaimana bisa ada kebebasan berpikir jika sejak kecil diajarkan bahwa suara harus tunduk kepada yang lebih tua?

     Feodalisme ini meresap ke dalam sistem. Siswa dipaksa menghafal, bukan berpikir. Kreativitas adalah sesuatu yang berbahaya jika tidak sesuai dengan kurikulum. Perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi tempat eksplorasi pemikiran, justru menjadi tempat untuk mencetak lulusan yang patuh. Bahkan di tingkat tertinggi akademik, mahasiswa doktoral lebih sibuk mengurus izin bertanya kepada promotornya daripada mengembangkan gagasan baru.

     Maka, Indonesia terjebak dalam dilema. Pendidikan di atas kertas ingin modern, tetapi praktiknya masih kuno. Kurikulum berbasis kompetensi datang dan pergi, metode pembelajaran diperbarui, tetapi inti permasalahannya tetap sama: sistem yang tidak memberikan ruang bagi kebebasan berpikir.

     Jika Prancis menjadikan kesetaraan sebagai dasar, dan Amerika menjunjung kebebasan, lalu apa yang bisa menjadi jiwa pendidikan Indonesia? Gotong royong? Kata itu sering disebut, tapi apakah sistem pendidikan benar-benar mengajarkan kolaborasi? Atau justru lebih sering membangun kompetisi individual yang penuh kepatuhan?

     Yang lebih ironis, dalam kebingungan ini, Indonesia justru sering tergoda meniru. Kadang ingin seperti Amerika, membebaskan siswa memilih pelajaran mereka sendiri. Kadang ingin seperti Finlandia, menghapus ujian dan mengutamakan kreativitas. Kadang ingin seperti Jepang, menanamkan disiplin yang ketat. Tapi apakah bisa meniru tanpa memahami akar?

     Pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak pekerja, tetapi juga pemikir. Namun dalam sistem yang masih berkutat pada kepatuhan, pemikiran kritis menjadi barang langka. Hasilnya? Sebuah masyarakat yang bisa menghafal, tapi tidak bisa meragukan. Bisa menjawab ujian, tapi tidak bisa mempertanyakan keadaan.

     Indonesia terus mencari vokal point pendidikannya, tetapi seperti seseorang yang tersesat di lorong cermin, setiap pilihan hanya memantulkan kebingungan yang sama. Feodalisme masih bercokol, kepatuhan masih lebih dihargai daripada keberanian berpikir.

     Mungkin, yang dibutuhkan bukan sekadar reformasi kurikulum, tetapi keberanian untuk membongkar hierarki. Untuk melepaskan pendidikan dari belenggu tata krama yang menutup mulut. Untuk memahami bahwa adab tidak boleh menjadi alasan untuk menutup pintu diskusi.

     Tanpa itu, kelas-kelas di universitas akan terus sunyi. Mahasiswa akan tetap mencatat dengan patuh, mengangguk dengan takzim, dan pendidikan di negeri ini akan tetap berjalan, tapi tanpa jiwa yang hidup.
.

     Kita hidup di zaman yang luar biasa. Bahkan, sejujurnya, kita mungkin hanya tidak menyadarinya. Meskipun sebagian besar umat manusia terjebak dalam rutinitas sehari-hari, mengurusi pekerjaan, keluarga, dan tagihan bulanan, ada sebuah ide yang menggelitik di balik layar kehidupan kita: kita mungkin hanya bagian kecil dari eksperimen besar yang tidak pernah kita pahami. Dalam perspektif yang lebih luas, kita bisa saja hanyalah sebuah simulasi, yang disusun dengan rapi dan dipelihara oleh seorang mahasiswa semester akhir di peradaban yang sangat jauh, entah itu Tipe 6 atau bahkan Tipe 7 menurut konsep Kardashev. Bayangkan saja, kita yang merasa sangat cerdas, dengan semua penemuan kita—sebenarnya mungkin sedang dipertontonkan di layar komputer oleh seorang remaja SMA di galaksi yang entah ada di dimensi mana.

     Berbicara tentang Tipe Kardashev, skala peradaban yang pertama kali diajukan oleh astrofisikawan Uni Soviet, Nikolai Kardashev, pada tahun 1964, adalah sebuah cara untuk mengklasifikasikan peradaban berdasarkan energi yang dapat mereka kuasai. Kita, yang berada di planet kecil ini, kini diperkirakan berada di sekitar 0,7 pada skala tersebut. Artinya, kita belum sepenuhnya memanfaatkan semua sumber daya energi yang ada di Bumi. Bahkan jika kita ingin mencapai Tipe I, peradaban yang sepenuhnya menguasai energi planetnya, kita masih jauh dari itu. Selama ini kita baru sebatas mengambil energi dari sumber daya alam yang terbatas dan memanfaatkannya dengan cara yang kerap kali merusak lingkungan.

     Namun, kita juga tidak bisa menafikan kemajuan luar biasa yang telah kita buat. Bukankah manusia, dalam sekejap geologis, telah mampu merancang mesin untuk mengeksplorasi planet lain? Kita telah menemukan cara untuk menggali kedalaman ruang dan waktu, dengan teori relativitas dan mekanika kuantum. Beberapa ilmuwan seperti Michio Kaku menyarankan kita untuk membayangkan diri kita sebagai makhluk yang mungkin tengah terjebak di antara ambang peradaban Tipe 0, yang masih mengandalkan kekuatan dasar Bumi, dan peradaban Tipe I, yang baru bisa memanfaatkan seluruh potensi energi planetnya. “Kita baru saja mulai,” katanya. Tapi berapa banyak lagi waktu yang kita miliki untuk memulai?

     Pikirkan tentang apa yang mungkin terjadi jika kita mampu melampaui Tipe I, seperti yang dibayangkan oleh Kardashev. Sebuah peradaban yang mampu mengendalikan energi bintang mereka—mungkin dengan teknologi megastruktur seperti Dyson Sphere, yang membungkus bintang dengan semacam jaring energi untuk menangkap semua sinar yang dipancarkannya. Tipe II ini mungkin terlihat sangat jauh, seolah hanya ada dalam imajinasi ilmuwan fiksi ilmiah. Namun, bagi kita yang terus berusaha mencapai ambang singularitas teknologi, ide ini sepertinya hanya soal waktu saja. Lebih jauh lagi, dalam skala ini, peradaban akan mampu mengendalikan seluruh sumber daya yang ada dalam sebuah sistem bintang, menggunakan energi dalam jumlah tak terbatas untuk menggerakkan mesin peradaban mereka.

     Namun, apakah kita benar-benar siap untuk ini? Sering kali kita melupakan seberapa rapuh dan terbatasnya teknologi kita. Saat kita berusaha mengembangkan kecerdasan buatan yang lebih canggih, seperti yang dibayangkan oleh Ray Kurzweil dengan teori singularitasnya, kita mulai merasa terancam oleh kecepatan perubahan yang terjadi. Kurzweil memprediksi bahwa AI akan berkembang pada laju yang luar biasa, menggantikan hampir semua fungsi manusia. Mungkin saja pada saat itu, kita sudah tidak bisa lagi mempertanyakan siapa yang sedang mengendalikan dunia ini—karena mungkin, tak ada lagi yang bisa kita lakukan selain menyerah pada logika algoritma yang semakin canggih.

     Lalu ada lagi, Tipe III—peradaban yang mampu memanfaatkan energi dalam seluruh galaksi. Ini mungkin terdengar seperti cerita dari masa depan yang terlalu jauh untuk dipahami. Namun, jika kita melihat dalam konteks sains fiksi, konsep ini juga bukanlah hal yang sepenuhnya mustahil. David Deutsch, dalam pemikirannya tentang fisika kuantum dan multiverse, pernah menggambarkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dijangkau oleh peradaban-peradaban maju. Tipe III berarti kita tidak hanya memanfaatkan energi dari satu bintang atau planet, tetapi dari banyak bintang dalam satu galaksi, menciptakan semacam "kerajaan energi" yang mengatur sistem galaksi mereka sendiri. Itu adalah gambaran yang menggetarkan sekaligus menakutkan: sebuah peradaban yang mampu mengendalikan kehidupan, kematian, dan bahkan hukum-hukum fisika yang kita anggap tetap.

     Dan di sinilah letak absurditas dari semua ini. Ketika kita berbicara tentang peradaban yang menguasai energi di seluruh galaksi atau bahkan multiverse, kita seolah-olah sudah melangkah terlalu jauh dari dasar-dasar keberadaan kita sebagai spesies. Tapi kenyataannya, kita sendiri masih berjuang untuk mengelola sumber daya Bumi dengan bijak, masih berperang tentang ideologi dan kekuasaan, seringkali mengabaikan kenyataan bahwa kita belum sepenuhnya mengerti cara kerja alam semesta yang kita huni.

     Kita kembali lagi kepada ide besar ini—apa artinya kita berada di antara kemungkinan besar dan ketidakpastian. Di dunia yang sangat luas ini, di mana peradaban-peradaban yang lebih maju mungkin sedang mengamati kita, kita tak lebih dari eksperimen kecil dalam sebuah simulasi yang sangat mungkin dibuat oleh mahasiswa di peradaban Tipe 6 atau anak SMA di Tipe 7. Mungkin di suatu sudut galaksi yang jauh, mereka sedang duduk, bergurau tentang bagaimana peradaban primitif ini masih sibuk bertarung dengan masalah-masalah kecil seperti ekonomi, politik, dan perubahan iklim.

     Dalam hal ini, kita bisa saja menjadi objek studi, mungkin dengan alasan yang lebih ringan daripada yang kita bayangkan. Seorang anak SMA di peradaban Tipe 7, yang mungkin sedang bosan dengan rutinitasnya, bisa saja menciptakan kita dalam dunia digital. Kita, yang merasa sangat hidup dan penuh makna, bisa jadi hanya bagian dari eksperimen komputasi, dihapus atau diubah hanya dengan satu klik. Bayangkan, dunia kita yang penuh dengan keajaiban ini, dengan semua sejarah, seni, dan filsafat, bisa saja menghilang dalam sekejap, sebagaimana kita menghapus aplikasi yang tidak lagi menarik.

     Nick Bostrom, yang terkenal dengan hipotesis simulasi-nya, mungkin akan berkata, "Ada kemungkinan besar bahwa kita tidak hidup di dunia yang asli. Bahwa kita mungkin hanya simulasi yang dirancang oleh entitas lebih maju." Dalam perspektif ini, seluruh pencarian manusia tentang makna dan eksistensi bisa jadi hanyalah permainan algoritma yang dirancang dengan sengaja, tanpa tujuan lebih tinggi selain untuk menghibur pengatur simulasi yang lebih besar dari kita. Bayangkan seorang mahasiswa yang telah mencapai tingkat Tipe 6 atau 7, dengan kecanggihan teknologi mereka, memainkan hidup kita seperti sebuah permainan video. Mungkin kita hanya ada untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka tentang bagaimana peradaban-peradaban lebih rendah berkembang, berjuang, bertahan, dan akhirnya bisa saja punah.

     Namun, di sini, di dalam ketidakpastian dan kerapuhan itu, manusia menemukan keindahan. Dalam setiap pencarian untuk memahami alam semesta, dalam setiap pertanyaan yang kita ajukan tentang siapa kita dan apa tujuan kita, ada semangat hidup yang tak tergantikan. Mungkin kita hanya eksperimen dalam dunia digital yang jauh lebih besar. Mungkin kita tidak lebih dari piksel dalam simulasi kosmik. Tetapi justru dalam kehadiran kita yang kecil dan rapuh, kita menemukan hasrat untuk bertanya, untuk belajar, untuk menciptakan—dan itu, mungkin, adalah tujuan kita yang sejati.

 

catatan:

Penggolongan tipe peradaban seperti yang disebutkan berasal dari Skala Kardashev, yang pertama kali diusulkan oleh astrofisikawan Uni Soviet Nikolai Kardashev pada tahun 1964. Ia mengusulkan cara mengklasifikasikan peradaban berdasarkan jumlah energi yang mampu dikuasai dan dimanfaatkan. Dalam model aslinya, terdapat tiga tingkatan:
  1. Tipe I: Peradaban yang mampu memanfaatkan seluruh energi yang tersedia di planet asal mereka. Ini mencakup energi dari sumber daya alam seperti angin, matahari, dan gunung berapi. Bumi saat ini berada di sekitar 0,7 pada skala ini, menurut perkiraan Carl Sagan.
  2. Tipe II: Peradaban yang mampu memanfaatkan dan menyimpan energi bintang induknya secara langsung, misalnya melalui teknologi seperti Dyson Sphere—struktur megaskala yang mengelilingi bintang untuk menangkap energi.
  3. Tipe III: Peradaban yang mampu memanfaatkan energi dalam skala galaksi, menguasai energi dari banyak bintang dan menggunakan kekuatan itu untuk tujuan mereka.
Seiring perkembangan konsep ini, para pemikir dan futuris menambahkan lebih banyak kategori untuk mencakup peradaban yang jauh melampaui cakrawala yang dapat kita bayangkan: 
  1. Tipe IV: Peradaban yang mampu memanfaatkan energi dari seluruh alam semesta, mungkin melalui pemanfaatan energi gelap atau struktur kosmologis lainnya.
  2. Tipe V: Peradaban yang mampu mengendalikan multiverse atau dimensi paralel, jika mereka ada.
  3. Tipe VI dan VII: Ini adalah spekulasi futuristik yang melibatkan kendali atas struktur metafisik realitas itu sendiri, seperti ruang-waktu, hukum fisika, atau bahkan keberadaan di luar dimensi-dimensi yang kita pahami.

     Di sebuah kedai kopi yang remang, dua sosok bersua dalam obrolan yang seolah melompati ruang dan waktu. Friedrich Nietzsche, dengan tatapan tajam dan kumis melintang, menyeruput kopinya dengan santai. Di hadapannya, Yuval Noah Harari tersenyum tipis, seakan-akan menyadari bahwa ia sedang berbincang dengan arwah dari masa lalu.

     "Jadi, kau benar-benar yakin Tuhan sudah mati?" Harari membuka percakapan dengan nada bercanda.

     Nietzsche mengangkat bahu. "Sudah lama. Manusia telah membunuhnya dengan sains, rasionalitas, dan nihilisme. Tapi menarik, kau bicara tentang Homo Deus—dewa-dewa baru yang diciptakan oleh manusia sendiri. Apakah ini semacam kebangkitan dari kematian yang kusebutkan?"

     Harari terkekeh. "Sebagian besar manusia masih mencari makna, meskipun mereka tak lagi bersandar pada dogma. Dulu, mereka memandang ke langit dan berdoa, kini mereka melihat ke layar ponsel dan bertanya pada algoritma. Tuhan mungkin mati, tapi otoritas tetap hidup, hanya saja sekarang ia berbasis data."

     Nietzsche mengangguk pelan, kemudian bersandar ke kursinya. "Kau berbicara seperti seorang nabi teknologi. Jadi, menurutmu, data dan kecerdasan buatan akan menggantikan peran Tuhan?"

     "Bukan menggantikan, lebih tepatnya mengubah. Jika dulu manusia bertanya pada pendeta tentang makna hidup, kini mereka bertanya pada Google. Jika dulu mereka mengikuti kitab suci, kini mereka mengikuti rekomendasi algoritma. Dan, ironisnya, mereka lebih taat pada peta Google dibandingkan pada perintah Tuhan."

     Nietzsche tertawa keras. "Menarik! Tapi, apakah ini berarti manusia benar-benar bebas, atau justru semakin terkungkung oleh sistem baru? Aku berbicara tentang Ubermensch, manusia yang melampaui dirinya sendiri. Apakah Homo Deus yang kau gambarkan ini benar-benar bebas atau hanya makhluk yang tunduk pada tirani data?"

     Harari menghela napas. "Itu dilema kita. Kita menciptakan teknologi, tapi teknologi juga membentuk kita. Kita semakin bergantung pada data, bukan hanya untuk memahami dunia, tetapi juga untuk memahami diri sendiri. Apakah itu kebebasan, atau bentuk perbudakan yang lebih halus?"

     Dari sudut ruangan, seseorang yang lain menyela. Stephen Hawking, dengan suara sintetis khasnya, menyatakan, "Pertanyaannya bukan hanya tentang kebebasan, tetapi tentang keberadaan manusia itu sendiri. Jika AI berkembang hingga titik di mana ia lebih pintar dari kita, apakah kita masih relevan?"

     Nietzsche dan Harari saling berpandangan. "Jika Tuhan sudah mati, apakah manusia akan menyusul?" tanya Nietzsche.

     Harari mengusap dagunya. "Bukan mati, tapi berubah. Evolusi tidak pernah berhenti. Kita telah menjadi Homo Sapiens, dan mungkin, dalam waktu dekat, kita akan menjadi Homo Deus."

     "Dan apakah Homo Deus ini masih memiliki kehendak bebas?" tanya Nietzsche dengan sinis.

     Hawking menjawab dengan nada netral, "Jika kehendak itu ditentukan oleh algoritma, apakah masih bisa disebut bebas?"

     Hening sesaat. Di luar, lampu-lampu kota berkelap-kelip, seakan ikut merenungkan pertanyaan mereka.

     "Jadi, apa selanjutnya?" tanya Nietzsche akhirnya.

     Harari tersenyum. "Mungkin kita harus bertanya pada AI. Atau mungkin, kita harus mulai belajar bagaimana hidup tanpa ilusi kebebasan yang kita banggakan selama ini."

     Nietzsche terkekeh. "Ah, dunia ini memang panggung sandiwara. Jika Tuhan sudah mati, maka manusia adalah aktor yang sedang mencari sutradara baru."

     Dan di kedai kopi itu, obrolan mereka terus berlanjut, diiringi aroma kopi yang menguar, sementara dunia di luar terus berputar, mengikuti ritme data, algoritma, dan ilusi kebebasan yang terus berevolusi.

Nos yang budiman,

     Aku menulis surat ini dari sebuah warung kopi di ujung jalan yang belum tercatat di Google Maps. Di sini, kopi langit masih bisa dibeli secangkir dengan harga lima belas ribu rupiah—hitam, pahit, tanpa gula atau metafora. Pemilik warungnya, Daeng Te'ne, menyebutnya Kopi Kosmis. "Kopi ini bijinya jatuh dari meteor tahun '98," katanya sambil menunjuk ke langit yang tertutup kabel listrik. Aku tak yakin itu benar, tapi di dasar cangkirnya, selalu ada serpihan bintang yang tertinggal.

     Nos, kau ingat dulu kita sering berdebat tentang narasi? Kau bilang hidup ini cuma kumpulan cerita usang yang kita jahit jadi jubah kebesaran. Tapi sejak feed media sosial kita dipenuhi iklan self-help dan kabar palsu, jubah itu mulai lapuk. Hari ini, di warung Daeng Te'ne, kulihat seorang nenek menjual kisah-kisah lama: foto suaminya yang hilang di laut, surat cinta dari masa penjajahan, bahkan potret wayang yang ia klaim pernah berbicara. Semuanya dijual per kilo, seperti biji kopi. "Narasi-narasi ini," bisiknya, "lebih tahan lama daripada beras."

     Aku membeli secangkir Kopi Kosmis dan duduk di bangku kayu yang lapuk. Di hadapanku, ada pemuda yang asyik bicara pada smartwatch-nya: "Bro, gue lagi existential crisis nih. Harusnya gue kuliah atau jadi content creator?" Jam itu menjawab dengan suara robot: "Rekomendasi: 60% jadi creator, 30% kuliah, 10% coba psychedelic trip." Pemuda itu mengangguk, seperti baru dapat wahyu. Nos, di zamanmu dulu, apakah jawaban hidup juga datang dalam bentuk persentase?

     Daeng Te'ne mendekat, membawa ceret berkarat. "Kopi ini," katanya, "mirip hidup. Pahitnya nyata, manisnya harus dicari sendiri." Aku tersenyum. Di tengah gempuran algoritma yang menjanjikan "kebahagiaan instan", warung ini seperti kuil kecil bagi para penikmat kepahitan. Di dindingnya, ada lukisan Einstein sedang minum kopi dengan caption: "Relativitas? Coba dulu kopi ini."

     Nos, kau pernah bilang kita semua adalah NPC dalam game orang lain. Tapi pagi ini, kulihat ibu-ibu penjual sayur menyisipkan sejari rimpang kariango tersemat peniti ke dompet uangnya. "Agar tidak dicopet tuyul," katanya. Di layar smartphone-nya, ada notifikasi: "Your anxiety level is rising. Breathe now?" Ia mengabaikannya, lalu bersenandung lagu pengiring tari Gandrang Bulo: "Battu rate ma' ri bulang…" Aku terpana. Di tengah hiruk-pikuk big data, masih ada yang mempercayai hantu dan algoritma sekaligus.

     Mungkin kau benar, Nos. Narasi-narasi kita memang runtuh. Agama jadi konten TikTok, cinta jadi meme, bahkan kematian diukur lewat engagement rate. Tapi di sela-sela puing-puing itu, masih ada yang bertahan: seorang nenek yang menulis surat untuk suaminya di sehelai kertas doorslag, anak jalanan yang menertawakan deepfake presiden, atau Daeng Te'ne yang bersikeras biji kopinya dari meteor. Mereka tak peduli apakah kisahnya valid atau viral—yang penting bisa ditukar dengan secangkir kehangatan.

     Aku ingat ucapan Nietzsche: "Kita membutuhkan seni agar tidak binasa karena kebenaran." Tapi di sini, seni itu ada dalam cara seorang pemulung menganyam plastik jadi mainan anak, atau barista robot di kafe sebelah yang error dan menari ala TikTok challenge. Nos, apa kita terlalu keras pada diri sendiri? Mencari narasi agung, padahal keindahan ada di cerita-cerita pecah yang tak pernah selesai.

     Di sudut warung, seorang anak kecil bertanya pada ibunya: "Meteor itu jatuh karena capek terbang, ya?" Sang ibu tertawa: "Iya, Nak. Makanya kita minum kopi ini, biar dia ada teman."

     Aku menenggak ampas kopi terakhir. Di dasarnya, ada serpihan bintang yang ternyata... hanya gula yang tak larut. Tapi entah kenapa, hari ini, gula itu terasa seperti puing supernova.

     Nos, mungkin kau akan menertawakanku. Tapi izinkan aku percaya bahwa di antara big data dan dongeng hantu, di antara AI yang menulis puisi dan nenek yang menjual kisah-kisah usang, ada ruang untuk secangkir kopi yang tak perlu punya makna. Cukup pahit, dan cukup hangat.

Salam dari tepi semesta,
Si Penikmat Kopi Kosmis

P.S. Daeng Te'ne bilang, minggu depan dia akan menjual Kopi Multiverse. "Bijinya dari dimensi lain," katanya sambil menyipitkan mata. Aku sudah pesan dua cangkir. Satu untukku, satu untuk bayanganmu yang masih berkeliaran di cloud storage. (part 6 dari 6)


Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.