Dmitri Karamazov, anak sulung dari Fyodor Pavlovich, adalah tokoh yang paling bergelora di antara saudara-saudaranya. Kehidupannya adalah deru tubuh yang berteriak, semacam rapsodi daging dan gairah yang mengungkapkan sisi manusia yang paling purba dan paling jujur sekaligus paling berbahaya. Tidak seperti Ivan yang memberontak dengan pikiran, atau Alyosha yang beriman dengan hati, Dmitri memberontak dengan tubuhnya sendiri. Ia adalah ledakan hasrat yang tak terkontrol, cinta yang bercampur kebencian, kerinduan yang menjelma kekerasan. Tubuhnya, dalam arti Dostoevskian, adalah arena pertarungan antara surga dan neraka.
Dmitri bukanlah seorang filsuf, bukan juga seorang moralis. Ia tidak berpikir panjang soal Tuhan atau ateisme. Ia lebih mirip dengan makhluk Dionysian yang dilemparkan ke dunia tanpa diberi petunjuk arah. Tubuhnya menuntut kenikmatan, dan ia menyambutnya dengan sepenuh jiwa, dengan mabuk, dengan pesta pora, dengan kegilaan cinta. Namun justru karena itulah Dmitri adalah manusia Dostoevsky yang paling telanjang—karena tidak menyembunyikan apapun. Ia menginginkan Grushenka dengan kekuatan yang sama seperti ia ingin membunuh ayahnya, dan di sanalah kejujuran brutalnya meledak. Dmitri tidak berpura-pura menjadi baik. Ia justru menunjukkan betapa sulitnya menjadi manusia, betapa susahnya menyeimbangkan cinta dan kehendak, betapa membingungkannya kebebasan jika tak didampingi keutuhan jiwa.
Dalam tragedi Dmitri, tubuh bukan sekadar biologi. Tubuh adalah nasib. Dmitri tak dapat mengabaikan apa yang dirasakannya. Ia merasa, dan perasaan itu menjadi kenyataan. Ia terluka, dan luka itu harus dilampiaskan. Ia mencintai, dan cinta itu harus dimiliki. Ketika Dmitri merasa Grushenka akan meninggalkannya untuk ayahnya sendiri, tubuhnya meronta. Ia seperti hewan yang diburu, terpojok oleh emosi yang tak sanggup ia taklukkan. Dan di tengah kegilaan itu, ketika akal gagal menjadi penuntun, tubuh mengambil alih. Ia memukul, berteriak, menangis, lari, dan kembali. Dalam Dmitri, Dostoevsky memperlihatkan tragedi manusia yang tidak bisa hidup hanya dengan akal atau iman—karena tubuh punya logikanya sendiri, logika yang kadang lebih keras dari semua ajaran moral.
Yang membuat Dmitri menarik bukan hanya kegilaannya, melainkan juga kesadaran akan kegilaannya. Ia tahu bahwa hidupnya berantakan, bahwa cintanya membinasakan, bahwa tubuhnya menyeretnya ke dalam jurang. Tapi ia tidak lari dari kenyataan itu. Ia menatapnya, menenggaknya seperti vodka. Dmitri tidak menyangkal dosa, ia memeluknya, lalu mencoba memahami mengapa ia jatuh. Dalam pengadilan, Dmitri adalah satu-satunya yang tidak mengelak. Ia bersedia menanggung beban bahkan untuk kejahatan yang tidak ia lakukan. Dan di sana, Dostoevsky menghidupkan paradoks: justru manusia yang tampak paling bejat ini, yang paling brutal, yang paling hedonistik, adalah juga manusia yang paling siap diselamatkan. Karena ia tidak menyembunyikan diri di balik topeng. Ia tidak mengelabui Tuhan.
Dmitri adalah antitesis dari kemunafikan. Ia bersikeras hidup sepenuhnya, dalam sakit dan cinta, dalam kebuasan dan penyesalan. Ia menyadari dirinya sebagai bagian dari dunia yang jatuh, dan karena itu ia tidak berpura-pura menjadi malaikat. Kehidupan Dmitri adalah ratapan manusia yang tidak tahu bagaimana menjadi manusia, kecuali dengan mengikuti detak jantungnya. Dan dalam mengikuti detak itulah, ia sering terjerumus. Tapi Dostoevsky tidak menghukumnya. Justru lewat Dmitri, ia menunjukkan bahwa jalan menuju pencerahan bisa muncul dari kegelapan yang paling pekat.
Ada sesuatu yang kristiani, secara paradoksal, dalam penderitaan Dmitri. Bukan dalam pengertian doktrinal, melainkan dalam pengalaman eksistensial: penderitaan sebagai pintu ke dalam diri. Dmitri menderita karena ia hidup. Ia tidak menyangkal dunia, ia tidak menarik diri ke dalam biara. Ia masuk ke dalam dunia dengan seluruh luka dan ketelanjangannya. Ia jatuh karena terlalu mencintai, karena terlalu percaya, karena terlalu hidup. Dan di titik nadir itulah, Dostoevsky tampaknya meletakkan benih penebusan. Dmitri bukanlah tokoh yang sempurna. Tapi ia adalah tokoh yang jujur—dan dalam kejujuran itulah, ia menjadi manusia.
Jika Ivan membawa pembaca pada pengadilan terhadap Tuhan, Dmitri membawa pembaca ke pengadilan terhadap diri sendiri. Ia tidak menolak Tuhan seperti Ivan, tidak juga menyerahkan diri sepenuhnya seperti Alyosha. Dmitri adalah tarik-menarik antara kehendak bebas dan kehancuran diri, antara cinta dan kepemilikan, antara tubuh dan jiwa. Ia menunjukkan bahwa manusia bukan hanya makhluk berpikir, bukan hanya makhluk percaya, tapi juga makhluk yang merasakan dengan tubuhnya. Dan tubuh itu bisa menjadi tempat iblis atau tempat rahmat, tergantung seberapa jauh manusia mau mengenal dirinya.
Dalam tokoh Dmitri, Dostoevsky memperlihatkan bahwa tragedi bukan hanya milik orang-orang besar, tapi milik siapa saja yang mencoba hidup dengan sungguh-sungguh. Kehidupan Dmitri bukan alegori filosofis, tapi pengalaman yang sangat manusiawi. Ia ingin cinta, tapi ia juga ingin kekuasaan atas cinta itu. Ia ingin kebebasan, tapi ia juga ingin jaminan. Ia ingin memaafkan, tapi ia juga ingin membalas. Dan di tengah semua keinginan itu, ia terombang-ambing, terseret, terbakar. Tapi ia tidak menyerah.
Dmitri menyadari, seperti semua tokoh besar Dostoevsky, bahwa hidup ini bukan tentang menang atau kalah, tapi tentang keberanian untuk tinggal di tengah pertarungan. Ia memilih untuk tidak kabur. Ia memilih untuk menanggung. Dan karena itu, Dmitri bukan hanya tubuh yang meronta, tapi juga jiwa yang mencari. Ia adalah simbol manusia modern yang terperangkap antara kehendak dan keterbatasan, antara kebebasan dan kehancuran. Ia bukan pahlawan, tapi ia juga bukan pecundang. Ia adalah manusia—dengan seluruh kepenuhan dan keretakannya.
Dengan Dmitri, Dostoevsky mengajukan pertanyaan yang tak mudah dijawab: apakah manusia bisa diselamatkan ketika tubuhnya sendiri adalah sumber kehancuran? Apakah gairah hidup bisa menjadi jalan menuju pengertian? Apakah cinta yang menggebu bisa berubah menjadi cinta yang menyelamatkan? Dan dalam perjalanan penuh luka Dmitri, kita mungkin tidak menemukan jawaban yang jelas. Tapi kita menemukan pantulan diri kita sendiri—dalam pencarian yang terus berlangsung, dalam perjuangan yang tak pernah selesai. (part-6 of 13)
Jiwa-Jiwa Resah Dostoevsky
➮ part 2: Iblis Rasionalitas
➮ part 3: Lubang Nihilisme
➮ part 4: Pengadilan Atas Tuhan
➮ part 5: Pilihan Untuk Cinta
➮ part 6: Tubuh dan Kehendak yang Meronta
➮ part 7: Dewa Bunuh Diri
➮ part 8: Hikmat Kebijaksanaan Terendah
➮ part 9: Revolusi Tanpa Jiwa
➮ part 10: Jiwa yang Tak Terobati
➮ part 11: Saudara dalam Kegelapan
➮ part 12: Dunia Tanpa Tuhan
➮ part 13: Apa yang Masih Bisa Kita Percayai.?
Posting Komentar
...