Di antara benturan besar antara filsafat dan psikoanalisis pada abad ke-20, jarang ada tokoh yang membuat Freud begitu tersiksa dan terpesona seperti Fyodor Dostoevsky. Dalam esainya yang terkenal tentang Dostoevsky dan kejahatan parricide, Freud menumpahkan semacam penghinaan yang terasa lebih personal ketimbang intelektual. Ia menyebut Dostoevsky sebagai tokoh bermasalah secara moral, seorang penjudi kompulsif, dan hipokrit religius. Namun ironisnya, di balik cercaan itu tersembunyi sebuah pengakuan yang tak bisa dihapus: bahwa Dostoevsky, dalam novelnya, telah mencapai kedalaman psikologis yang bahkan Freud sendiri belum mampu gagas secara sistematis. Hubungan keduanya bagai cinta yang tak terbalas, atau lebih tepatnya, kompetisi laten antara dua penyelam kegelapan batin manusia—yang satu bersenjata pena, yang lain bersenjata teori.
Dostoevsky menulis sebelum Freud lahir, namun pembacaan atas tokoh-tokohnya serasa mendahului wacana yang kemudian akan diakui sebagai psikoanalisis. Raskolnikov dalam Crime and Punishment tidak hanya melakukan pembunuhan sebagai tindakan ideologis, tetapi juga membawa beban rasa bersalah bawah sadar yang meletup lewat mimpi, delusi, dan pengakuan yang seolah melampaui nalar. Stavrogin dalam Demons bukan sekadar nihilist politis, tapi individu yang dihantui oleh trauma dan kebisuan akan dosa tak terucapkan, seperti incest dan kekosongan spiritual yang tak tertanggungkan. Ivan Karamazov pun menyimpan kompleks Oedipus dalam bentuk yang lebih subtil—cinta-benci terhadap ayahnya, dan pemberontakan terhadap figur Tuhan sebagai patriarkal absolut. Semua ini adalah ranah Freud, namun Dostoevsky telah mengerjakannya dengan intuisi sastra yang tak bisa direduksi menjadi skema.
Penting untuk diingat bahwa Freud tidak membenci Dostoevsky karena tidak mengerti jiwa manusia, tapi justru karena terlalu memahaminya. Dalam kerangka Freud, penderitaan adalah sumber dari konflik psikis yang melahirkan neurosis. Dalam kerangka Dostoevsky, penderitaan justru adalah gerbang menuju transformasi spiritual. Freud ingin menyembuhkan luka jiwa melalui terapi, meringkus gejala dalam terminologi. Sementara Dostoevsky membiarkan luka itu terbuka, membusuk, menjadi aroma yang menyengat agar pembacanya pun tak bisa berpaling. Dalam hal ini, Dostoevsky bukan terapis, tapi nabi penderitaan. Ia tidak menyelamatkan, melainkan menyeret pembaca untuk berlama-lama dalam lorong-lorong rasa bersalah, hasrat, dan penyangkalan yang tak punya solusi. Dalam dunia Dostoevsky, penyembuhan bukanlah penghilangan gejala, tapi justru penyerahan diri total kepada kedalaman eksistensial itu sendiri.
Banyak pembacaan kontemporer menunjukkan bahwa novel-novel Dostoevsky berisi peta kejiwaan yang luar biasa kompleks. Tokoh-tokohnya nyaris tidak pernah satu dimensi. Bahkan tokoh yang tampak polos seperti Alyosha menyimpan lapisan keputusan sadar untuk beriman, yang tidak bisa dilabeli sebagai ketidaktahuan naif. Dalam dunia Freud, mungkin Alyosha akan disebut sebagai individu dengan mekanisme pertahanan yang kuat, atau individu yang sukses melakukan sublimasi atas dorongan bawah sadar. Tapi bagi Dostoevsky, Alyosha adalah manifestasi dari kasih yang sadar—sebuah anomali dalam dunia yang dipenuhi luka dan kegilaan. Jadi meski Freud mengklaim otoritas atas wilayah jiwa, Dostoevsky justru mengungkapkan kompleksitas jiwa itu sendiri dalam bentuk hidup yang bernapas.
Tidak sedikit pula yang menyebut bahwa Freud terinspirasi secara tak langsung oleh struktur naratif Dostoevsky. Tokoh-tokohnya adalah manifestasi dari konflik batin kolektif. Dialog panjang dalam The Brothers Karamazov kerap dipahami sebagai proyeksi dari id, ego, dan superego yang saling bentrok dalam tubuh satu keluarga. Ivan sebagai rasionalitas dan pemberontakan, Dmitri sebagai hasrat dan tubuh, Alyosha sebagai cinta dan spiritualitas. Keluarga Karamazov adalah arena pertempuran batin, bukan hanya struktur keluarga biologis. Di sinilah Freud mungkin merasa didahului—bahwa struktur kejiwaan yang ia temukan secara klinis, telah lama hidup dalam fiksi Dostoevsky dengan kedalaman yang tak terbatas.
Namun jika Freud hendak merumuskan kepribadian manusia sebagai sistem yang bisa diurai, Dostoevsky justru menunjukkan bahwa sistem itu sendiri bisa retak dari dalam. Lihatlah Kirillov, yang bunuh diri bukan karena depresi, tetapi karena keyakinan metafisik bahwa Tuhan telah mati dan manusia harus mengambil tempat-Nya. Ini bukan gejala patologis semata, tapi eksperimen ontologis. Dostoevsky memperlihatkan bahwa manusia bisa menyentuh batas eksistensinya bukan melalui pernyataan ilmiah, tetapi melalui tindakan ekstrem yang secara logis tak bisa dibenarkan tapi secara batin justru terasa tak terhindarkan. Freud bisa saja menyebut ini sebagai kompensasi atau manifestasi dari trauma masa kecil. Namun Dostoevsky tidak puas dengan penjelasan; ia butuh penderitaan itu hadir dalam wujudnya yang paling telanjang.
Ironi terbesar dalam hubungan Dostoevsky dan Freud adalah bahwa keduanya percaya pada kedalaman jiwa, namun dengan arah yang berlawanan. Freud ingin mengungkapnya demi membebaskan. Dostoevsky ingin menggalinya demi menampakkan misteri. Freud memulai dari asumsi bahwa kebenaran bisa disusun secara sistemik, sementara Dostoevsky justru menunjukkan bahwa kebenaran tidak selalu bisa dikatakan tanpa mengkhianati kedalaman rasa bersalah dan cinta yang menyertainya. Dalam dunia Freud, kita menyembuhkan dengan kata-kata. Dalam dunia Dostoevsky, kata-kata sering justru membuka luka yang lebih dalam.
Freud mungkin melihat Dostoevsky sebagai musuh karena sang novelis menunjukkan sesuatu yang menakutkan bagi ilmu pengetahuan: bahwa tidak semua penderitaan ingin disembuhkan. Bahwa dalam penderitaan tertentu, manusia menemukan makna yang bahkan cinta pun tidak bisa gantikan. Bahwa kehancuran bisa menjadi satu-satunya jalan menuju kelahiran kembali. Ini bukan neurotik, tapi paradoks spiritual. Inilah mengapa Freud terus bergulat dengan Dostoevsky—karena Dostoevsky menawarkan jiwa yang tak terobati, bukan karena tak bisa, tapi karena memang tak seharusnya.
Dan jika hari ini kita membaca kembali Crime and Punishment atau The Brothers Karamazov, kita menyaksikan bukan sekadar kisah, tetapi laboratorium penderitaan manusia yang tak selesai. Kita menyaksikan Freud yang hadir sebagai pembaca diam, menyimak satu per satu jeritan dari bawah sadar yang Dostoevsky telah tuliskan, bukan dengan istilah teknis, tapi dengan darah dan air mata. Dalam benturan keduanya, kita menemukan bahwa manusia bukanlah teka-teki untuk dipecahkan, tapi rahasia untuk dihormati. Sebuah rahasia yang berdenyut, retak, dan tetap hidup di balik setiap halaman Dostoevsky yang tak pernah benar-benar bisa ditutup. (part-10 of 13)
Jiwa-Jiwa Resah Dostoevsky
➮ part 2: Iblis Rasionalitas
➮ part 3: Lubang Nihilisme
➮ part 4: Pengadilan Atas Tuhan
➮ part 5: Pilihan Untuk Cinta
➮ part 6: Tubuh dan Kehendak yang Meronta
➮ part 7: Dewa Bunuh Diri
➮ part 8: Hikmat Kebijaksanaan Terendah
➮ part 9: Revolusi Tanpa Jiwa
➮ part 10: Jiwa yang Tak Terobati
➮ part 11: Saudara dalam Kegelapan
➮ part 12: Dunia Tanpa Tuhan
➮ part 13: Apa yang Masih Bisa Kita Percayai.?
Posting Komentar
...