Di antara tokoh-tokoh paling gelap dan ekstrem dalam semesta Dostoevsky, Kirillov berdiri sebagai lonceng kematian bagi Tuhan dan kehidupan sekaligus. Ia bukan sekadar karakter dalam Demons, tetapi menjadi wahana bagi Dostoevsky untuk menguji batas paling akhir dari pemikiran modern yang kehilangan jangkar spiritualnya. Dalam sosok Kirillov, kita menemukan manusia yang tidak lagi melihat Tuhan sebagai pusat nilai, tetapi juga tidak mampu sepenuhnya berdamai dengan kehampaan yang ditinggalkan oleh kematian Tuhan itu sendiri. Maka ia menjelma menjadi jembatan mengerikan antara absurditas eksistensial dan logika bunuh diri sebagai bentuk pernyataan tertinggi tentang kebebasan manusia. Esai ini menyelami Kirillov sebagai eksperimen metafisik yang mengerikan, dan sebagai penanda bahwa nihilisme bukan hanya krisis makna, melainkan juga krisis keberadaan.
Kirillov menyatakan bahwa jika Tuhan tidak ada, maka manusia harus menjadi Tuhan. Kalimat ini terlihat seperti paradoks, tetapi di sanalah letak kengerian dan logika jernihnya. Bagi Kirillov, keberadaan Tuhan berarti manusia tidak bebas. Tuhan menjadi hukum, moral, struktur yang memenjarakan. Maka kematian Tuhan, sebagaimana diumumkan Nietzsche, adalah syarat mutlak agar manusia bisa menjadi bebas secara absolut. Namun Dostoevsky tidak mengamini gagasan ini tanpa ujian. Ia melemparkannya ke medan drama, ke tubuh dan jiwa Kirillov, dan membiarkan kita menyaksikan dampak dari logika itu. Kirillov percaya bahwa satu-satunya cara membuktikan bahwa manusia benar-benar bebas adalah dengan mengambil tindakan paling ekstrem: bunuh diri secara sadar, tanpa motif selain kehendak bebas itu sendiri. Bunuh diri bukan karena putus asa, bukan karena penderitaan, melainkan karena ingin membuktikan bahwa ia adalah Tuhan bagi dirinya sendiri.
Di sinilah letak keunikan dan kedalaman Kirillov. Ia bukan sosok murung yang terseret depresi, melainkan sosok yang sangat rasional, sangat terang pikirannya, dan justru karena itu ia menapaki jalan menuju kehancuran. Ia bukan manusia yang ingin mati, tetapi manusia yang merasa harus mati demi membuktikan tesisnya. Ia percaya bahwa bunuh dirinya akan menjadi revolusi spiritual, semacam obor yang menerangi jalan bagi umat manusia ke zaman baru di mana manusia tidak lagi tunduk pada ketakutan, tidak lagi mengandalkan agama, tidak lagi menyembah sesuatu di luar dirinya. Ini adalah bentuk fanatisme yang tidak mengenakan topeng agama atau ideologi politik, melainkan fanatisme eksistensial yang menjadikan tubuh dan nyawa sendiri sebagai altar pengorbanan.
Dalam hal ini, Kirillov adalah eksperimen yang gagal sekaligus berhasil. Gagal karena ia tidak pernah bisa benar-benar menghapus jejak Tuhan dalam dirinya. Ia gemetar di ambang kematian, ia masih menyebut Tuhan dengan kemarahan, ia masih mencari saksi bagi bunuh dirinya—yang semua itu menunjukkan bahwa kehendak bebasnya tidak pernah benar-benar murni. Namun ia juga berhasil dalam arti bahwa ia menjadi inkarnasi dari konsekuensi logis jika manusia benar-benar mengambil alih peran Tuhan. Dalam Kirillov, Dostoevsky memaparkan apa yang terjadi jika manusia modern benar-benar percaya bahwa ia adalah satu-satunya sumber makna. Ketika tidak ada lagi yang absolut, tidak ada lagi nilai yang mengikat, maka semua tindakan menjadi mungkin, termasuk tindakan memusnahkan diri sendiri demi menegakkan metafisika baru.
Kirillov adalah penjelmaan radikal dari rasionalitas tanpa fondasi spiritual. Ia membawa rasio hingga ke titik ekstrem, hingga ia menemukan bahwa rasionalitas yang tidak diikat oleh kasih atau iman hanya akan membawa pada kehancuran. Rasionalitas dalam dirinya bukan lagi alat untuk memahami dunia, tetapi menjadi mesin dingin yang menghitung harga kebebasan dengan angka kematian. Kirillov tidak gila dalam pengertian medis, tetapi ia adalah orang yang tercerahkan secara menyakitkan. Ia melihat dunia tanpa Tuhan sebagai sebuah padang kosong, dan ia ingin menjadi pionir yang menjejakkan kaki pertama di padang itu dengan darahnya sendiri. Bunuh diri bagi Kirillov bukan akhir, tetapi permulaan. Ia ingin menjadi nabi bagi agama baru yang tidak memiliki Tuhan.
Namun Dostoevsky, lewat dialog-dialog Kirillov yang panjang dan mengerikan, menunjukkan betapa usaha itu tidak pernah bisa total. Di lubuk hati Kirillov masih ada kehendak untuk percaya, masih ada sisa harapan yang ia bungkam dengan logika. Ia adalah manusia yang terbelah: satu kaki di dunia iman yang telah mati, satu kaki di dunia kebebasan mutlak yang belum lahir. Dalam tubuhnya bertempur dua dunia, dan kematiannya bukan kemenangan salah satu, melainkan kehancuran keduanya. Ia tidak bisa kembali menjadi orang beriman, tetapi ia juga tidak bisa menjadi Tuhan. Maka ia lenyap di tengah-tengah, seperti meteor yang membakar dirinya sendiri di atmosfer filsafat modern.
Kirillov bukan hanya penting sebagai karakter, tetapi sebagai representasi sejarah gagasan. Ia hadir di tengah-tengah abad ke-19 ketika Eropa mulai serius mempertanyakan keberadaan Tuhan dan fondasi moralitas. Ia adalah anak dari pencerahan yang terkejut melihat bayangan gelap yang ditinggalkan oleh cahaya akal. Ia adalah cermin bagi para filsuf modern yang ingin membangun etika tanpa agama, makna tanpa metafisika. Dan Dostoevsky, dengan ketajaman psikologis dan spiritualnya, menunjukkan bahwa jalan itu penuh jebakan. Kirillov adalah anti-Kristus dalam arti yang paling radikal: bukan karena ia jahat, tetapi karena ia ingin menggantikan Kristus dengan manusia. Ia ingin menebus umat manusia dengan darahnya sendiri, bukan karena cinta, tetapi karena logika.
Dostoevsky sendiri tidak pernah menjawab Kirillov secara langsung. Ia membiarkan tokoh itu bicara panjang, ia tidak membantah dengan narasi pengkhotbah. Tetapi melalui keseluruhan novel Demons, kita menangkap sikapnya: bahwa manusia tanpa Tuhan bukan hanya kehilangan arah, tetapi kehilangan dirinya sendiri. Kirillov menjadi tokoh tragis karena ia terlalu jujur terhadap logikanya sendiri. Ia tidak seperti tokoh lain yang berdusta pada diri mereka sendiri, atau mencari penghiburan dalam ilusi. Kirillov menatap kehampaan itu lurus-lurus, dan karena itu ia hancur.
Dalam dunia sekarang yang semakin menjauh dari agama, Kirillov menjadi semakin relevan. Ia adalah gambaran ekstrem dari kemungkinan yang terbuka di hadapan manusia modern. Ia bertanya: jika kita benar-benar bebas, jika tidak ada Tuhan, jika tidak ada nilai yang absolut, lalu mengapa kita tidak membuktikan kebebasan itu dengan tindakan paling final? Ini bukan ajakan, tetapi peringatan. Dostoevsky meletakkan Kirillov di hadapan kita seperti seseorang meletakkan cermin retak, dan memaksa kita menatap bayangan diri kita yang mungkin, jika kita kehilangan semua orientasi spiritual. Kirillov tidak ditulis untuk ditiru, tetapi untuk ditakuti. Ia adalah eksperimentalis eksistensial, dan hasil eksperimentasinya adalah kematian.
Dostoevsky mengerti bahwa manusia membutuhkan sesuatu yang melampaui dirinya. Bahwa kebebasan tanpa kasih, tanpa iman, tanpa pengorbanan yang merangkul, hanya akan menjadi kebebasan untuk menghancurkan. Kirillov berjalan di atas garis silet antara pencerahan dan kegilaan, dan akhirnya jatuh karena dunia yang ia bayangkan tidak memiliki ruang bagi cinta, hanya ruang bagi kehendak dan logika. Dalam akhir yang sunyi, ketika Kirillov menembakkan peluru ke kepalanya sendiri, kita tidak melihat kemenangan kebebasan, tetapi tangisan bisu dari manusia yang telah kehilangan segalanya. Ia telah menjadi Tuhan—tetapi Tuhan yang sepi, tanpa umat, tanpa surga, tanpa makna.
Melalui Kirillov, Dostoevsky menegaskan bahwa bukan hanya keberadaan Tuhan yang menjadi soal, tetapi juga keberadaan manusia dalam dunia yang kehilangan Tuhan. Dan dalam pertanyaan itu, ia meninggalkan kita di tepi jurang, memaksa kita memilih: akan kita isi kekosongan itu dengan cinta, atau dengan kematian? (part-7 of 13)
Jiwa-Jiwa Resah Dostoevsky
➮ part 2: Iblis Rasionalitas
➮ part 3: Lubang Nihilisme
➮ part 4: Pengadilan Atas Tuhan
➮ part 5: Pilihan Untuk Cinta
➮ part 6: Tubuh dan Kehendak yang Meronta
➮ part 7: Dewa Bunuh Diri
➮ part 8: Hikmat Kebijaksanaan Terendah
➮ part 9: Revolusi Tanpa Jiwa
➮ part 10: Jiwa yang Tak Terobati
➮ part 11: Saudara dalam Kegelapan
➮ part 12: Dunia Tanpa Tuhan
➮ part 13: Apa yang Masih Bisa Kita Percayai.?
Posting Komentar
...