Shatov dan Verkhovensky berdiri berseberangan dalam Demons, sebuah novel Dostoevsky yang pada mulanya kerap disalahpahami sebagai kisah kegilaan dan kebrutalan semata. Namun sesungguhnya, keduanya adalah proyeksi dari dua kutub besar yang saling mengunci dalam sejarah ide: iman dan nihilisme, spiritualitas dan kekosongan politik. Shatov, meskipun kaku dan sering terperosok dalam dogma nasionalisme religius, membawa dalam dirinya keresahan tentang hilangnya akar spiritual dalam dunia yang semakin terobsesi pada perubahan sosial tanpa jiwa. Sementara itu, Pyotr Verkhovensky, dengan segala kelicikan dan keberingasannya, menjelma sebagai arketipe revolusioner modern yang telah memutuskan bahwa dunia harus dihancurkan demi mimpi yang bahkan tidak sepenuhnya dipahami. Mimpi kosong yang diberi isi oleh dendam dan kekuasaan.
Ketegangan antara keduanya adalah jantung dari nubuat Dostoevsky tentang revolusi yang akan meletus di Rusia puluhan tahun setelah karyanya terbit. Shatov pernah menjadi bagian dari lingkaran revolusioner, tapi memilih untuk kembali ke iman, meski dengan canggung dan kesepian. Ia tidak bisa menerima bahwa perubahan sosial yang sejati bisa berdiri tanpa fondasi moral dan spiritual. Ia percaya bahwa Rusia, dan kemanusiaan secara umum, hanya bisa bertahan dengan merawat ikatan batin yang lebih dalam, ikatan yang tidak bisa dirumuskan oleh ekonomi politik atau teori pembebasan belaka. Ia tidak berbicara seperti nabi, tetapi seluruh kehidupannya—yang tak selesai, yang diputuskan secara tragis—adalah semacam nubuat tentang kekeringan rohani yang akan datang.
Verkhovensky, di sisi lain, tidak memiliki orientasi rohani sama sekali. Ia melihat manusia sebagai alat dalam sejarah, sebagai pion dalam skema besar untuk menumbangkan tatanan yang lama. Tapi ketika tatanan lama digulingkan, tidak ada sesuatu yang dapat menggantikannya. Ia tidak ingin membangun; ia ingin merobohkan. Tidak ada cinta dalam revolusinya, hanya kemarahan. Ia tidak percaya pada individu, pada kesadaran moral, atau pada martabat manusia. Bahkan anggota kelompoknya bukan rekan seperjuangan, tetapi sekadar instrumen yang bisa dibuang bila tidak berguna. Ia menjadi karikatur mengerikan dari revolusioner yang telah kehilangan nilai, seorang manipulator ide yang bergerak tanpa keyakinan kecuali pada kehancuran.
Hubungan keduanya, walau tidak terlalu panjang dalam narasi, menjadi semacam litmus terhadap apa yang akan terjadi ketika ide-ide revolusioner terlepas dari akar-akar etik dan spiritual. Shatov adalah pengingat Dostoevsky bahwa meski naif, bahkan konservatif dalam banyak segi, iman dan spiritualitas tetap menjadi sumber etika yang tak bisa diabaikan. Ketika Verkhovensky membunuh Shatov, ia bukan hanya menghabisi manusia, tapi juga simbol peringatan terakhir tentang apa yang akan terjadi jika revolusi tidak disertai kedalaman jiwa. Ini adalah bunuh diri spiritual dalam bentuk pembunuhan fisik.
Apa yang Dostoevsky lakukan dalam Demons adalah penelanjangan brutal atas utopia yang dibangun dari ketiadaan makna. Ia tidak sedang menolak perubahan sosial, tetapi menolak gagasan bahwa manusia bisa diperbaiki hanya dengan merombak struktur luar tanpa menyentuh isi batinnya. Revolusi tanpa kesadaran moral adalah pembantaian yang mencari legitimasi. Dalam dunia semacam itu, bahkan cinta pun menjadi sesuatu yang mencurigakan. Tidak ada yang utuh. Tidak ada yang kudus. Segala sesuatu bisa dipecah, dianalisis, dan dibakar habis.
Dan Dostoevsky menulis ini bukan hanya dengan kejernihan intelektual, tapi dengan kepedihan batin. Ia pernah menjadi bagian dari gerakan intelektual yang ingin mengguncang dunia lama, dan ia nyaris mati karenanya. Ia menulis Demons bukan dari menara gading, tetapi dari dasar penderitaan dan kebangkitan personal. Oleh karena itu, pesannya tidak hanya datang dari kepala, tetapi dari pengalaman eksistensial yang getir. Ia memahami bahaya dari idealisme kosong yang tidak disertai kasih.
Shatov bukanlah pahlawan. Ia tidak cemerlang, tidak karismatik, dan sering tampak membingungkan. Tetapi justru itu kekuatannya. Ia adalah manusia yang mencari pijakan dalam dunia yang berguncang. Ia percaya bahwa tanpa iman, bahkan ide terbaik pun bisa berubah menjadi monster. Ia tahu bahwa ketika kebenaran hanya ditentukan oleh kekuasaan dan retorika, maka yang tersisa hanyalah kehampaan.
Verkhovensky, sebaliknya, adalah gambaran paling jujur tentang apa yang terjadi ketika kehendak untuk berkuasa mengambil alih seluruh batin manusia. Ia tidak mencintai siapa pun, bahkan dirinya sendiri. Ia hidup dalam kepalsuan yang terus-menerus diproduksi ulang, sebuah teater revolusi yang penuh dengan kebencian, pengkhianatan, dan ketakutan. Ia bukan saja tidak punya iman, tapi juga tidak punya rasa malu. Dan di situlah letak kengerian yang ingin ditampilkan Dostoevsky: bukan pada kekerasan itu sendiri, tetapi pada ketiadaan rem moral yang membiarkan kekerasan tumbuh tanpa batas.
Esai ini, seperti Shatov, tidak menawarkan solusi yang tuntas. Tapi ia menyuarakan ketakutan lama Dostoevsky: bahwa revolusi besar yang tidak disertai pertobatan batin hanya akan menggantikan satu bentuk penindasan dengan yang lain. Bahwa ketika manusia tidak lagi mengenal dosa, ia juga tidak lagi mengenal kebajikan. Bahwa ketika semua dianggap bisa dinegosiasikan, bahkan hati nurani pun ikut dijadikan alat tukar. Shatov dibunuh, tapi pertanyaannya tetap hidup: apakah manusia bisa selamat hanya dengan ide, tanpa jiwa?
Dostoevsky tidak menjawabnya secara langsung. Tapi ia menggambarkannya secara telak dalam kematian Shatov dan kelangsungan hidup Verkhovensky. Ia menulis Demons sebagai surat peringatan untuk Rusia, dan secara tragis, sejarah membuktikan bahwa surat itu datang terlalu awal, dan dibaca terlalu lambat. Uni Soviet lahir dengan semangat Verkhovensky: menyapu habis yang lama, membentuk manusia baru, dan mengorbankan siapa pun yang menghalangi jalan. Dalam proses itu, jutaan Shatov lainnya lenyap tanpa suara.
Shatov mungkin lemah, mungkin bingung, mungkin bahkan gagal. Tapi ia masih memiliki jiwa. Ia masih bisa mencintai. Ia masih bisa menyesal. Dan dalam dunia yang dipenuhi Verkhovensky, itu saja sudah menjadi revolusi tersendiri. (part-9 of 13)
Jiwa-Jiwa Resah Dostoevsky
➮ part 2: Iblis Rasionalitas
➮ part 3: Lubang Nihilisme
➮ part 4: Pengadilan Atas Tuhan
➮ part 5: Pilihan Untuk Cinta
➮ part 6: Tubuh dan Kehendak yang Meronta
➮ part 7: Dewa Bunuh Diri
➮ part 8: Hikmat Kebijaksanaan Terendah
➮ part 9: Revolusi Tanpa Jiwa
➮ part 10: Jiwa yang Tak Terobati
➮ part 11: Saudara dalam Kegelapan
➮ part 12: Dunia Tanpa Tuhan
➮ part 13: Apa yang Masih Bisa Kita Percayai.?
Posting Komentar
...