Hikmat Kebijaksanaan Terendah

     Dalam karya-karya besar Dostoevsky, sosok Zosima hadir sebagai oase spiritual dalam gurun kekacauan batin dan intelektual para tokohnya. Ia bukan filsuf dalam pengertian akademis, bukan pula pemikir sistematik yang menyusun traktat metafisika. Ia seorang starets, seorang pembimbing jiwa, tapi lebih dari itu, Zosima adalah wajah lembut dari kebijaksanaan yang tidak bersandar pada argumen, melainkan pada pengalaman, penderitaan, dan cinta. Dalam novel "The Brothers Karamazov," Zosima menjadi poros moral yang tenang, tempat di mana konflik-konflik metafisik, teologis, dan eksistensial para Karamazov dan dunia sekitarnya menemukan resonansi yang paling mendalam.

     Zosima tak menyampaikan sistem. Ia tidak mencoba memenangkan perdebatan. Ia mendengarkan, menyentuh, dan mengasihi. Bila Ivan memberontak terhadap Tuhan atas dasar penderitaan anak-anak, dan Alyosha memilih cinta sebagai tanggapan terhadap dunia yang rusak, maka Zosima adalah jalan sunyi yang lebih dalam dari keduanya. Ia tidak menyangkal realitas penderitaan, tetapi menempatkan penderitaan itu dalam konteks yang lebih luas: bahwa hanya dengan menanggung dosa dunia, seseorang bisa menebus dan diselamatkan. Ia tidak menawarkan teodisi; ia menawarkan partisipasi.

     Dalam dunia Dostoevsky yang penuh gejolak antara iman dan keraguan, Zosima justru mengajukan iman yang sederhana, bukan karena tidak memahami kompleksitas, tapi karena telah melewati kompleksitas itu dan memilih diam. Diam Zosima bukan kekosongan, tapi kedalaman. Ia memahami bahwa kebenaran tertinggi tak selalu dapat diartikulasikan, dan bahwa terkadang kebijaksanaan tidak datang dari akal, tapi dari hati yang hancur namun terbuka. Di sinilah letak keagungannya: Zosima adalah kebijaksanaan yang telah dilucuti dari superioritas.

     Ia berbicara tentang kerendahan hati, tentang saling menanggung kesalahan, tentang cinta sebagai jalan keselamatan. Ia melihat setiap manusia sebagai makhluk yang bisa ditebus, dan bahkan yang paling hina pun tidak terputus dari rahmat. Baginya, kejahatan bukanlah entitas metafisik absolut, melainkan hasil dari keterputusan manusia dari cinta. Ia mengajarkan bahwa tidak ada dosa yang tidak bisa diampuni, dan bahwa pengampunan sejati menuntut seseorang untuk terlebih dahulu mengakui bahwa dirinya pun adalah bagian dari kesalahan dunia. Zosima menolak membenci, bahkan terhadap pelaku kejahatan sekalipun, karena ia tahu bahwa membenci berarti ikut memperkuat kejahatan itu.

     Dalam pengakuan-pengakuannya, Zosima menceritakan tentang bagaimana ia muda dan penuh amarah, siap berduel demi harga diri, namun berubah total ketika melihat bagaimana seseorang yang ia sakiti membalasnya dengan kebaikan. Momen itu menjadi titik balik yang merobek egonya, membuka hatinya, dan mengantarkannya pada hidup dalam cinta dan doa. Ini bukan mistisisme yang melarikan diri dari dunia, tetapi spiritualitas yang masuk ke dalam luka-luka dunia dengan tangan terbuka. Zosima tidak menghindar dari kenyataan brutal hidup; ia menanggungnya dan menyentuhnya dengan kelembutan.

     Salah satu aspek paling mendalam dari ajaran Zosima adalah tentang tanggung jawab radikal: bahwa setiap orang bertanggung jawab atas segalanya dan semua orang. Ini bukan pernyataan moralistis, tetapi pengakuan eksistensial yang mengguncang. Ia menolak etika yang hanya menunjuk ke luar. Ia meminta kita menunjuk ke dalam. Dalam dunia yang sering mencari kambing hitam dan melemparkan kesalahan pada sistem, pada orang lain, pada sejarah, Zosima datang dan berkata: mulailah dengan dirimu sendiri. Bukan untuk membenarkan kejahatan orang lain, tetapi untuk memulai pembaruan dari tempat yang paling mungkin: hati sendiri.

     Zosima berdiri sebagai oposisi terhadap segala bentuk superioritas moral dan intelektual. Ia tidak terlibat dalam perang ide, karena ia tahu perang ide bisa menjadi arena kesombongan. Ia juga bukan seorang yang mengasingkan diri dari dunia untuk mencari kesucian pribadi. Justru sebaliknya, ia membenamkan dirinya dalam dunia, dalam manusia, dalam air mata dan kejatuhan mereka. Baginya, kekudusan tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari, dari air mata orang miskin, dari pelukan anak yatim, dari roti yang dibagikan. Ia mewujudkan bentuk tertinggi dari religiositas yang tidak fanatik, yang tidak memisahkan suci dari profan, tetapi melihat kehadiran ilahi dalam segala sesuatu.

     Dalam bagian-bagian akhir penggambarannya, tubuh Zosima membusuk lebih cepat dari yang diharapkan. Banyak yang terkejut dan menganggap itu sebagai tanda bahwa ia bukan orang suci. Tapi Dostoevsky membalikkan narasi ini. Justru dalam pembusukan tubuh Zosima, dalam kegagalan tanda-tanda luar untuk menyatakan kesuciannya, pembaca diajak untuk kembali pada substansi. Kesucian bukanlah mukjizat jasmani. Kesucian adalah kebaikan yang hidup dan mengubah. Reputasi Zosima tidak dibangun dari aroma tubuh yang tidak membusuk, tetapi dari kehidupan yang ia sentuh, dari manusia-manusia yang ia selamatkan dari keputusasaan.

     Zosima bukan hanya guru bagi Alyosha, tetapi juga figur penyeimbang bagi seluruh semesta Dostoevsky. Dalam novel yang penuh dengan jeritan filsafat dan letupan ideologi, suara Zosima adalah nada yang pelan tapi terus mengalun, menawarkan sesuatu yang lebih permanen dari argumen: kehadiran. Dalam dunia yang semakin kehilangan makna dan semakin terjerat dalam obsesi akan pembenaran intelektual atau kemenangan moral, Zosima menawarkan sesuatu yang lebih sulit namun lebih membebaskan: merendahkan hati dan mencintai. Ia adalah bukti bahwa dalam kebijaksanaan yang terendah—yang tidak mengklaim, tidak menghakimi, tidak membusungkan dada—tersimpan kekuatan yang paling dalam untuk mengubah dunia.

     Maka, Zosima adalah kenangan akan sesuatu yang telah lama ditinggalkan dalam modernitas: bahwa jiwa manusia tidak bisa diselamatkan oleh konsep, bahwa kasih tidak bisa dijelaskan tapi hanya dihidupi, dan bahwa manusia bisa bangkit bukan karena ia tahu, tetapi karena ia dicintai. Dan dalam cinta itulah, dunia menemukan kemungkinan untuk ditebus. Zosima tidak memperdebatkan itu; ia menghidupinya. (part-8 of 13)


Zosima menawarkan sesuatu yang lebih sulit namun lebih membebaskan: merendahkan hati dan mencintai.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.