Saudara dalam Kegelapan

     Di antara Di lorong-lorong gelap jiwa manusia yang paling dalam, Dostoevsky dan Nietzsche tampak seperti dua roh yang berjalan beriringan, saling memantulkan bayangan. Mereka tidak pernah bertemu secara langsung, dan secara historis, jarak mereka pun terpaut dunia yang berbeda: satu mewakili Ortodoksi Rusia yang penuh luka dan pengakuan dosa, sementara satunya adalah penyair kegelapan yang menelanjangi Barat dari illusi-illusi teistiknya. Namun dalam medan pemikiran, mereka bersaudara—dua nabi gelap yang menubuatkan krisis eksistensial manusia modern, yang mengguncang bangunan iman, moralitas, dan tujuan hidup yang diwariskan oleh agama dan tatanan tradisional. Keduanya sama-sama menyaksikan dunia yang roboh, namun sikap mereka terhadap reruntuhan itu sangat berbeda.

     Dostoevsky, dengan lembut namun dalam, membawa tokoh-tokohnya ke dalam penderitaan hingga mereka tercerabut dari kepastian. Dalam penderitaan itu, ia berharap manusia bisa bertemu kembali dengan Tuhan—bukan sebagai ide, melainkan sebagai wajah, sebagai cinta, sebagai pengampunan yang melebihi akal. Nietzsche sebaliknya memanggil manusia untuk tidak kembali, tapi melompat ke jurang: membunuh Tuhan, membakar fondasi moral lama, dan dari abu itu melahirkan manusia baru, sang Übermensch. Di titik inilah mereka tampak seperti dua tangan dari satu tubuh: Dostoevsky menggali rasa bersalah dan keretakan batin; Nietzsche menantangnya untuk melampaui itu semua dengan kehendak untuk berkuasa.

     Nietzsche mengenal karya Dostoevsky, dan dalam surat-suratnya, ia menyebut Dostoevsky sebagai satu-satunya psikolog sejati yang pernah ia temui. Pernyataan ini bukan basa-basi. Nietzsche menemukan dalam tokoh-tokoh Dostoevsky kedalaman psikologis yang bahkan belum dijamah oleh sains pada masanya. Raskolnikov, Kirillov, Ivan Karamazov—semuanya bukan sekadar tokoh fiksi, tapi cermin retak dari jiwa manusia yang sedang menggugat nilai-nilai absolut. Dostoevsky tak segan memaparkan pergolakan batin para tokohnya dalam percakapan yang panjang, repetitif, dan menyiksa—bukan karena ia tidak tahu cara mengedit, tetapi karena penderitaan eksistensial memang tidak rapi. Ia berantakan, membingungkan, dan mendorong manusia ke tepi kegilaan. Nietzsche, meski lebih aforistik dan puitis, berangkat dari kekacauan yang sama.

     Namun, sikap keduanya terhadap kehancuran berbeda. Nietzsche memeluk kehancuran sebagai jalan menuju transvaluasi nilai. Ia menolak belas kasih Kristen, menganggapnya sebagai bentuk kelemahan, sebagai dendam kaum lemah terhadap yang kuat. Dalam The Antichrist, ia menyebut Kristen sebagai "moralitas budak". Dostoevsky justru melihat belas kasih sebagai jalan keselamatan. Bagi Nietzsche, manusia harus menjadi pencipta nilai-nilainya sendiri; bagi Dostoevsky, manusia yang mencoba menciptakan nilai sendiri akan menemukan dirinya dalam kekacauan moral seperti yang dialami Stavrogin dan Kirillov. Nietzsche ingin membebaskan manusia dari rasa bersalah; Dostoevsky ingin menyucikan rasa bersalah itu agar menjadi jalan menuju penebusan.

     Dalam The Brothers Karamazov, Ivan mewakili pemberontakan akal terhadap penderitaan yang tak terjelaskan. Ia menolak teodisi, menolak surga yang harus dibayar dengan air mata anak kecil. Ini bukan argumen ateistik biasa, melainkan jeritan moral yang mendalam. Nietzsche, meski menolak Tuhan, tidak selalu menempatkan moralitas di atas estetika atau kekuatan. Ia bahkan menyambut penderitaan sebagai pengasah kehendak. Di sini terlihat perbedaan yang subtil: Ivan tidak tahan dengan dunia tanpa makna, Nietzsche justru menantang manusia untuk menciptakan maknanya sendiri meski di dunia tanpa Tuhan.

     Namun keduanya bertemu dalam pemahaman akan manusia sebagai makhluk tragis. Mereka tahu bahwa manusia tidak bisa hanya ditentukan oleh rasionalitas atau insting saja. Ada sesuatu yang lebih dalam: sebuah kehampaan metafisik yang terus menghantui. Tokoh-tokoh Dostoevsky menggambarkan dengan tajam bagaimana manusia yang kehilangan Tuhan juga kehilangan dirinya. Nietzsche mencoba membangun jembatan ke dunia baru, tapi dalam Thus Spoke Zarathustra, sang nabi gurun itu pun berjalan sendirian, penuh paradoks dan rindu yang samar. Bahkan di dalam dirinya yang paling gempita, Nietzsche tetap menulis dari kesunyian yang senyap. Mungkin karena itu ia merasa Dostoevsky memahaminya—karena keduanya berbicara dalam bahasa luka yang sama, meski menawarkan obat yang berbeda.

     Persaudaraan mereka juga terletak pada kemampuan menelanjangi kepalsuan. Dostoevsky melihat ancaman terbesar bukan di luar, melainkan di dalam: manusia yang ingin menggantikan Tuhan dengan ide, ideologi, atau revolusi. Stavrogin dan Verkhovensky adalah prototipe manusia post-religius yang tersesat dalam kehampaan dan manipulasi. Nietzsche memperingatkan bahaya serupa: bahwa nihilisme pasca-kematian Tuhan bisa memunculkan kekosongan nilai yang berujung pada dekadensi. Ia tidak mengajak kita berhenti pada nihilisme, tetapi melampauinya. Demikian pula Dostoevsky tidak ingin kita berhenti pada keputusasaan, tetapi menemukan cinta yang membebaskan. Dua jalur yang berbeda menuju transformasi manusia.

     Di era kontemporer, keduanya kembali hidup sebagai referensi wajib dalam memahami krisis spiritual modern. Di satu sisi, ada mereka yang terinspirasi oleh Nietzsche untuk menggugat semua bentuk otoritas lama, dari agama hingga moralitas konvensional. Di sisi lain, ada mereka yang menemukan dalam Dostoevsky semacam kompas spiritual yang tak dogmatis, yang memahami keretakan manusia tanpa menghakimi. Keduanya menjelajah jiwa manusia di masa transisi, dan itulah sebabnya mereka tetap relevan dalam dunia yang kian kehilangan arah.

     Persoalan terakhir adalah: siapa yang lebih tepat? Tidak ada jawabannya. Nietzsche adalah api yang membakar, Dostoevsky adalah abu yang menenangkan. Nietzsche menantang kita untuk menciptakan makna, Dostoevsky menuntun kita untuk menerima anugerah makna yang tidak kita ciptakan. Keduanya mengungkapkan sisi terdalam dari manusia yang terombang-ambing antara kebebasan mutlak dan keterikatan akan sesuatu yang lebih tinggi. Dan dalam kegelapan itu, mereka bukan sekadar bersaudara, tetapi saling menguji batas satu sama lain. Barangkali, hanya dengan membiarkan keduanya hidup bersama dalam kontradiksi yang tidak terselesaikan, kita benar-benar bisa memahami apa artinya menjadi manusia di ambang abad baru yang penuh luka ini. (part-11 of 13)


Nietzsche menantang kita untuk menciptakan makna, Dostoevsky menuntun kita untuk menerima anugerah makna yang tidak kita ciptakan.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.