Di tengah abad dua puluh satu yang ditandai oleh krisis global, kekacauan makna, serta kehampaan spiritual yang meluas, karya-karya Fyodor Dostoevsky justru terasa semakin relevan, bahkan menggelegar. Dunia yang ia ramalkan dalam visi-literer dan profetisnya bukan sekadar telah datang, tapi menjelma dalam bentuk-bentuk yang lebih brutal dan telanjang: terorisme atas nama ideologi, kerapuhan identitas di tengah arus informasi, serta krisis iman yang membatu dalam psikologi manusia modern. Di antara dentuman data dan pusaran opini, dunia hari ini lebih mirip panggung The Brothers Karamazov ketimbang arena pencerahan rasional yang dijanjikan modernitas. Dan inilah warisan Dostoevsky: ia menulis untuk zaman seperti ini.
Tokoh-tokoh ciptaannya tidak pernah hidup di masa yang damai, dalam masyarakat yang mapan, atau dalam dunia yang sepakat akan kebenaran. Mereka lahir dan bergerak dalam retakan sosial, dalam masa peralihan, dalam ketegangan antara tradisi dan revolusi. Stavrogin dan Kirillov, Shatov dan Verkhovensky, Alyosha dan Ivan—semuanya berdialog dalam kekosongan, mencoba mendefinisikan ulang makna hidup di tengah runtuhnya tatanan lama dan kebangkitan tatanan baru yang lebih kejam. Dan begitulah pula dunia hari ini: tatanan moral tradisional telah diganti oleh lautan post-truth, di mana setiap klaim kebenaran bisa ditandingi oleh "versi lain" yang sama meyakinkannya. Dalam konteks ini, pertanyaan Dostoevsky yang abadi, "Jika Tuhan tidak ada, apakah segala sesuatu diperbolehkan?" menjadi semakin nyata, lebih dari sekadar provokasi filosofis.
Apa yang kita saksikan hari ini adalah kembalinya roh nihilisme dalam wujud yang lebih sistemik. Jika nihilisme pada era Dostoevsky masih berwujud pergolakan intelektual dan moral di benak kaum muda Rusia, nihilisme kontemporer telah merasuki struktur sosial dan algoritma digital. Terorisme bukan lagi sekadar aksi kekerasan, tetapi puncak dari keyakinan fanatik yang kehilangan fondasi etis. Demikian pula ideologi yang memuja kehendak kuasa tanpa mempertimbangkan konsekuensi spiritualnya. Dostoevsky telah menulis ini semua dalam Demons, jauh sebelum bom bunuh diri dan radikalisasi daring menjadi hal biasa. Ia memahami bahwa ketika manusia melepaskan Tuhan, ia tidak menjadi bebas, tapi kehilangan pusat gravitasinya. Manusia tanpa Tuhan bukanlah makhluk yang tercerahkan, melainkan makhluk yang terhempas ke dalam jurang kehampaan.
Namun warisan Dostoevsky bukan hanya tentang kegelapan dan keputusasaan. Justru dalam momen terburuk inilah kita melihat kilatan harapan yang paling terang. Alyosha Karamazov hadir sebagai simbol pilihan sadar untuk mencintai dalam dunia yang membenci, untuk tetap percaya meski segala sesuatu tampak absurd. Dalam dunia yang menjulang seperti Ivan—penuh kecerdasan, keraguan, dan kegelisahan eksistensial—Alyosha adalah suara yang lembut namun kukuh, bahwa cinta bukanlah kebodohan, melainkan keputusan. Bukan karena iman adalah jawaban rasional, melainkan karena hidup tanpa cinta adalah kehancuran yang pasti. Dostoevsky menulis Alyosha bukan sebagai kontras terhadap Ivan, tetapi sebagai jembatan: bagaimana manusia modern bisa tetap hidup dalam iman tanpa harus mematikan akalnya.
Ketegangan antara Ivan dan Alyosha ini merepresentasikan dilema spiritual kontemporer. Ivan adalah suara dominan zaman ini—mereka yang berpikir, mempertanyakan, memberontak, menolak menerima jawaban lama yang tak memuaskan. Tapi seperti Ivan yang akhirnya dihantui oleh Grand Inquisitor dan penderitaan anak-anak, dunia juga kini diganggu oleh konsekuensi pemberontakannya sendiri. Kita hidup dalam era yang menolak mitos, tapi merindukan makna. Kita menggugat Tuhan, tapi tak kunjung bisa menciptakan sistem etika yang memadai untuk menggantikan-Nya. Di sinilah Dostoevsky menjadi guru yang pahit namun perlu: ia tidak memberi jalan keluar yang mudah, tetapi menempatkan kita dalam kejujuran paling telanjang tentang kondisi manusia. Bahwa mungkin tak ada jawaban final, tapi pilihan untuk mencinta dan mengampuni tetap harus diambil, karena itulah satu-satunya bentuk keberanian yang tersisa.
Dalam dunia yang sarat akan teknologi, ilusi komunikasi, dan kehampaan spiritual, membaca Dostoevsky bukan hanya aktivitas intelektual, melainkan praktik eksistensial. Ia tidak menawarkan ideologi, tapi membongkar ilusi-ilusi kita. Ia memaksa pembacanya untuk bertanya bukan tentang siapa yang benar, tetapi bagaimana kita tetap menjadi manusia dalam dunia yang runtuh. Bahkan Freud, yang membenci Dostoevsky karena dianggap menyaingi wilayah psikoanalisisnya, mengakui daya jangkau psikologis Dostoevsky yang menggetarkan. Dan Nietzsche, sang pemberontak sejati, menyebut Dostoevsky sebagai satu-satunya psikolog sejati yang pernah ia temui. Dunia abad 21 tidak lebih rasional daripada dunia Dostoevsky; ia hanya lebih cepat dan lebih bising. Tapi krisis yang sama tetap menyala di bawah permukaan: krisis makna, krisis iman, krisis kemanusiaan.
Dostoevsky menulis bukan untuk menyenangkan hati, tapi untuk mengguncang jiwa. Dalam kata-katanya, penderitaan adalah harga dari kesadaran, dan kesadaran adalah langkah pertama menuju kebebasan sejati. Kita mungkin tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan besar tentang Tuhan, keadilan, dan kebebasan, tapi seperti para tokohnya, kita bisa memilih untuk hidup di tengah paradoks, dengan keberanian untuk tetap mencintai, meski tak semua dapat dimengerti. Dunia seperti Ivan, tapi mencintai seperti Alyosha—itulah pilihan eksistensial yang diajukan Dostoevsky untuk zaman ini. Dan mungkin, itulah warisan terdalamnya: bahwa bahkan dalam kehampaan paling gelap, masih ada kemungkinan untuk menyelamatkan diri, bukan lewat jawaban, tapi lewat cinta yang tetap bertahan di tengah absurditas segalanya. (part-12 of 13)
Jiwa-Jiwa Resah Dostoevsky
➮ part 2: Iblis Rasionalitas
➮ part 3: Lubang Nihilisme
➮ part 4: Pengadilan Atas Tuhan
➮ part 5: Pilihan Untuk Cinta
➮ part 6: Tubuh dan Kehendak yang Meronta
➮ part 7: Dewa Bunuh Diri
➮ part 8: Hikmat Kebijaksanaan Terendah
➮ part 9: Revolusi Tanpa Jiwa
➮ part 10: Jiwa yang Tak Terobati
➮ part 11: Saudara dalam Kegelapan
➮ part 12: Dunia Tanpa Tuhan
➮ part 13: Apa yang Masih Bisa Kita Percayai.?
Posting Komentar
...