Lubang Nihilisme

     Stavrogin berjalan dalam dunia yang penuh bayangan, di mana kehendak bebas yang mutlak tidak lagi bersinar sebagai cahaya pembebasan, melainkan menganga sebagai lubang gelap yang menelan makna, moralitas, dan bahkan kehadiran ilahi. Dalam "Demons" (atau "The Possessed"), Dostoevsky menghadirkan Stavrogin bukan sekadar sebagai tokoh utama dalam kisah konspirasi politik Rusia abad ke-19, tetapi sebagai representasi manusia modern yang telah menanggalkan semua fondasi spiritualnya dan berdiri telanjang di hadapan kekosongan. Ia tidak hanya nihilistik, tetapi menjadi kanal utama bagi nihilisme itu sendiri untuk meresap ke dalam roh zaman.

     Kehadiran Stavrogin dalam novel bukanlah kehadiran biasa. Ia muncul seperti hantu yang menyihir, memesona sekaligus menggentarkan. Karismanya membius, membuat siapa pun di sekelilingnya kehilangan orientasi. Ia tidak banyak bicara, tetapi setiap kata-katanya—atau bahkan diamnya—memiliki daya ledak filosofis. Di satu sisi, ia menjadi objek kekaguman, simbol kebebasan absolut yang membebaskan manusia dari hukum, Tuhan, dan masyarakat. Di sisi lain, ia menjadi mimpi buruk kolektif, karena kebebasan yang ia jalani ternyata bukan kebebasan yang melahirkan tanggung jawab, melainkan kebebasan yang membunuh nurani.

     Dostoevsky menulis Stavrogin dengan tangan gemetar dan mata yang tajam. Di dalam dirinya, kita melihat bukan hanya pergulatan moral personal, tetapi percikan api dari ledakan yang lebih besar—krisis spiritual Rusia dan barangkali peradaban Barat secara keseluruhan. Stavrogin bukan hanya kehilangan iman; ia tidak merasakan kehilangan itu. Ia tahu tentang Tuhan, ia tahu tentang dosa, tetapi ia menolak keduanya dengan ketenangan yang lebih menyeramkan dari pemberontakan. Ia tidak berteriak menolak Tuhan seperti Ivan Karamazov. Ia hanya berjalan menjauh dari-Nya, dengan wajah beku, tanpa airmata.

     Salah satu bagian paling menghantui dari tokoh ini adalah pengakuan tersembunyinya—bab yang bahkan sempat disembunyikan oleh editor karena dianggap terlalu mengerikan. Dalam pengakuan itu, Stavrogin menyatakan telah memperkosa seorang anak kecil dan membiarkannya bunuh diri. Tapi bahkan setelah pengakuan itu, ia tidak tampak benar-benar menyesal. Ia tidak datang dengan beban dosa yang ingin ditebus, melainkan dengan kehampaan yang tidak bisa diisi oleh apa pun. Kejahatannya bukan kejahatan orang yang jatuh dalam godaan, tetapi kejahatan dari seseorang yang mencoba membuktikan bahwa tidak ada hukum moral yang bisa menyentuhnya.

     Dalam hal ini, Stavrogin berbeda dari Raskolnikov. Jika Raskolnikov membunuh karena ideologi rasional tentang manusia superior dan kemudian tenggelam dalam penderitaan, maka Stavrogin melakukan kejahatan sebagai eksperimen terhadap kehampaan itu sendiri. Ia ingin tahu apakah kejahatan bisa dilakukan tanpa konsekuensi batin. Dan yang ia temukan bukan pembebasan, tetapi kehampaan yang semakin melebar. Tidak ada Tuhan yang menghukumnya, tidak ada masyarakat yang menolaknya, dan yang paling tragis, tidak ada hati nurani yang menggugatnya. Kehendak bebas yang ia anut menjadi pisau bermata dua: membebaskannya dari segala beban, tetapi sekaligus menelannya ke dalam jurang di mana tidak ada pegangan, tidak ada dinding, tidak ada dasar.

     Nihilisme Stavrogin bukan nihilisme yang berteriak. Ia bukan seperti tokoh revolusioner Kirillov, yang mencoba membuktikan bahwa manusia bisa menjadi Tuhan dengan bunuh diri. Stavrogin tidak butuh bukti, karena ia tidak percaya pada nilai dari pembuktian. Ia sudah melampaui hasrat untuk membuktikan. Ia sudah berada di tepi keputusasaan yang membatu, di mana satu-satunya aktivitas yang tersisa hanyalah menyaksikan kehancuran dirinya sendiri secara perlahan. Ia tidak mencari pengampunan, tidak pula menolak pengampunan. Ia hanya membiarkan segalanya berlalu, seperti tubuh yang tenggelam tanpa perlawanan.

     Dalam dirinya, Dostoevsky menubuatkan apa yang akan terjadi ketika manusia melepaskan diri dari segala bentuk nilai metafisik dan spiritual. Stavrogin adalah potret masa depan, potret manusia post-religius yang mencoba hidup dengan hanya mengandalkan kehendak bebas dan nalar kosong. Tapi kehendak itu, tanpa jangkar, berubah menjadi kehendak yang autodestruktif. Ia bisa membunuh tanpa emosi, mencintai tanpa komitmen, dan berpikir tanpa arah. Ia bisa berada di tengah komunitas revolusioner tanpa percaya pada revolusi itu sendiri. Ia adalah lubang, dan siapa pun yang mendekatinya, disedot oleh kehampaannya.

     Stavrogin adalah bentuk ekstrem dari kebebasan manusia yang tidak lagi mempercayai kebaikan, kasih, atau pengharapan. Ia adalah anak zaman yang telah membunuh Tuhannya, tetapi tidak menemukan takhta baru untuk menggantikannya. Ia menyerap nilai-nilai Kristen secara intelektual, tetapi menolaknya secara eksistensial. Ia tahu tentang Kristus, tetapi ia tidak percaya pada keajaiban pengampunan. Ia tidak bisa menertawakan dosa karena ia tidak merasa bersalah. Ia tidak bisa bertobat karena ia tidak merasa rusak. Yang ia rasakan hanyalah kekosongan. Dan kekosongan itu begitu luas, begitu dingin, hingga tidak ada pelukan yang bisa menghangatkannya.

     Demons, sebagai novel, menggambarkan bagaimana kekosongan spiritual Stavrogin menular ke sekitarnya. Ia tidak bergerak sebagai penghasut utama gerakan politik, tetapi semua tokoh ekstrem di sekitarnya—Shatov, Kirillov, Pyotr Verkhovensky—berputar di orbitnya. Seperti lubang hitam, Stavrogin tidak bersinar, tetapi justru karena itu ia menarik semua cahaya ke dalam dirinya. Gerakan revolusioner dalam novel itu bukan digerakkan oleh iman atau harapan, melainkan oleh absurditas, oleh rasa bosan, oleh hilangnya orientasi. Dan Stavrogin, sebagai poros diam dari semua itu, adalah gejala utama dari zaman yang sedang menuju kehancuran spiritual.

     Dostoevsky tampaknya menyadari bahwa lubang nihilisme ini bukan semata-mata soal filsafat atau moral, tetapi menyentuh inti dari eksistensi manusia. Manusia, dalam pandangan Dostoevsky, tidak bisa hidup hanya dengan kebebasan. Kebebasan tanpa cinta, tanpa iman, tanpa penderitaan, menjadi racun yang perlahan membunuh jiwa. Dan Stavrogin adalah korban dari racun itu. Ia tidak mati karena tekanan luar. Ia mati karena jiwanya sudah tidak punya apa-apa untuk dipegang.

     Namun tragedi Stavrogin bukan hanya tragedi pribadi. Ia mencerminkan kondisi Rusia modern yang terbelah antara iman ortodoks yang makin lemah dan ideologi Barat yang belum matang. Ia adalah anak dari zaman peralihan, zaman ketika Tuhan masih dibicarakan tetapi tidak lagi diyakini. Ia membawa di wajahnya kontradiksi itu: ketampanan aristokrat, kecerdasan Eropa, dan kehampaan spiritual yang tidak bisa ditutupi dengan retorika. Ia adalah Rusia yang tidak tahu lagi harus berharap pada siapa.

     Akhir hidup Stavrogin tidak datang dalam ledakan dramatis. Ia tidak terbunuh dalam duel, tidak dihukum oleh pengadilan. Ia bunuh diri. Tapi bahkan dalam kematiannya, ia tidak meninggalkan pesan, tidak meninggalkan makna. Ia hanya menghilang seperti bayangan yang larut dalam kegelapan. Ini bukan akhir seorang penjahat atau pahlawan, melainkan akhir dari seseorang yang kehilangan makna menjadi manusia. Dalam kematiannya, Dostoevsky menyampaikan pesan yang lebih gamblang daripada khotbah: inilah nasib manusia yang berjalan terlalu jauh dari Tuhan dan tidak menemukan jalan kembali.

     Esai tentang Stavrogin adalah esai tentang lubang. Lubang yang tidak hanya ada dalam diri satu tokoh, tetapi yang mengintai dalam setiap manusia modern yang mencoba hidup tanpa akar spiritual. Dalam dunia di mana kehendak bebas tidak lagi terikat pada nilai, di mana rasionalitas kehilangan dimensi etis, dan di mana cinta tidak lagi menjadi pusat relasi, Stavrogin berdiri sebagai peringatan. Ia bukan tokoh yang harus ditiru, tetapi tokoh yang harus direnungi dalam-dalam. Karena barangkali, dalam sepi dan diamnya, ia sedang membisikkan kepada kita pertanyaan yang paling mengerikan: apa jadinya manusia tanpa Tuhan—bukan karena ia memberontak, tetapi karena ia tidak lagi peduli? 

     Dan dalam pertanyaan itu, kita dipaksa untuk melihat ke dalam diri sendiri, ke dalam jurang yang mungkin telah lama menganga di sana, menunggu untuk dikenali. Jika Dostoevsky memberikan cahaya lewat Alyosha, harapan lewat Sonya, dan pertobatan lewat Raskolnikov, maka lewat Stavrogin ia memberikan cermin tergelap—cermin tempat kita mungkin melihat bukan siapa kita ingin jadi, tetapi siapa kita bisa jadi jika kita membiarkan nihilisme menggerogoti fondasi terdalam dari jiwa kita. (part-3 of 13)


Tragedi Stavrogin mencerminkan kondisi Rusia modern yang terbelah antara iman ortodoks yang makin lemah dan ideologi Barat yang belum matang.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.