Mengapa Dostoevsky Masih Perlu Kita Baca
Ada sebagian penulis besar yang hidup bersama kita, tidak karena mereka masih menulis, melainkan karena tulisan mereka terus menggetarkan dunia batin kita. Fyodor Mikhailovich Dostoevsky adalah salah satu dari mereka. Ketika kita membaca karyanya, kita tidak sedang mengamati karakter fiksi dari kejauhan, tetapi terseret masuk dalam pergulatan jiwa mereka, seperti menyaksikan pantulan diri sendiri dalam cermin yang retak. Setiap tokoh Dostoevsky—Raskolnikov, Stavrogin, Ivan, Alyosha, Dmitri, Kirillov, Zosima, Shatov—bukanlah sekadar peran dalam cerita, melainkan simpul-simpul eksistensial yang mempertaruhkan seluruh martabat manusia di hadapan absurditas dunia dan sunyinya Tuhan.
Serangkai esai ini bukan sekadar telaah sastra. Ini adalah perjalanan ke pusat badai, ke dalam ruang-ruang tergelap dalam jiwa manusia, tempat logika beradu dengan belas kasih, iman bertarung dengan keraguan, dan kehendak meronta melawan kehampaan. Dunia Dostoevsky adalah dunia pasca-Tuhan, dunia ketika nilai-nilai lama runtuh dan belum ada rumah baru bagi makna. Tetapi justru di reruntuhan itulah kita melihat percikan harapan—bukan dari sistem, bukan dari dogma, melainkan dari manusia itu sendiri. Dari manusia yang memilih untuk mengampuni, mencintai, dan menanggung penderitaan sebagai satu-satunya bentuk keagungan yang tersisa.
Dari setiap tokoh utama yang kita telusuri dalam sebelas esai ini, kita menjumpai wajah-wajah manusia kontemporer: yang tergoda untuk menjadi Tuhan (Raskolnikov), yang jatuh dalam lubang nihilisme (Stavrogin), yang memberontak terhadap ketidakadilan ilahi (Ivan), yang mencari cinta dalam dunia sunyi (Alyosha), yang meronta dalam tubuh yang mendidih (Dmitri), yang menjadikan bunuh diri sebagai tindakan metafisik (Kirillov), yang memilih kebijaksanaan rendah hati (Zosima), yang tersesat dalam ideologi (Shatov dan Verkhovensky), dan bahkan yang menjadi bayangan Freud dan Nietzsche sendiri. Tokoh-tokoh ini tidak mati dalam novel, karena mereka masih hidup di pikiran dan pengalaman kita sehari-hari. Mereka adalah kita.
Dalam dunia yang kian terfragmentasi, di mana teknologi berlari lebih cepat daripada kebijaksanaan, dan kebisingan informasi melampaui kedalaman refleksi, membaca Dostoevsky adalah tindakan perlambatan radikal. Ia memaksa kita untuk mendengar, tidak hanya suara-suara keras dunia, tapi juga desahan jiwa yang terluka. Ia tidak menawarkan solusi, tetapi membongkar ilusi. Dan dalam ketelanjangan itulah, kita mungkin bisa mulai kembali menjadi manusia. (part-1 of 13)
Jiwa-Jiwa Resah Dostoevsky
➮ part 2: Iblis Rasionalitas
➮ part 3: Lubang Nihilisme
➮ part 4: Pengadilan Atas Tuhan
➮ part 5: Pilihan Untuk Cinta
➮ part 6: Tubuh dan Kehendak yang Meronta
➮ part 7: Dewa Bunuh Diri
➮ part 8: Hikmat Kebijaksanaan Terendah
➮ part 9: Revolusi Tanpa Jiwa
➮ part 10: Jiwa yang Tak Terobati
➮ part 11: Saudara dalam Kegelapan
➮ part 12: Dunia Tanpa Tuhan
➮ part 13: Apa yang Masih Bisa Kita Percayai.?
Posting Komentar
...