Di tepi danau yang tenang, seorang anak kecil melempar batu ke permukaan air. Setiap lemparan mencipta riak yang merambat, melingkar, menyentuh tepian yang jauh. Ia tak sadar, dalam kepolosannya, ia sedang memainkan metafora keabadian: setiap tindakan adalah batu yang dilempar ke kolam kosmos, riaknya tak hanya menggetarkan air, tetapi juga ruang dan waktu. Di sinilah Immanuel Kant berdiri, dengan mantel filsafatnya yang berat, berbisik tentang imperatif kategoris—prinsip yang mengajarkan bahwa moralitas bukan sekadar soal akibat, melainkan ujian universalitas.
Di pasar Shiraz abad ke-18, seorang pedagang rempah bernama Farid terpaku pada pilihan. Seorang pelanggan dari negeri seberang hendak membeli safran dengan emas. Farid tahu: ia bisa mencampur safran dengan kunyit, meningkatkan keuntungan, atau tetap jujur. Di kepalanya, ia membayangkan dunia di mana setiap pedagang melakukan hal serupa. Pasar yang semula riuh dengan aroma kayu manis dan tawa, tiba-tiba menjadi sunyi. Kepercayaan hancur; safran tak lagi berharga, karena semua tahu ia bisa palsu. Farid menggenggam kunyit itu, lalu melemparkannya ke sungai. Tindakannya bukan karena takut hukuman, melainkan karena ia melihat konsekuensi universal: jika semua berbohong, kata "janji" akan kehilangan makna, transaksi menjadi mustahil. Di sini, imperatif kategoris bekerja seperti hukum gravitasi: bukan larangan eksternal, tetapi logika internal yang menuntun.
Kant menulis, "Bertindaklah seolah-olah maksim tindakanmu akan menjadi hukum alam universal." Farid, tanpa membaca Critique of Practical Reason, memahami ini secara intuitif. Ia menjaga kemurnian safran bukan untuk disebut suci, tetapi karena ia tak ingin hidup di dunia di mana rempah-rempah adalah dusta.
Di kota Wina yang diguyur hujan, seorang wanita bernama Elsa berjalan cepat menghindari dingin. Di sudut jalan, seorang lelaki tua menggigil, tangannya terbuka. Elsa hendak berlalu, tapi bayangan lain muncul: bagaimana jika semua orang mengabaikan yang lemah? Ia membayangkan dunia di mana setiap orang menunduk, tak peduli pada jerit yang tercekat. Kota megah dengan katedral dan opera berubah menjadi labirin es, di mana manusia membeku dalam ego. Elsa berbalik, memberikan mantelnya. Bagi Kant, tindakan ini bukan sekadar "baik"—ia imperatif. Bukan karena Elsa ingin dilihat baik, tetapi karena ia mengakui kemanusiaan sebagai tujuan itu sendiri.
"Perlakukan manusia, baik pada dirimu maupun orang lain, selalu sebagai tujuan, dan jangan sekadar alat," sabda Kant. Di sini, imperatif kategoris bukan lagi ujian logika, melainkan pengakuan akan nyala sakral dalam setiap insan. Saat Elsa memandang mata lelaki tua itu, ia melihat pantulan kemanusiaannya sendiri—sebuah jembatan yang menghubungkan dua kesadaran.
Di pabrik tepi sungai Rhein, seorang insinyur bernama Ben menatap limbah kimia yang hendak dibuang ke air. Ia membayangkan anaknya, Lina, yang setiap Minggu bermain di tepi sungai itu. Lalu ia bertanya: Bagaimana jika setiap pabrik di dunia melakukan ini? Sungai-sungai akan menjadi racun, ikan-ikan mati, dan Lina tak lagi bisa tertawa. Ben memutuskan menghentikan mesin. Bagi Kant, keputusan ini adalah bentuk rasionalitas murni: alam bukan benda mati, melainkan warisan untuk kerajaan tujuan (kingdom of ends) di mana setiap generasi adalah peserta yang setara.
Imperatif kategoris, seperti akar pohon oak yang menjalar ke bumi, menuntut kita bertindak demi kelestarian universal. Ben tak perlu agama atau hukum—cukup satu pertanyaan: Dapatkah saya menghendaki semua orang berlaku seperti ini? Jika jawabannya merobek hati, maka itu pertanda: kita telah melanggar hukum moral yang lebih tua dari peradaban.
Bintang di Langit Gelap
Di era algoritma dan relativisme, imperatif kategoris Kant bagai konstelasi bintang yang terlupakan. Ia mengingatkan: moralitas bukan permainan subjektivitas, melainkan panggung di mana rasio dan hati bersatu. Setiap kali kita dihadapkan pada pilihan—apakah berbohong, mengabaikan yang terluka, atau merusak bumi—Kant berbisik: Ujilah tindakanmu dalam laboratorium universalitas.
Seperti kunyit yang dilempar Farid, mantel yang diberikan Elsa, atau sungai yang diselamatkan Ben, setiap keputusan adalah riak yang menggetarkan semesta. Di tengah dunia yang kerap kabur antara benar dan nyaman, imperatif kategoris adalah kompas bintang—tak selalu terlihat, tetapi selalu menuntun kita pulang ke kodrat sebagai makhluk rasional, yang mampu membedakan antara yang diinginkan dan yang seharusnya.
Dan
di langit malam, ketika anak kecil itu tidur, riak di danau telah
menjadi gelombang—bergulung-gulung menuju pantai keabadian, di mana
setiap tindakan jujur, peduli, dan bertanggung jawab, adalah batu yang
membangun pulau etika. Kant mungkin tersenyum: Filsafat tak perlu rumit; ia hanya perlu konsisten, seperti detak jantung yang setia pada irama.
Posting Komentar
...