Manusia Dikutuk untuk Bebas — Sartre.
Di tengah hiruk-pikuk Kafe Le Néant yang dipenuhi asap rokok dan debat filosofis, seorang lelaki duduk sendiri, matanya menatap kosong ke secangkir kopi yang telah dingin. Tangannya gemetar menulis di buku catatan: "Aku bebas, tapi mengapa ini terasa seperti hukuman?" Ia mungkin tidak sadar, tetapi getar tinta itu mengukir pertanyaan yang telah menghantui manusia sejak zaman Prometheus mencuri api para dewa: Bagaimana mungkin kebebasan—yang selama ini kita puja sebagai mahkota kemanusiaan—justru menjadi belenggu yang paling kejam?
Jean-Paul Sartre, sang filsuf eksistensialis, menyodorkan jawaban yang menusuk: "Manusia dikutuk untuk bebas." Kalimat ini bukanlah mantra penyemangat, melainkan gema dari lubuk kegelapan eksistensi. Bayangkanlah diri kita sebagai aktor yang terlempar ke panggung kosong tanpa naskah, sutradara, atau bahkan penonton. Lampu sorot menyala, dan tiba-tiba kita sadar: tidak ada yang akan berteriak "Salah jalur!" jika kita tersandung. Kebebasan mutlak itu, yang seharusnya membebaskan, justru membekukan darah.
Sartre menolak narasi romantis tentang kebebasan. Baginya, kebebasan bukanlah hadiah, melainkan takdir yang tak terelakkan. Kita lahir ke dunia tanpa manual instruksi, tanpa "tujuan ilahi," bahkan tanpa esensi yang bisa dijadikan alibi. Sebuah pisau diciptakan untuk memotong; seorang manusia diciptakan untuk... apa? Di sini, Sartre menyeringai: "Eksistensi mendahului esensi." Kita ada terlebih dahulu, lalu—dalam kepanikan—berlari mencari makna seolah-olah makna itu bisa menyelamatkan kita dari jurang ketiadaan.
Lihatlah anak muda yang berdiri di persimpangan karier: menjadi dokter demi orang tua, atau seniman demi jiwa. Setiap pilihan adalah pengakuan bahwa "Aku adalah apa yang aku pilih." Tapi di balik itu, ada bisik halus: "Aku juga adalah apa yang aku tolak." Ketika kau memilih satu jalan, kau membunuh ribuan kemungkinan lain. Sartre menyebut ini "tanggung jawab mutlak"—konsekuensi yang tak hanya membebani pundakmu, tetapi juga menyeret seluruh umat manusia ke dalam definisi baru tentang "menjadi manusia." Jika kau bunuh diri, kau tak hanya mengakhiri hidupmu; kau menyatakan bahwa hidup ini tak bermakna bagi semua orang.
Di sinilah ironi itu menganga: masyarakat menggembar-gemborkan kebebasan, tetapi ketika kau benar-benar bebas, mereka menyebutmu egois. Seorang politikus korup berteriak "Saya hanya bagian dari sistem!"—contoh sempurna "naluri buruk" (bad faith) versi Sartre. Mereka bersembunyi di balik tembok nasib, tradisi, atau bahkan agama, seolah-olah Tuhan adalah dalang wayang yang menggerakkan tangan mereka. Tapi Sartre, dengan sinisme khasnya, berbisik: "Tuhan telah mati, dan kitalah yang membunuhnya."
Kebebasan Sartrean bukanlah padang rumput terbuka, melainkan labirin tanpa peta. Setiap sudut berbisik: "Kau bisa menjadi apa saja," tapi juga "Kau akan tersesat." Inilah kecemasan eksistensial—aroma pahit yang menguar dari kopi pagi seorang manusia tanpa peta. Tanpa hukum Tuhan, tanpa moral objektif, kita seperti nelayan yang berlayar di laut gelap tanpa bintang penunjuk.
Pernahkah kau berdiri di supermarket, terpaku memilih antara selai stroberi atau blueberry? Itulah parodi modern dari kecemasan Sartrean: overchoice. Dunia kini menawarkan kebebasan sebagai produk massal—pilihan karier, identitas gender, keyakinan—tetapi di balik rak-rak yang berjejal itu, ada jeritan sunyi: "Semakin banyak pilihan, semakin dalam lubang di jiwa." Generasi muda menggenggam smartphone, mengira diri mereka merdeka, tapi lupa bahwa algoritma telah mengurung mereka dalam penjara "like" dan "share."
Sartre mungkin akan tertawa getir melihat kita. Di era di mana kebebasan dikurung dalam filter Instagram dan keputusan direduksi menjadi klik "beli sekarang," manusia justru lari dari tanggung jawab. Kita bersembunyi di balik stories yang dipoles, seolah-olah dengan lantang mengatakan, "Lihatlah, aku bebas!" padahal yang kita lakukan adalah menari di atas panggung yang sudah disetel oleh Zuckerberg.
Tapi Sartre bukan nabi kiamat. Di balik kutukan kebebasan, ada panggilan untuk keautentikan. Bayangkan seorang penari yang menari di tepi kawah gunung berapi—ia tahu tanah bisa longsor setiap saat, tapi ia tetap menari. Begitulah hidup yang autentik: mengakui bahwa kita terkutuk untuk bebas, lalu menertawakan kutukan itu sambil melompat ke jurang ketidakpastian.
Lihatlah pemuda dalam contoh Sartre: terombang-ambing antara merawat ibu sakitnya atau bergabung dengan perlawanan Nazi. Tidak ada malaikat yang berbisik jawaban benar. Tidak ada kitab suci yang bisa dijadikan tameng. Hanya ada desing peluru dan rintihan ibu—dan di tengah itu, pilihan harus dibuat. Bagi Sartre, kepahlawanan sejati bukanlah mengikuti norma, melainkan berani berkata, "Ini tanggung jawabku, dan aku tak akan menyalahkan siapapun."
Di sini, Sartre berselisih dengan Camus. Bagi Camus, kebebasan adalah pemberontakan terhadap absurditas—seperti Sisyphus yang bahagia menggelindingkan batu. Tapi bagi Sartre, kebebasan adalah tangisan bayi yang baru lahir: menyakitkan, tapi hanya melalui tangisan itulah kita tahu diri kita hidup.
Di penghujung hari, lelaki di Kafe Le Néant itu menutup bukunya. Ia tersadar: kopinya telah habis, tapi kecemasannya tetap menggenang. "Kutukan untuk bebas," gumannya. Tapi tiba-tiba, ia tersenyum. Di balik jendela kafe, ia melihat seorang seniman jalanan melukis di trotoar. Lukisannya buruk, tapi seniman itu tertawa.
Sartre mungkin benar: kita terkutuk untuk bebas. Tapi dalam kutukan itu, ada mahkota duri yang hanya layak dipakai oleh mereka yang berani berkata, "Aku tak perlu penyelamat. Aku akan menciptakan makna dari reruntuhan." Kebebasan memang lautan tanpa tepi, tapi bukankah hanya di laut lepas kita belajar menjadi nahkoda?
Seperti kata Sartre: "Kebebasanmu adalah apa yang kamu lakukan dengan apa yang telah dilakukan kepadamu." Hari ini, pilihan ada di tangan kita: meratapi kutukan, atau mengukirnya menjadi puisi.
Posting Komentar