Keresahan Pembara di Antara Buku

     Di sudut sunyi peradaban yang gemuruh, para pembara — istilah halus bagi mereka yang terperangkap antara hasrat membaca dan kegelisahan eksistensial — berjalan dalam labirin tak kasatmata. Rak-rak buku mereka adalah peta yang tak pernah selesai, sementara jiwa mereka adalah kompas yang terus bergetar antara keinginan untuk tahu dan ketakutan untuk memahami. Di sini, di ruang di mana kata-kata bertaut dengan keheningan, keresahan itu jarang diungkap, tapi selalu terasa: seperti angin yang menggerakkan tirai tanpa pernah menampakkan wujudnya.

     “Banyak yang belum dibaca, tapi sudah beli buku baru lagi?” Pertanyaan ini menggantung di udara, bukan sebagai tuduhan, melainkan sebagai pantulan dari paradoks zaman. Di dunia yang mengukur segala sesuatu dengan produktivitas, membeli buku adalah ritual kecil untuk merawat keyakinan bahwa suatu hari nanti, waktu akan cukup, dan kekosongan yang merayap di sela-sela rutinitas akan menemukan bahasanya dalam halaman-halaman yang masih terbungkus plastik. Seperti bisikan Eka Kurniawan tentang kecemasan yang lahir dari ketidaktahuan, transaksi itu sendiri adalah upaya untuk menjinakkan hantu ketidaktahuan — bukan dengan jawaban, melainkan dengan kemungkinan. Setiap buku yang dipesan adalah janji diam-diam kepada diri: bahwa hasrat untuk tahu tak boleh mati, meski kadang ia harus mengubur diri sementara di bawah tumpukan kewajiban.

     Kebingungan memulai kerap berujung pada kekosongan yang lebih dalam. Tapi di tengah kebimbangan itu, ada kebenaran yang tersembunyi: satu halaman yang dibaca dengan kehadiran penuh seringkali lebih membekas daripada sepuluh bab yang dilahap dengan mata mengantuk. Buku-buku tertentu tidak datang untuk mengajari kita hal baru, melainkan untuk mengungkap apa yang sudah lama bersemayam di dalam, seperti cermin retak yang memantulkan fragmen diri yang enggan kita akui. Seperti sindiran Orwell tentang buku yang menjadi “pengingat akan apa yang sudah kita ketahui”, mereka hadir bukan sebagai guru, melainkan sebagai sahabat yang menepuk pelan pundak kita: “Kau sudah tahu ini, bukan? Kau hanya perlu berani melihatnya.”

     Lalu ada momen ketika hasrat untuk menamatkan buku berubah menjadi beban. Di sini, kita diingatkan oleh Camus tentang pesona yang tak memerlukan kejelasan. Buku-buku tertentu tidak ingin kita selesaikan; mereka hanya ingin duduk di samping kita, seperti teman yang tak menuntut percakapan. Seperti The Fall yang dengan sengaja menolak memberi jawaban, mereka justru membawa kita pada kejujuran yang tak terucap — bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian, dan tidak semua cerita harus berakhir dengan titik. Kehilangan minat di tengah jalan bukanlah kegagalan, melainkan pengakuan bahwa beberapa kisah hanya ingin menjadi bagian dari perjalanan, bukan tujuan.

     Saat sampul yang indah ternyata menyimpan kata-kata yang hambar, kita merasa tertipu. Tapi di balik kekecewaan itu, ada pelajaran dari Wilde tentang seni yang “tak berguna”. Buku-buku semacam ini adalah pengingat yang pahit-manis: bahwa keindahan dan makna tidak selalu sejalan. Mereka berdiri di rak sebagai monumen absurditas, menyindir ambisi kita untuk mengkategorikan segala sesuatu sebagai “berguna” atau “sia-sia”. Mungkin inilah kejujuran tertinggi: mengakui bahwa sebagian buku memang hadir hanya untuk menjadi saksi bisu dari hasrat kita yang tak pernah puas.

     Di tengah banjir rekomendasi dan desakan untuk selalu update, membaca menjadi tindakan melawan arus. Dumas pernah menulis tentang kebijaksanaan yang terletak pada “menunggu dan berharap”, tapi di era yang memuja kecepatan, kedua kata itu terasa seperti kemewahan. Bagaimana menunggu ketika waktu terasa seperti pasir yang selalu lolos dari genggaman? Dan bagaimana berharap ketika saldo tak sejalan dengan wishlist? Di negeri di mana harga buku bisa melampaui upah harian, membeli buku menjadi tindakan filosofis — pernyataan bahwa pengetahuan bukan sekadar kebutuhan, melainkan bentuk perlawanan halus. Seperti bisikan Nietzsche, “Mereka yang punya alasan untuk hidup bisa menanggung hampir semua hal.” Setiap transaksi di tengah keterbatasan adalah bisik-bisik keyakinan: bahwa hidup masih layak dirayakan, meski harus dengan meminjam sedikit keberanian.

     Setelah membaca, ketika kata-kata tak kunjung menjadi kalimat yang bisa diucapkan, kita sering merasa gagal. Tapi Woolf mengingatkan: tidak ada kunci yang bisa membelenggu pikiran. Mungkin kata-kata itu tidak hilang; mereka hanya menunggu saat yang tepat untuk muncul dari kegelapan, seperti benih yang memilih waktunya sendiri untuk bertunas. Membaca, seperti hujan, tak selalu langsung menyuburkan tanah. Sebagian meresap pelan, mengisi retakan-retakan yang tak terlihat, sementara sebagian lagi menguap menjadi awan yang suatu hari akan menjadi hujan lagi.

     Kegelisahan pasca-membaca sering dianggap sebagai gangguan, tapi Dostoevsky melihatnya sebagai tanda “kecerdasan yang besar dan hati yang dalam”. Buku-buku yang baik jarang menjadi obat tidur; mereka lebih sering menjadi alarm yang membangunkan kita dari mati rasa. Kegelisahan itu sendiri adalah bahasa — cara jiwa untuk berteriak bahwa ada sesuatu yang perlu diperhatikan, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata di atas kertas.

     Di ujung semua ini, kita tetap membeli buku yang tak segera dibaca, tetap tersesat di rak-rak yang penuh, dan tetap gelisah. Tapi di balik ritual yang tampak irasional itu, ada logika yang halus. Kafka pernah membayangkan buku sebagai “kapak bagi lautan beku di dalam diri”. Setiap pembelian, setiap halaman yang dibuka, adalah ayunan kapak itu — pelan, tapi konsisten. Satu buku puisi yang membuatmu terdiam sepanjang malam, satu paragraf yang tiba-tiba membuka luka lama, satu kalimat yang menyinari sudut gelap jiwa... Inilah mengapa keresahan itu perlu: ia adalah bukti bahwa lautan beku itu masih ada, dan kapak itu masih berdentang.

     Kita semua adalah pembara yang terus berjalan, dengan tas berisi buku-buku yang mungkin tak akan selesai dibaca. Tapi dalam ketidaktuntasan itu, ada keindahan yang tak terduga: setiap halaman yang terbuka, setiap kata yang diserap, adalah bagian dari ziarah untuk memahami diri yang tak pernah final. Sebab membaca, pada hakikatnya, bukanlah pelarian dari hidup — ia adalah jalan memutar yang panjang untuk pulang ke versi diri yang paling jujur, di mana kegelisahan dan harapan berdansa dalam keheningan yang produktif. Dan di situlah letak paradoksnya: justru dalam ketidaksempurnaan ritual membaca inilah kita menemukan keutuhan yang tak terucapkan.

membaca hakikatnya bukanlah pelarian dari hidup — ia adalah jalan memutar yang panjang untuk pulang ke versi diri yang paling jujur.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.