Di Dalam Sangkar, Di Luar Makna

     Pernah, di masa lalu, kerumunan akan berkumpul hanya untuk menyaksikan seorang lelaki yang tidak makan. Mereka menyebutnya seniman. Ia tidak menyanyi, tidak menari, tidak memainkan alat musik. Ia hanya duduk diam di dalam sangkar kecilnya, menolak makanan, dengan tubuh yang semakin menyusut hari demi hari, tulangnya menonjol seperti rangka biola yang kehilangan senar. Di sekitarnya penjaga berjaga-jaga, agar tak ada kecurangan, agar semua benar-benar percaya bahwa kelaparan ini nyata. Dan orang-orang datang, terpesona oleh penderitaan yang jujur, oleh tubuh yang perlahan-lahan menjauh dari dunia, menuju sesuatu yang belum diberi nama.

     Kisah The Hunger Artist adalah salah satu alegori Kafka yang paling sunyi dan mengguncang. Tidak ada pengadilan, tidak ada kastil, tidak ada labirin birokrasi. Hanya seorang lelaki yang menolak makan. Dan dalam tindakan yang begitu sederhana itulah, terbentang seluruh kesedihan Kafka: tentang seni yang tidak dipahami, tentang penderitaan yang dipertontonkan, tentang tubuh yang menjadi perayaan sekaligus pengkhianatan terhadap jiwa.

     Sang seniman lapar adalah seseorang yang mengubah dirinya menjadi tontonan, tapi bukan karena ia ingin hiburan. Ia mencari makna, ia ingin sesuatu yang murni, tak terkontaminasi oleh kebutuhan sehari-hari. Ia bukan sekadar menghindari makanan—ia menolak dunia yang menyodorkan kenyang sebagai satu-satunya tujuan hidup. Ia menolak kompromi, bahkan dengan dirinya sendiri. Dalam lapar, ia percaya ada kejujuran. Dalam tubuh yang melemah, ia harap ada kebijaksanaan. Tapi dunia terus bergerak. Penonton datang dan pergi. Mode berubah. Kesabaran pun punya masa kadaluwarsa. Suatu hari, sang seniman lapar tidak lagi menjadi atraksi utama. Dunia sirkus menggantikannya dengan hewan buas, singa-singa yang mengaum dengan kekuatan dan vitalitas, bukan tubuh manusia yang merana dalam diam.

     Kafka menulis ini di akhir hidupnya. Tubuhnya sendiri telah digerogoti tuberkulosis. Ia tidak bisa makan tanpa rasa sakit. Kata-kata yang ia tulis menjadi satu-satunya makanan batin, tapi itu pun hanya bisa ia lahap dalam senyap, dalam rasa tidak dimengerti. Dalam seniman lapar, ia meletakkan dirinya sendiri. Bukan dalam tubuh sang seniman saja, tetapi dalam cara dunia memperlakukannya: dengan rasa kagum yang sebentar, lalu dengan kebosanan yang menetap. Sang seniman lapar tidak marah saat dilupakan. Ia hanya semakin tenggelam ke dalam keyakinannya sendiri: bahwa tak ada makanan yang cukup lezat untuk membuatnya ingin hidup seperti orang lain. Bahwa ia lapar karena ia belum pernah menemukan sesuatu yang benar-benar ingin ia makan.

     Betapa getir absurditas yang tenang ini. Kita melihat seorang manusia yang mendedikasikan hidupnya untuk sebuah ideal, sebuah bentuk kesempurnaan, tapi dunia hanya melihatnya sebagai tontonan. Bahkan sang manajer sirkus pun, yang pada akhirnya menemukan jasad si seniman hampir menyatu dengan jerami kandang, tidak benar-benar terkejut. Ia memanggil petugas, menyuruh mengangkut tubuh itu, dan menggantinya dengan anak panter yang kuat dan penuh vitalitas—ikon dari era baru yang tak tertarik lagi pada penderitaan, hanya pada kekuatan, insting, dan gebrakan.

     Dan sebelum mati, sang seniman sempat berbisik, “Aku harus terus lapar… karena aku tidak pernah menemukan makanan yang kusukai.” Ia tidak kelaparan demi pujian. Ia kelaparan karena ia memang tidak menemukan apa pun yang layak disantap dalam hidup ini. Ia, seperti Kafka, merindukan sesuatu yang tidak ada, dan dalam kerinduan itu, ia perlahan-lahan menghilang.

     Barangkali The Hunger Artist adalah kritik paling halus dan paling pilu atas dunia seni modern. Dunia yang menyukai penderitaan bila dikemas dengan eksotisme. Dunia yang merayakan keanehan, tetapi hanya sebentar, sebelum beralih pada hal baru yang lebih menghibur. Sang seniman lapar menjadi simbol seniman yang tak pernah bisa menjelaskan karyanya, karena dunia tidak mau mendengarkan, hanya menonton. Ia menjadi artefak eksentrik, bukan suara yang didengar. Dan ketika tubuhnya lenyap, seni pun ikut lenyap—bukan karena gagal, tetapi karena tidak lagi dilihat.

     Kafka tidak menyalahkan siapa pun. Ia bahkan tidak marah pada dunia. Ia hanya menunjukkan, dengan cara yang tak bisa ditepis, bahwa antara pencipta dan penonton selalu ada jurang. Jurang ini bisa dibentangkan oleh waktu, mode, ekspektasi, atau ketidakmampuan bahasa untuk menyampaikan derita yang terlalu dalam. Dan seperti semua jurang Kafka lainnya, jurang ini tidak diatasi dengan jembatan, hanya dengan kesunyian.

     Mungkin seniman lapar bukan ingin dilihat, tapi dimengerti. Tapi pemahaman bukan barang dagangan. Ia tak bisa dijual di loket tiket. Dunia sirkus memberinya ruang, tapi tidak hati. Dan saat penonton berpaling, ia pun lenyap, bukan dengan gemuruh, tetapi dengan desah kecil yang bahkan tak sempat dicatat.

     Kafka, dengan ironi yang lembut, menyisakan kita dalam kegelisahan: adakah makna dalam penderitaan yang terus berlangsung? Adakah seni yang tidak membutuhkan penonton? Ataukah pada akhirnya kita semua seperti sang seniman lapar—berharap ada sesuatu yang cukup murni, cukup lezat, untuk membuat kita ingin terus hidup di dalam dunia yang tampak terlalu kenyang, terlalu penuh kebisingan?

     Tubuh yang menyusut dalam kandang itu adalah tubuh Kafka sendiri. Tulisan-tulisannya adalah bentuk lapar yang abadi, usaha keras untuk mencapai sesuatu yang mungkin tak pernah ada: pemahaman total, bahasa yang utuh, dunia yang benar-benar mendengar. Dan kita, yang membaca ini, mungkin hanya penonton yang datang dan pergi, terpikat sebentar, lalu bosan. Tapi di satu sudut hati, kita tahu: kelaparan itu nyata. Ia hidup. Ia menggerogoti kita dalam bentuk lain. Dan barangkali, saat kita berhenti menyebutnya seni, kita akhirnya bisa merasakan lapar itu sebagai milik kita juga. (part 5 of 7)


Dalam dunia seni modern yang menyukai penderitaan bila dikemas dengan eksotisme. merayakan keanehan, hanya sebentar, sebelum beralih pada hal baru yan

Label: ,

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.