Dunia yang Tak Pernah Selesai Dijelaskan

Prolog

     Di sebuah kamar sempit di Praha, seorang lelaki bertubuh kurus, berpakaian rapi, duduk di meja tulis dan menatap halaman kosong dengan kecemasan yang tak pernah benar-benar asing. Ia menulis dengan tangan yang gemetar, seolah sedang mencatat dosa-dosa yang tidak pernah diperbuat namun sudah ditetapkan. Namanya Franz Kafka. Ia tidak hidup lama, hanya empat puluh tahun lebih sedikit, namun dunia yang ia torehkan tetap berlangsung dalam waktu yang seperti tak memiliki akhir. Dunia di mana orang ditangkap tanpa tahu kenapa, menjadi serangga tanpa sebab, dan menunggu untuk diterima oleh sebuah kastil yang tak pernah benar-benar ada.

     Kafka tidak menciptakan dunia-dunia ini karena ia gemar fantasi. Ia menulis karena tidak bisa tidak menulis. Dan ia menulis seperti orang yang sedang memohon ampun pada bahasa, memohon agar kalimat-kalimat itu memberinya tempat untuk bersembunyi. Namun kalimat-kalimat itu seperti ikut menuduhnya, seperti suara-suara dari lorong pengadilan dalam The Trial yang tak pernah memberikan kesempatan untuk membela diri.

     Karyanya adalah kisah-kisah yang seolah berjalan di jalur hukum, etika, dan kesadaran, tapi semuanya membelok seperti mimpi buruk yang terlalu logis untuk dibilang mimpi dan terlalu ganjil untuk disebut kenyataan. Dalam Metamorfosis, Gregor Samsa tidak bertanya kenapa ia berubah menjadi serangga—ia hanya gelisah karena terlambat masuk kerja. Dalam The Castle, K. terus mencari akses ke otoritas yang tak pernah mengakuinya, sementara dalam The Trial, Joseph K. hidup dalam proses tuduhan yang bahkan tidak membutuhkan kejahatan.

     Di tengah absurditas ini, Kafka bukan sedang menggambarkan dunia yang aneh, tetapi dunia yang terlalu familiar. Ia tidak bicara tentang fiksi, tapi tentang perasaan sehari-hari: rasa bersalah tanpa alasan, kecemasan tanpa objek, keinginan untuk diterima yang tak tahu oleh siapa. Dunia Kafka adalah dunia modern, hanya saja semua topeng dilepas dan absurditasnya ditampilkan telanjang.

     Ia sendiri hidup seperti tokoh-tokohnya: karyawan yang tekun, anak yang takut pada ayah, kekasih yang ragu, penulis yang malu pada tulisannya sendiri. Ia pernah meminta agar semua naskahnya dibakar setelah ia mati. Untunglah Max Brod mengkhianatinya—pengkhianatan paling mulia dalam sejarah sastra.

     Warisan Kafka menyebar seperti kabut yang meresap ke dalam pemikiran manusia abad ke-20. Albert Camus menyebut dunia Kafka sebagai cermin dari absurditas eksistensial yang tak dapat dijelaskan tapi terus kita jalani. Jean-Paul Sartre, meskipun tidak mengklaim Kafka sebagai eksistensialis, tak bisa menghindari jejak-jejak Kafka dalam pencarian makna di tengah absurditas. Jorge Luis Borges, dengan labirinnya, pernah berkata bahwa Kafka menciptakan pendahulunya—karena begitu besar pengaruhnya, seakan-akan seluruh sejarah sastra hanya menunggu untuk dijelaskan kembali dalam gaya Kafka. Milan Kundera menyebutnya sebagai akar dari sastra Eropa Tengah, tempat di mana sejarah dan identitas menjadi teka-teki yang menyakitkan.

     Dan Samuel Beckett? Dunia Waiting for Godot seolah merupakan anak spiritual Kafka—di mana tokoh-tokoh terus menunggu sesuatu yang tidak datang, namun tetap berdiri dalam absurditas karena tidak ada pilihan lain. Kafka juga menembus dunia hukum, filsafat, dan psikoanalisis: ia dibaca oleh para ahli hukum sebagai representasi paling tajam tentang alienasi hukum modern, oleh para psikoanalis sebagai teks yang penuh dengan represi, mimpi buruk, dan trauma masa kanak-kanak yang membusuk menjadi alegori dewasa.

     Namun barangkali yang paling mengganggu dari Kafka adalah ini: ia tidak menyelesaikan apa-apa. Novelnya terputus. Karakter-karakternya tak pernah mencapai tujuan. Tidak ada jawaban, hanya pertanyaan yang menggema. Tetapi justru karena itu, Kafka menjadi suara yang terus berbicara pada dunia yang juga tak pernah selesai menjelaskan dirinya sendiri. Ia adalah penulis yang tak ingin dimengerti, tapi justru karena itu dipahami oleh begitu banyak orang.

     Franz Kafka tidak menciptakan dunia yang aneh—ia hanya membiarkan kita melihat dunia seperti adanya, tanpa kacamata harapan, tanpa cahaya penebusan. Dunia di mana seseorang bisa dikutuk bahkan sebelum dilahirkan, di mana penderitaan adalah satu-satunya bentuk kejujuran yang tersisa, dan di mana bahasa tidak lagi menyelamatkan, hanya membiarkan kita berdiri, diam, di tengah kekacauan yang terorganisir.

     Dan mungkin itulah sebabnya, di abad yang dipenuhi dengan birokrasi, algoritma, dan kebingungan makna, Kafka justru terasa semakin dekat. Seperti bisikan lembut yang memberitahu kita bahwa tidak apa-apa jika kita tidak mengerti semuanya—karena dunia memang tidak pernah didesain untuk dimengerti. (part 1 of 7)


Franz Kafka tidak menciptakan dunia yang aneh—ia hanya membiarkan kita melihat dunia seperti adanya, tanpa kacamata harapan, tanpa cahaya penebusan.

Label: ,

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.