Di sebuah kedai kopi yang remang, dua sosok bersua dalam obrolan yang seolah melompati ruang dan waktu. Friedrich Nietzsche, dengan tatapan tajam dan kumis melintang, menyeruput kopinya dengan santai. Di hadapannya, Yuval Noah Harari tersenyum tipis, seakan-akan menyadari bahwa ia sedang berbincang dengan arwah dari masa lalu.
"Jadi, kau benar-benar yakin Tuhan sudah mati?" Harari membuka percakapan dengan nada bercanda.
Nietzsche mengangkat bahu. "Sudah lama. Manusia telah membunuhnya dengan sains, rasionalitas, dan nihilisme. Tapi menarik, kau bicara tentang Homo Deus—dewa-dewa baru yang diciptakan oleh manusia sendiri. Apakah ini semacam kebangkitan dari kematian yang kusebutkan?"
Harari terkekeh. "Sebagian besar manusia masih mencari makna, meskipun mereka tak lagi bersandar pada dogma. Dulu, mereka memandang ke langit dan berdoa, kini mereka melihat ke layar ponsel dan bertanya pada algoritma. Tuhan mungkin mati, tapi otoritas tetap hidup, hanya saja sekarang ia berbasis data."
Nietzsche mengangguk pelan, kemudian bersandar ke kursinya. "Kau berbicara seperti seorang nabi teknologi. Jadi, menurutmu, data dan kecerdasan buatan akan menggantikan peran Tuhan?"
"Bukan menggantikan, lebih tepatnya mengubah. Jika dulu manusia bertanya pada pendeta tentang makna hidup, kini mereka bertanya pada Google. Jika dulu mereka mengikuti kitab suci, kini mereka mengikuti rekomendasi algoritma. Dan, ironisnya, mereka lebih taat pada peta Google dibandingkan pada perintah Tuhan."
Nietzsche tertawa keras. "Menarik! Tapi, apakah ini berarti manusia benar-benar bebas, atau justru semakin terkungkung oleh sistem baru? Aku berbicara tentang Ubermensch, manusia yang melampaui dirinya sendiri. Apakah Homo Deus yang kau gambarkan ini benar-benar bebas atau hanya makhluk yang tunduk pada tirani data?"
Harari menghela napas. "Itu dilema kita. Kita menciptakan teknologi, tapi teknologi juga membentuk kita. Kita semakin bergantung pada data, bukan hanya untuk memahami dunia, tetapi juga untuk memahami diri sendiri. Apakah itu kebebasan, atau bentuk perbudakan yang lebih halus?"
Dari sudut ruangan, seseorang yang lain menyela. Stephen Hawking, dengan suara sintetis khasnya, menyatakan, "Pertanyaannya bukan hanya tentang kebebasan, tetapi tentang keberadaan manusia itu sendiri. Jika AI berkembang hingga titik di mana ia lebih pintar dari kita, apakah kita masih relevan?"
Nietzsche dan Harari saling berpandangan. "Jika Tuhan sudah mati, apakah manusia akan menyusul?" tanya Nietzsche.
Harari mengusap dagunya. "Bukan mati, tapi berubah. Evolusi tidak pernah berhenti. Kita telah menjadi Homo Sapiens, dan mungkin, dalam waktu dekat, kita akan menjadi Homo Deus."
"Dan apakah Homo Deus ini masih memiliki kehendak bebas?" tanya Nietzsche dengan sinis.
Hawking menjawab dengan nada netral, "Jika kehendak itu ditentukan oleh algoritma, apakah masih bisa disebut bebas?"
Hening sesaat. Di luar, lampu-lampu kota berkelap-kelip, seakan ikut merenungkan pertanyaan mereka.
"Jadi, apa selanjutnya?" tanya Nietzsche akhirnya.
Harari tersenyum. "Mungkin kita harus bertanya pada AI. Atau mungkin, kita harus mulai belajar bagaimana hidup tanpa ilusi kebebasan yang kita banggakan selama ini."
Nietzsche terkekeh. "Ah, dunia ini memang panggung sandiwara. Jika Tuhan sudah mati, maka manusia adalah aktor yang sedang mencari sutradara baru."
Dan di kedai kopi itu, obrolan mereka terus berlanjut, diiringi aroma kopi yang menguar, sementara dunia di luar terus berputar, mengikuti ritme data, algoritma, dan ilusi kebebasan yang terus berevolusi.
Posting Komentar
...