Bayang-Bayang yang Tak Pernah Hilang

     Ada satu surat yang tak pernah dikirim, namun ditulis dengan seluruh tubuh. Surat itu ditujukan kepada ayahnya, Hermann Kafka—laki-laki besar, pemarah, keras kepala, pemilik toko kelontong dan kepala rumah tangga yang bagi anaknya menjadi semacam Tuhan penuh murka. Surat itu tidak berisi gugatan, tidak juga ratapan. Ia lebih mirip permohonan untuk dipahami, semacam arkeologi batin untuk mengungkap reruntuhan yang tak pernah dibersihkan. Ketika Kafka menulis "Surat kepada Ayah", ia seolah menuliskan fondasi dari seluruh semesta absurditas, alienasi, dan penderitaan yang ia lahirkan dalam fiksinya.

     Dunia Kafka adalah dunia anak yang gagal meraih pelukan, yang takut untuk menatap mata ayahnya, dan yang menganggap dirinya kerdil secara moral, fisik, dan spiritual. Di balik tokoh-tokoh seperti Gregor Samsa, Joseph K., K., bahkan Josefine dan si seniman lapar, ada anak kecil yang merangkak di bawah meja makan, merasa tak layak, tak cukup, dan tak punya suara. Trauma Kafka bukan trauma biasa. Ia adalah luka yang menemukan caranya sendiri untuk bertahan hidup—melalui tulisan, metafora, dan alegori yang menyayat. Ia tidak menjerit; ia berbisik lewat tokoh-tokohnya.

     Gregor Samsa yang menjelma menjadi serangga, sebenarnya adalah tubuh Kafka sendiri yang menjijikkan di mata sang ayah. Seorang anak yang merasa dirinya beban, makhluk yang gagal, tak pantas dicintai. Ketika Gregor disingkirkan, Kafka tidak sedang menulis fabel, tetapi menyusun kembali fragmen ketakutan masa kecilnya: ketakutan akan penolakan, ketakutan akan tubuh yang salah, ketakutan akan tidak menjadi apa-apa.

     Joseph K., yang terbangun dan mendapati dirinya dituduh tanpa tahu kesalahannya, adalah anak yang hidup dalam perasaan bersalah permanen. Kafka, sebagaimana ditulisnya, menganggap ayahnya sebagai hakim tertinggi, penguasa etika dan moral yang tak bisa digugat. Ketika Joseph K. mencoba memahami sistem hukum yang absurd, ia seperti sedang mencoba memahami logika ayahnya—yang baginya tak pernah masuk akal, tetapi tak bisa diabaikan. Dan seperti Joseph K., Kafka tahu ia akan dihukum. Bukan karena ia bersalah, tetapi karena dunia sudah memutuskan bahwa ia tak akan pernah benar.

     Dalam "The Castle", tokoh K. mencoba menembus otoritas yang tak terlihat, mencoba mengakses struktur kekuasaan yang dingin dan tak responsif. Ini bukan hanya tentang birokrasi. Ini tentang seorang anak yang berdiri di depan pintu kamar ayahnya, ingin masuk, ingin dipanggil, tapi tak pernah benar-benar disambut. Kastil itu adalah rumah masa kecil Kafka, penuh hierarki, formalitas, dan keasingan. K. bukan hanya tokoh dalam novel, tapi cerminan Kafka yang dewasa, yang tetap tidak diterima oleh sosok yang paling ingin ia dekati.

     Josefine si penyanyi tikus dan seniman lapar adalah anak-anak terakhir dalam keluarga besar trauma Kafka. Mereka adalah representasi dari sisi Kafka yang ingin menyuarakan penderitaan, ingin diakui, ingin didengar. Josefine merasa nyanyiannya istimewa, meski tak banyak yang percaya. Sang seniman lapar terus berpuasa sebagai seni, meski akhirnya dilupakan. Kedua tokoh ini hidup dalam pencarian makna yang tak terbalas. Seperti Kafka yang menulis sepanjang hidup, dengan harapan diam-diam agar ayahnya suatu hari membaca dan mengerti.

     Namun Kafka tahu, surat itu tidak akan pernah sampai. Ia tahu bahwa ayahnya bukan sosok yang akan membaca metafora. Hermann Kafka hidup dalam dunia konkret: makanan di meja, suara keras di rumah, tangan yang menggenggam dengan keras kepala. Baginya, anak adalah cermin kebanggaan, bukan bayangan kecemasan. Dan Kafka, yang canggung, kurus, sensitif, pendiam, adalah kebalikan dari semua yang diharapkan Hermann.

     Maka surat itu ditulis bukan untuk dikirim, tapi untuk membersihkan cermin yang selama ini menakuti Kafka sendiri. Ia ingin melihat dirinya sendiri, bukan melalui mata sang ayah, tapi lewat matanya sendiri. Dan melalui surat itu, kita melihat betapa dalam luka Kafka. Betapa ia mencintai ayahnya, bahkan saat menuliskan seluruh daftar ketakutannya. Ini bukan kebencian. Ini cinta yang rusak—dan mungkin justru karena itu, semakin menghancurkan.

     Kafka tumbuh dalam ketakutan yang tak pernah selesai. Ia takut gagal, takut tak layak dicintai, takut membuat kesalahan, takut menjadi beban. Dan ketakutan itu menjelma menjadi estetika. Ia menjadikan absurditas sebagai bahasa, dan penderitaan sebagai struktur. Dunia-dunia yang ia ciptakan tidak masuk akal bukan karena Kafka tidak mengerti logika, tapi karena logika yang ia alami sejak kecil adalah logika dominasi, kekerasan verbal, dan penolakan emosional.

     Bayangkan seorang anak yang berkata: "Aku tidak pernah bisa menjadi seperti engkau. Aku tidak ingin menjadi seperti engkau. Tetapi aku juga tidak bisa menjadi diriku sendiri." Di antara dua kutub ini, Kafka menulis. Seluruh hidupnya adalah upaya untuk menyusun satu kalimat utuh yang mampu berdiri di hadapan ayahnya. Tapi seperti tokoh-tokohnya, Kafka tahu ia akan selalu gagal. Dan dari kegagalan itulah muncul keindahan yang getir.

     Dalam surat itu, Kafka menyebut bagaimana ia sering merasa dirinya seperti tidak berhak berbicara. Ayahnya terlalu kuat. Kata-kata ayahnya lebih keras, lebih cepat, lebih penuh keyakinan. Kafka merasa tulisannya kecil, berputar-putar, penuh keraguan. Tapi di situlah kekuatannya. Dalam keraguan itu ada kejujuran. Dalam kelembutan itu ada keberanian. Dan dalam ketidakmampuan untuk membantah, Kafka justru melawan—dengan sunyi, dengan ironi, dengan alegori.

     Surat kepada Ayah bukan akhir dari karya Kafka. Ia adalah pusatnya. Semua tokoh, semua cerita, semua absurditas yang kita baca, hanyalah bayangan-bayangan dari satu konflik utama: anak yang tak pernah bisa menjelaskan dirinya kepada ayahnya. Dunia Kafka adalah dunia yang dibangun dari ketakmampuan berbicara. Dan justru karena tak bisa berbicara, ia menulis.

     Ia menulis bukan untuk menjelaskan, tetapi untuk bertahan. Seperti Gregor yang terus merangkak meski ditendang, seperti Joseph K. yang tetap datang ke pengadilan, seperti K. yang tetap mencari jalan ke kastil, seperti seniman lapar yang tetap berpuasa, seperti Josefine yang terus bernyanyi—Kafka terus menulis. Bukan karena ia berharap dimengerti, tetapi karena ia tidak bisa tidak menulis.

     Dan ketika kita membaca surat itu, kita tidak sedang membaca surat biasa. Kita membaca inti dari sebuah keberadaan. Kita mendengar suara anak yang tak didengar. Kita menyentuh luka yang tak pernah disembuhkan. Dan kita tahu, seperti Kafka tahu, bahwa cinta tidak selalu menyelamatkan. Kadang, cinta hanya memperpanjang penderitaan. Tapi itu tetap cinta.

     Kafka tidak pernah menikah. Ia tidak pernah menjadi ayah. Mungkin karena ia takut mewariskan luka yang sama. Mungkin karena ia tahu, dunia di dalam dirinya terlalu rapuh untuk dibagikan. Tapi melalui surat itu, dan semua cerita yang lahir dari luka itu, Kafka mewariskan sesuatu yang lain: kejujuran yang telanjang, ketakutan yang diakui, dan keindahan yang muncul dari penderitaan paling dalam.

     Esai ini bukan analisis terakhir, bukan simpulan. Ini hanya langkah terakhir dari perjalanan menyusuri ruang-ruang Kafka—ruang yang gelap, sempit, kadang menjijikkan, kadang mengharukan, tetapi selalu jujur. Dan di ruang terakhir itu, kita berdiri di depan meja tulis kecil, di mana seorang anak yang telah menjadi dewasa menulis kepada ayahnya:

     "Aku takut padamu. Bukan karena kau memukulku, tetapi karena kau begitu besar dan aku begitu kecil. Karena suaramu adalah hukum, dan aku tidak pernah tahu bagaimana cara menjawab."

     Surat itu tidak pernah sampai. Tapi mungkin, justru karena tak sampai, ia menjadi abadi. Seperti semua jerit yang ditulis Kafka dalam sunyi. Seperti cinta yang tidak pernah selesai. (part 7 of 7)


Dunia Kafka adalah dunia anak yang gagal meraih pelukan, yang takut untuk menatap mata ayahnya, dan yang menganggap dirinya kerdil secara moral, fisik

Label: ,

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.