Ketika Filsafat Berbenturan dengan Psikologi Purba

     Rasionalisme sejati, kata Popper, bukan soal memburu kebenaran mutlak, tetapi keberanian untuk salah dan kesediaan untuk dikritik. Di sanalah, sebenarnya, terletak keberanian yang tak banyak disadari orang. Dunia begitu gemar memuja kepastian, memahat patung-patung kebenaran, dan menggantungkan doa pada langit yang jarang menjawab. Namun Popper berdiri di jalan lain, menolak sujud pada doktrin-doktrin yang membatu, dan memeluk kegelisahan sebagai teman seperjalanan.

     Kegelisahan ini, tentu, bukan tanpa harga. Sebab pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang lapar akan ketenangan. Dari gua-gua purba sampai katedral megah, dari cerita rakyat sampai kitab suci, manusia terus menenun narasi untuk menenangkan dirinya — narasi yang memayungi ketakutan, yang memberi makna pada bising kehidupan, yang sesekali meninabobokan kesadaran agar tak terlalu rewel bertanya. Dalam bahasa Freud, mungkin ini adalah ilusi yang perlu, obat penenang untuk jiwa yang rapuh.

     Namun Popper, dengan wajah serius dan nada yang kerap disalahpahami sebagai skeptisisme kering, justru mengajak meletakkan obat itu, setidaknya sesekali, dan berani menatap kegelisahan sebagai ladang subur bagi pengetahuan. Rasionalisme kritis lahir bukan dari iman buta pada akal, tetapi dari kesadaran bahwa akal pun harus siap dikoreksi, digugat, bahkan dirobohkan. Dalam dunia Popper, kritik bukan ancaman; kritik adalah vitamin untuk pemikiran.

     Di sinilah benturan itu terjadi. Sebab sementara Popper berbicara untuk ranah realitas objektif — dunia teori, eksperimen, dan pengujian yang bisa diverifikasi — manusia sering kali hidup separuh tubuhnya di dunia subjektif dan intersubjektif, tempat mitos, agama, dan dogma berdiam. Dan di dunia itu, kritik sering kali dianggap dosa, bahkan pengkhianatan.

     Pernah terdengar seorang rohaniwan berkata, “Kita boleh bertanya, tapi jangan meragukan.” Kalimat itu seperti pisau kecil yang membelah dunia Popper dan dunia iman. Sebab bagi Popper, meragukan bukan sekadar boleh, tetapi perlu. Dan di sinilah beberapa pemikir cherry picking yang sering disebut bermain: mereka mengambil logika Popper ketika mendukung mitos mereka, tetapi menolaknya ketika logika itu menggoyang fondasi yang mereka anggap sakral.

     Ada ironi yang mengendap di sini. Rasionalisme kritis, yang dirancang untuk membebaskan pikiran, justru sering disulap menjadi senjata pembenaran. Akal dipakai bukan untuk membuka, tetapi untuk mengunci. Kritik dijinakkan menjadi retorika belaka, bukan keberanian sejati untuk menggugat keyakinan terdalam. Seperti badut yang tersenyum manis di pesta ulang tahun, logika dipaksa berdansa sesuai musik tuannya.

     Dan manusia, yang pada dasarnya adalah homo narrans, pencipta cerita, selalu mencari narasi yang menenangkan. Bahkan ketika sains berkembang pesat, ketika teori-teori dibantah dan diperbaiki, ketika batas-batas realitas dipelintir oleh fisika kuantum, manusia tetap membawa mitos bersamanya. Mungkin ini semacam naluri purba, mungkin ini cara bertahan dari absurditas eksistensi.

     Tetap saja muncul pertanyaan, apakah mungkin ada jalan tengah? Sebuah ruang di mana Popper dan penyair bisa duduk bersama, di mana kritik dan kepercayaan bisa saling berbicara tanpa saling memusnahkan? Di ruang itu, kegelisahan bukan ancaman, tetapi nyanyian. Sebab tanpa kegelisahan, kepercayaan bisa membatu menjadi tirani. Tanpa kepercayaan, kegelisahan bisa runtuh menjadi kekosongan.

     Bayangan melayang pada Dostoevsky, yang menulis bukan untuk memecahkan teka-teki iman, tetapi untuk merayakan ketegangan di dalamnya. Di sana, iman bukan menara gading yang tak tersentuh kritik, tetapi pergulatan yang hidup, penuh luka dan keindahan. Heidegger pun, dengan seluruh labirin bahasanya, berbicara tentang kehadiran yang resah, tentang keberadaan yang tak pernah selesai merumuskan dirinya sendiri. Dan bahkan Nietzsche, sang penghancur ilusi, tak menawarkan padang steril tanpa makna, tetapi ruang kosong tempat manusia mencipta makna baru.

     Dalam cahaya itu, rasionalisme kritis Popper bukan terlihat sebagai palu pemukul, tetapi sebagai obor kecil yang menerangi perjalanan. Bukan untuk menghancurkan semua yang lama, tetapi untuk menolak kelesuan pikiran. Mungkin tugas manusia bukan membunuh mitos, tetapi memastikan bahwa mitos pun bersedia dikritik, direvisi, dan diperbarui. Bahwa di dalam gereja, masjid, atau laboratorium, selalu ada ruang untuk berkata: “Mungkin ini salah.”

     Dan jika akhirnya manusia gagal melakukannya, jika akhirnya mitos lebih sering membungkam daripada mendengarkan, jika akhirnya dogma lebih sering mengunci daripada membuka — maka setidaknya Popper telah memberi satu warisan berharga: kesadaran bahwa keberanian terbesar bukanlah menjadi benar, tetapi bersedia salah demi menemukan yang lebih benar.

     Pada akhirnya, mungkin itulah ketenangan sejati yang tak pernah dibayangkan: ketenangan yang lahir bukan dari kepastian, tetapi dari keterbukaan.

Rasionalisme sejati, kata Popper, bukan soal memburu kebenaran mutlak, tetapi keberanian untuk salah dan kesediaan untuk dikritik.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.