April 8, 202505:43:50 PM

Madilog: Sebuah Narasi Filsafat tentang Pembebasan Pikiran

     Di suatu desa terpencil, di mana kabut mitos menyelimuti bukit-bukit, hidup seorang petani yang mewarisi keyakinan: "Jangan menanam padi di bulan gelap, nasi akan menjadi racun." Ia patuh, meski kelaparan menggerogoti. Ini bukan kisah tentang kemiskinan, tetapi tentang pikiran yang dikurung oleh rantai tak kasatmata — rantai kebodohan yang diwariskan. Tan Malaka, melalui Madilog, menggambarkannya sebagai "tanah yang tak subur": pikiran yang tak bebas adalah lahan gersang tempat benih kebenaran tak akan pernah tumbuh. Di sini, manusia bukan hanya kehilangan panen, tetapi masa depannya. Bagaimana membajak tanah yang membatu? Madilog menjawab: "Berpikir bukan menghafal, tetapi membongkar, mempertanyakan, dan membangun." Bagi petani itu, kebebasan sejati bukan sekadar melepas cangkul dari tangan penguasa, tetapi dari dogma yang membelit otaknya. Seperti api yang menyala di tengah gelap, logika adalah senjata — bukan pajangan di rak buku elit, melainkan pisau yang mengiris ilusi.

     Bayangkan hutan tropis Sumatera, di mana akar-akar mitos menjalar seperti rotan, menjerat setiap langkah. Tan Malaka, sang revolusioner yang hidup dalam pelarian, tahu bahwa di tengah hutan belantara kolonialisme, yang diperlukan bukanlah pedang, melainkan parang logika. "Logika adalah senjata," tulisnya, "yang harus diasah agar tajam." Di tangan pengecut, ia menjadi tumpul; di tangan pemberani, ia membelah kegelapan. Suatu ketika, di sebuah diskusi bawah tanah tahun 1926, seorang pemuda bertanya: "Mengapa kita harus menolak takdir?" Tan Malaka tersenyum, lalu mengajaknya mengamati gerhana. "Mitologi Jawa mengatakan Batara Kala menelan matahari. Tapi ilmuwan Islam abad ke-9 sudah menghitung orbit bulan. Mana yang lebih membebaskan: percaya pada raksasa, atau memahami mekanika langit?" Di sini, logika bukan sekadar teori — ia adalah pemberontakan.

     Mitos, seperti candu, memberi kenyamanan semu. Di lereng Gunung Merapi, seorang shaman berbisik: "Gunung marah karena perempuan berambut panjang mendaki." Madilog tidak mencela kepercayaan, tetapi menawarkan alternatif: "Ilmu adalah jalan keluar." Ketika erupsi 1930 terjadi, bukan mantra yang menyelamatkan, tetapi evakuasi berbasis geologi. Namun, pertarungan antara mitos dan ilmu tak pernah sederhana. Di tubuh seorang ibu yang memilih dukun daripada dokter, terkandung dialektika pahit: warisan budaya vs bukti empiris. Tan Malaka tidak merendahkan tradisi, tetapi mengajak kita bertanya: "Apa gunanya memeluk pusaka jika kita terperosok dalam lubang yang sama?"

     Banyak yang menyangka revolusi dimulai di jalanan Jakarta, Oktober 1945. Tapi bagi Tan Malaka, pertempuran sesungguhnya terjadi jauh sebelumnya — di ruang sempit sel tahanan, di mana seorang tahanan politik melawan ketakutan dengan merenungkan dialektika Hegel. "Revolusi sejati dimulai dari kepala," katanya. Di sana, di antara neuron dan sinapsis, kebiasaan tunduk dikuburkan, digantikan keberanian untuk bertanya: "Mengapa feodalisme harus abadi? Mengapa kita takut pada perbedaan pendapat?" Seperti kisah Sutan Sjahrir, yang di pengasingan Banda Neira justru menulis "Renungan Indonesia Merdeka". Sebelum merdeka secara politik, ia telah membebaskan pikirannya dari mentalitas inlander.

     Ada prasangka bahwa filsafat adalah permainan kaum berpendidikan. Tapi di pasar Senen, seorang tukang becak bernama Karno membuktikan sebaliknya. Setelah membaca Madilog edisi ilegal, ia tak lagi menerima begitu saja kabar "harga sembako naik karena kutukan leluhur". Dengan kertas coret-coretan, ia menghitung inflasi, lalu menyadari: "Ini bukan mistik, ini permainan kartel!" Madilog adalah bahasa universal. Ia tak memandang ijazah, karena — seperti kata Tan Malaka — "kebenaran tak butuh diploma." Bahkan seorang nenek di pelosok Flores, yang bertanya "Mengapa kami miskin?" dan mulai menganalisis struktur kepemilikan tanah, telah menjadi ahli dialektika tanpa gelar.

     Dunia bukan panggung wayang yang digerakkan dalang gaib. Madilog menawarkan tiga lensa: materialisme, dialektika, dan logika. 
Materialisme: Batu bata kapitalisme kolonial bisa dipetakan — dari perkebunan tembakau Deli hingga upah buruh yang tak manusiawi.
Dialektika: Pertentangan antara feodalisme dan modernitas melahirkan sintesis: kemerdekaan.
Logika: Jika A = B, dan B = C, maka penjajahan yang mengatasnamakan pembangunan adalah dusta.

Ketiganya adalah kompas di samudra kabut. Seperti kisah Tan Malaka di Filipina, saat ia menggunakan prinsip materialisme historis untuk memprediksi kebangkitan Asia.

     Di sebuah ruang kelas di Yogyakarta, seorang guru muda membuka diskusi: "Apa arti kemerdekaan?" Seorang siswa menjawab: "Bebas dari penjajah." Guru itu tersenyum, lalu mengutip Madilog: "Kemerdekaan tanpa logika adalah ilusi. Sebelum merdeka di jalanan, kita harus merdeka di sini —" ia menunjuk kepalanya. Seperti petani yang akhirnya menanam padi di bulan gelap — dan menemukan bahwa nasi itu tak beracun, melainkan mengenyangkan — Madilog mengajak kita untuk berani membongkar, mempertanyakan, dan menciptakan kebenaran yang hidup. Sebab, hanya di tanah pikiran yang suburlah benih revolusi akan bertunas.

     "Dan akhirnya, apakah kita siap menjadi tukang kebun bagi pikiran kita sendiri?" — pertanyaan retoris yang, mengajak kita semua untuk mengambil cangkul, dan mulai menggali.

Madilog mengajak kita untuk berani membongkar, mempertanyakan, dan menciptakan kebenaran yang hidup.

Posting Komentar

Posting Komentar

...

Emoticon
:) :)) ;(( :-) =)) ;( ;-( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.