Tabrakan Tiga Realitas Dalam Narasi Manusia

     Jika esai sebelumnya mengurai ketegangan antara rasionalisme kritis Popper dan naluri manusia akan mitos, maka persoalan yang kini mengemuka lebih paradoks: bagaimana pemikiran Popper justru dijadikan alat untuk membenarkan apa yang sebenarnya ingin ia lawan—dogma, mitos, dan klaim kebenaran yang kebal kritik? Fenomena ini bukan sekadar kesalahpahaman, melainkan gejala dari ketidakmampuan manusia untuk sepenuhnya hidup dalam ketidaknyamanan yang diusung Popper. Di sini, rasionalisme kritis direduksi menjadi senjata retorika, sementara inti revolusionernya—keterbukaan terhadap falsifikasi—ditinggalkan.

     Pemikiran Popper sering kali diambil secara selektif (cherry-picked) oleh para pembela keyakinan subjektif atau intersubjektif. Mereka mengutip prinsip falsifikasi untuk menyerang teori saingan, tetapi menolak menerapkannya pada sistem kepercayaan sendiri. Agama yang dianggap "tak terbantahkan", mitos politik yang diklaim "final", atau ideologi yang diposisikan di luar kritik—semuanya dibungkus dengan jargon rasionalisme kritis, meski secara esensial bertentangan dengan semangat Popper. Ironisnya, justru di tangan para penggemarnya, filsafat Popper kehilangan kekuatan subversifnya.

     Popper sendiri akan menolak keras praktik ini. Baginya, tak ada wilayah pemikiran—bahkan agama atau etika—yang boleh kebal dari pengujian. Namun, masalahnya lebih rumit: bagaimana menerapkan logika falsifikasi pada ranah yang secara prinsip tidak dirancang untuk diuji secara empiris? Di sinilah pentingnya membedakan tiga lapisan realitas—objektif, subjektif, dan intersubjektif—seperti diurai Yuval Noah Harari.

     Realitas objektif, sebagaimana dipahami Popper, adalah domain sains: fakta empiris, hukum alam, dan teori yang terbuka untuk dikritik. Namun, manusia hidup tidak hanya di sana. Di ranah subjektif—seperti pengalaman spiritual, cinta, atau trauma—kebenaran diukur melalui makna personal, bukan falsifikasi. Sementara di realitas intersubjektif—seperti agama, uang, atau identitas nasional—kebenaran dibangun melalui konsensus kolektif, narasi bersama, dan daya ikat sosial.

     Memaksakan logika Popperian ke ranah subjektif atau intersubjektif ibarat menggunakan termometer untuk mengukur keindahan puisi. Sebaliknya, mengabaikan batas-batas ini—seperti mengklaim mitos sebagai "kebenaran ilmiah"—berarti mengkhianati prinsip rasionalisme kritis. Ketika seorang fundamentalis agama menggunakan Popper untuk menyerang teori evolusi sambil menempatkan kitab sucinya di luar kritik, ia tidak hanya melakukan kekeliruan epistemik, tetapi juga merusak integritas kedua ranah: sains kehilangan obyektivitasnya, sementara agama direduksi menjadi parodi pseudosains.

     Paul Feyerabend, dalam Against Method, menawarkan perspektif yang mengguncang. Dengan provokatif, ia menyatakan bahwa dogma, takhayul, atau bahkan mitos kadang diperlukan untuk kemajuan sains. Contohnya, keyakinan Copernicus pada harmoni matematis alam semesta—yang bersifat hampir mistis—justru memicu revolusi heliosentris. Bagi Feyerabend, sains terlalu sering diromantisasi sebagai proses rasional murni, padahal dalam praktiknya, ia sering lahir dari intuisi, imajinasi, atau keyakinan yang tak teruji.

     Pandangan ini bukan pembenaran untuk irasionalitas, melainkan pengakuan bahwa pengetahuan manusia tumbuh dalam tanah yang subur oleh interaksi kompleks antara rasionalitas dan mitos. Di ranah intersubjektif, mitos berfungsi sebagai perekat sosial: uang, misalnya, hanya bernilai karena kita bersama-sama mempercayainya. Namun, ketika mitos itu dipaksakan ke ranah objektif—seperti mengklaim uang sebagai hukum alam—kita terjatuh ke dalam absurditas.

     Tantangan terbesar adalah merawat batas antarrealitas tanpa menjadikannya tembok yang tak tertembus. Di satu sisi, ranah objektif harus dijaga dari invasi dogma subjektif atau intersubjektif (misalnya, penolakan vaksin berbasis mitos). Di sisi lain, ranah subjektif dan intersubjektif perlu dihormati sebagai ruang di mana makna diciptakan, meski tidak selalu rasional. Habermas, dengan teori tindakan komunikatifnya, menawarkan kerangka: kebenaran objektif diuji melalui logika, sementara klaim subjektif dan intersubjektif dinegosiasikan melalui dialog yang setara.

     Namun, solusi ini tidak sepenuhnya menjawab kegelisahan awal. Bagaimana jika mitos intersubjektif—seperti nasionalisme ekstrem—mulai mengancam ranah objektif (misalnya, menyangkal fakta sejarah)? Di sinilah etos Popperian kembali relevan: masyarakat harus mampu mengkritik narasi kolektif yang berubah menjadi dogma, tanpa merampas hak individu untuk mempercayainya.

     Apakah sintesis antara rasionalitas Popperian dan kebutuhan akan mitos mungkin tercipta? Jawabannya mungkin terletak pada kemampuan manusia untuk hidup dalam ambiguitas. Mitos bisa dihidupi bukan sebagai kebenaran absolut, tetapi sebagai metafora yang memperkaya imajinasi—seperti cara Einstein memandang agama sebagai "puisi eksistensial". Sains, di sisi lain, harus tetap terbuka untuk mengakui batas-batasnya: tidak semua pertanyaan manusia—tentang cinta, kematian, atau makna—dapat dijawab melalui metode empiris.

     Popper mungkin tidak memberikan alat untuk ini, tetapi filsafatnya mengajarkan satu hal penting: keberanian untuk tidak tahu. Dalam ketegangan antara rasionalitas dan mitos, jawaban final mungkin tidak perlu ada—karena justru dalam ruang ketidakpastian itulah kebebasan manusia yang sejati bersemi. Seperti kata Feyerabend, "Hidup terlalu berharga untuk dikurung dalam satu metode." Mungkin, di situlah letak jembatan yang selama ini kita cari: pengakuan bahwa kebenaran memiliki banyak wajah, dan tugas kita adalah merawatnya tanpa kehilangan kewaspadaan kritis. (part-2 dari 4)


     Esai ini, seperti pendahulunya, tidak menutup dengan jawaban, melainkan undangan untuk terus bertanya—sesuai semangat Popper sendiri. Sebab, dalam dunia yang kompleks, pertanyaan yang baik sering kali lebih bermakna daripada jawaban yang prematur.

Memaksakan logika Popperian ke ranah subjektif atau intersubjektif ibarat menggunakan termometer untuk mengukur keindahan puisi.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.