Dialektika Pengetahuan dan Kecemasan Manusia

     Di jantung filsafat Karl Popper tersembunyi sebuah paradoks yang menggelisahkan: bagaimana rasionalisme kritis, yang menolak kepastian mutlak dan mengajak manusia hidup dalam ketidaknyamanan intelektual, berhadapan dengan naluri psikologis manusia yang justru mendambakan stabilitas dan keamanan eksistensial? Pertanyaan ini bukan sekadar perdebatan epistemologis, melainkan konflik abadi antara hasrat manusia untuk bebas berpikir dan kebutuhan primitifnya akan pegangan makna.

     Rasionalisme kritis Popper, sebagai sebuah sikap hidup, mengusung prinsip bahwa pengetahuan bersifat sementara, terbuka untuk dikritik, dan selalu berpotensi salah. Masyarakat terbuka yang ia gagas bukan hanya sistem politik, melainkan cerminan etos intelektual yang menolak dogma. Di sini, kebenaran tidak pernah mencapai finalitas; ia adalah proses tanpa akhir yang dirajut melalui uji falsifikasi. Namun, di balik keindahan konsep ini tersimpan tuntutan yang berat: manusia diminta untuk bertahan dalam ketidakpastian, merangkul keraguan sebagai teman, dan melepaskan diri dari kenyamanan keyakinan absolut.

     Di sisi lain, psikologi manusia—seperti diungkap Ernest Becker dalam The Denial of Death—menunjukkan bahwa makhluk sadar akan kematian ini selalu mencari mekanisme untuk meredam kecemasan eksistensialnya. Mitos, agama, ideologi, atau bahkan sains yang diabsolutkan sering kali menjadi “jaring pengaman” yang menenangkan. Manusia, dalam upaya menghindari kegelapan ketidaktahuan, menciptakan narasi-narasi yang memberi ilusi kontrol atas realitas. Di sinilah kontradiksi muncul: Popper mengajak manusia untuk tinggal di tengah badai skeptisisme, sementara naluri mereka mendorong pencarian pelabuhan yang tenang.

     Ketegangan ini bukanlah sekadar pertentangan konseptual. Dalam The Open Society and Its Enemies, Popper memperingatkan bahwa godaan untuk kembali pada dogma—entah berbentuk nasionalisme ekstrem, fundamentalisme agama, atau klaim sains yang tak terbantahkan—selalu mengintai sebagai respons terhadap ketidaknyamanan kebebasan. Masyarakat terbuka, dengan segala kerentanannya, harus terus-menerus melawan gravitasi psikologis yang menarik manusia kembali ke pangkuan kepastian. Persis di titik inilah filsafat Popper bersinggungan dengan tragedi eksistensial: kebebasan berpikir ternyata memerlukan pengorbanan psikis yang tidak semua orang sanggup menanggungnya.

     Filsuf seperti Nietzsche mungkin akan menyambut kegelisahan ini sebagai bagian dari keagungan manusia. Bagi Nietzsche, keberanian untuk hidup tanpa ilusi adalah bentuk sublimasi yang melahirkan seni, nilai-nilai baru, atau kehendak untuk berkuasa. Namun, Popper tidak romantis dalam menyikapi hal ini. Ia tidak menuntut manusia menjadi pahlawan tragis, melainkan sekadar warga yang bersedia menguji keyakinannya sendiri. Perbedaan ini mengungkap keunikan rasionalisme kritis: ia tidak menawarkan kemuliaan heroik, melainkan kerendahan hati intelektual yang praktis.

     Namun, kritik terhadap Popper datang dari sudut pandang antropologis. Pemikir seperti Mircea Eliade atau Joseph Campbell mengingatkan bahwa mitos bukan sekadar pelarian, melainkan bahasa universal untuk menstrukturkan pengalaman manusia. Ritual, simbol, dan narasi mitologis membantu individu menemukan tempat dalam kosmos, membangun identitas kolektif, dan mengubah chaos menjadi kosmos. Dari perspektif ini, rasionalisme kritis bisa terasa “miskin” karena mengabaikan dimensi simbolis yang justru menjadi fondasi kebudayaan. Manusia, pada hakikatnya, adalah homo symbolicus yang membutuhkan lebih dari sekadar hipotesis yang bisa difalsifikasi.

     Ironi yang tak terhindarkan muncul di sini: upaya Popper untuk membebaskan manusia dari belenggu dogma justru memisahkan mereka dari salah satu sumber makna paling purba. Rasionalisme kritis, dalam kemurniannya, mungkin terlalu dingin untuk memenuhi kebutuhan emosional akan keterikatan dan kepemilikan. Inilah dilema yang sering dihadapi para pemikir Pencerahan: bagaimana merangkul akal tanpa mengorbankan jiwa?

     Namun, justru dalam paradoks inilah letak relevansi abadi gagasan Popper. Dengan menolak memberikan jawaban final, ia memaksa manusia untuk terus bergerak, berevolusi, dan merangkul kerapuhan pengetahuan sebagai kekuatan. Masyarakat terbuka yang ia impikan bukanlah utopia yang statis, melainkan arena dinamis tempat pertarungan ide terjadi tanpa henti. Kegelisahan yang ia usung bukanlah kutukan, melainkan konsekuensi logis dari kebebasan.

     Pertanyaan yang tersisa adalah: bisakah manusia merancang sintesis baru yang memadukan semangat kritis Popper dengan kebutuhan akan mitos tanpa jatuh ke dalam irasionalitas? Mungkinkah mitos dihidupi bukan sebagai kebenaran absolut, melainkan sebagai metafora yang memperkaya imajinasi kolektif? Ataukah ketegangan antara rasionalitas dan mitos akan tetap menjadi dialektika yang tak terpecahkan—sebuah permainan abadi antara akal dan jiwa? (part-1 dari 4)


     Esai ini hanyalah pembuka untuk menjelajahi labirin pertanyaan tersebut. Jawabannya, seperti segala hal dalam semangat Popper, mungkin harus tetap terbuka—sebuah hipotesis yang menunggu untuk diuji, dikritik, dan direvisi tanpa akhir.

Mungkinkah mitos dihidupi bukan sebagai kebenaran absolut, melainkan sebagai metafora yang memperkaya imajinasi kolektif?

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.