Evolusi Narasi Manusia di Tepi Hiperrealitas

     Di balik perdebatan tentang rasionalitas, mitos, dan batas-batas realitas, tersembunyi sebuah kenyataan yang lebih mendasar: manusia adalah makhluk yang tak pernah berhenti bercerita. Sejak duduk di sekitar api unggun purba hingga berpacu di ruang digital, sapiens terus merajut narasi—tentang dewa, sains, cinta, atau algoritma—sebagai cara untuk mengubah chaos menjadi kosmos. Dalam keriuhan inilah absurditas menemukan perannya yang paradoks: ia adalah jurang yang menganga, sekaligus panggung tempat manusia menari dengan kata-kata.

     Rasionalisme kritis Popper, dengan segala keteguhannya pada falsifikasi, pada akhirnya hanyalah salah satu episode dari epik besar penceritaan manusia. Bahkan ketika ilmuwan menguji hipotesis atau mematahkan teori, mereka sedang menulis bab baru dalam kisah kolektif tentang pencarian kebenaran. Namun, seperti diingatkan Yuval Noah Harari, narasi sains—yang mulanya lahir dari kerendahan hati intelektual—bisa menjelma menjadi mitos baru jika diabsolutkan. Di sini, absurditas bukan musuh yang harus ditaklukkan, melainkan ruang bernapas yang memungkinkan percakapan terus hidup. Albert Camus, dengan pandangannya tentang pemberontakan eksistensial, mungkin akan tersenyum melihat ironi ini: manusia tahu bahwa semesta acuh, tetapi tetap merajut makna seolah-olah langit mendengarkan.

     Popper sendiri, tanpa disadari, telah menjadi tokoh dalam drama absurd ini. Meski berusaha membebaskan manusia dari belenggu dogma, pemikirannya direkayasa menjadi alat pembenar mitos-mitos baru. Ia yang mengajarkan bahwa tak ada kebenaran final justru dijadikan ikon kebenaran oleh para pengikutnya. Dalam ranah intersubjektif, Popper berubah menjadi “mitos kecil”—simbol rasionalitas yang dikultuskan, meski esensi filsafatnya menolak pengkultusan. Ini bukan kegagalan Popper, melainkan bukti bahwa hasrat manusia untuk bercerita lebih kuat daripada logika mana pun.

     Di tengah tarik-menarik antara rasionalitas dan mitos, absurditas muncul sebagai medan netral tempat manusia bernegosiasi. Camus menyarankan untuk memberontak dengan cara menjalani absurditas itu sendiri: terus bertindak, terus bercakap, meski tahu bahwa batu Sisifus akan menggelinding turun lagi. Tapi bagaimana jika batu itu bukan lagi beban, melainkan bahan mentah? Bayangkan Sisifus berhenti mendorong, lalu mulai memahat batu itu menjadi patung. Di sini, absurditas tidak lenyap, tetapi berubah menjadi kanvas. Tindakan memberontak ala Camus berevolusi menjadi tindakan mencipta—sebuah sublimasi yang mengingatkan pada Nietzsche dan konsep Übermensch-nya. Bagi Nietzsche, manusia harus melampaui nihilisme dengan menjadi pencipta nilai, bukan sekadar penerima takdir.

     Lalu, bagaimana dengan “realitas keempat” yang disebut-sebut sebagai masa depan narasi manusia? Jika realitas objektif, subjektif, dan intersubjektif adalah panggung yang ada, realitas keempat mungkin adalah teater di mana batas-batas itu cair. Di sana, fakta dan fiksi tidak saling membunuh, tetapi berdansa; sains dan mitos tidak bertarung, tetapi saling menginspirasi. Realitas ini bisa lahir dari ledakan teknologi yang mengaburkan garis antara fisik dan digital, atau dari revolusi kesadaran yang memadukan intuisi primitif dengan kecerdasan buatan. Tapi yang lebih mungkin, ia akan muncul dari lompatan batin manusia—sebuah kesadaran kolektif bahwa kebenaran bukanlah medan perang, melainkan taman yang bisa ditata ulang.

     Nietzsche dan Popper, meski bertolak belakang, sama-sama menawarkan kunci untuk taman ini. Popper mengajarkan keberanian untuk meragukan, sementara Nietzsche mendorong keberanian untuk mencipta. Di realitas keempat, kedua keberanian ini mungkin bersatu: meragukan narasi lama sambil mencipta narasi baru, tanpa pretensi finalitas. Teknologi seperti kecerdasan buatan atau realitas virtual bisa menjadi alat, tetapi api transformasinya tetap terletak pada imajinasi manusia—spesies yang, sejak zaman gua, telah membuktikan bahwa ia adalah ahli sulap yang bisa mengubah dongeng menjadi senjata, dan senjata menjadi puisi.

     Di ujung refleksi ini, pertanyaan tentang asal-usul realitas keempat tetap terbuka. Apakah ia akan lahir dari terobosan sains yang menghancurkan batas materi, atau dari kebangkitan spiritual yang melarutkan ego kolektif? Jawabannya mungkin tidak penting. Yang lebih hakiki adalah proses itu sendiri: selama manusia masih bisa tertawa pada absurditas, masih bisa berdebat tentang Popper di kedai kopi, atau masih memandang batu Sisifus sebagai bahan ukiran—narasi akan terus bergulir. (part-3 dari 4)


     Esai ketiga ini, seperti dua pendahulunya, tidak berpretensi menutup percakapan. Ia hanya sebuah titik dalam kalimat panjang yang ditulis oleh sapiens—spesies yang, entah sampai kapan, akan tetap menjadi pencerita ulung sekaligus pendengar yang gelisah. Realitas keempat, jika suatu hari nanti lahir, mungkin hanya akan menjadi babak baru dalam drama abadi ini: tempat manusia kembali bertanya, “Apa berikutnya?” sambil tersenyum pada absurditas yang tak pernah usai.

Meski Popper berusaha membebaskan manusia dari belenggu dogma, pemikirannya direkayasa menjadi alat pembenar mitos-mitos baru.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.