Di suatu senja yang kelam, di persimpangan jalan di mana debu-debu pengetahuan berputar dalam tarian abadi, manusia berdiri dengan lilin-lilin keraguannya. Di sini, di tanah retak yang dipenuhi jejak kaki para pencari, pertanyaan "Siapakah Tuhan?" menggema bukan sebagai teka-teki yang hendak dipecahkan, melainkan sebagai mantra yang mengundang kita untuk tersesat dalam labirin makna. Di sudut-sudut persimpangan itu, patung-patung pemikiran berbisik: yang satu berwajah manusiawi penuh senyum pengasih, yang lain berupa kabut metafisika yang tak berbentuk, dan yang ketiga menari-nari dalam api cinta mistis.
Mari kita mulai dengan Tuhan yang paling akrab: Sang Pematung Langit yang duduk di singgasana awan, mengukir takdir dengan jari-jari cahaya. Inilah Tuhan yang mengizinkan manusia—makhluk yang baru kemarin sore belajar menulis—untuk menjahitkan jubah kebesaran-Nya dari benang-benang kemanusiaan mereka sendiri. "Antropomorfisme," bisik para teolog sambil menyusun kamus sifat-sifat ilahi: Maha Pengasih, Maha Mendengar, Maha... (di sini mereka berhenti, karena kata-kata tiba-tiba menjadi terlalu manusiawi untuk melanjutkan).
Tuhan model ini adalah mahakarya proyeksi psikologis manusia: seorang penulis skenario kosmis yang merancang penderitaan sebagai "ujian", bencana sebagai "hikmah", dan keberhasilan sebagai "berkah". Ia mudah dipuja, mudah dimarahi, dan—yang paling penting—mudah diperdebatkan di mimbar-mimbar keagamaan. Tapi di balik kemudahan itu tersembunyi paradoks: bagaimana mungkin Yang Tak Terbatas dikurung dalam kamus kata sifat yang diciptakan oleh makhluk terbatas? Di sini, para teolog tersenyum kecut, lalu bergegas menambahkan: "Tentu saja, sifat-sifat-Nya 'tidak sama' dengan manusia!"—sebuah klausul penyelamat yang justru mengukuhkan bahwa kita sedang bermain sandiwara bahasa.
Namun, di sudut lain persimpangan, para filsuf duduk bersila di atas batu-batu logika, menatap kosong ke langit sambil mencoba merangkai Tuhan dari asap metafisika. Al-Farabi, Ibn Sina, dan kawan-kawan telah menggadaikan imaji-imaji indah tentang Tuhan yang personal, menggantinya dengan "Sebab Pertama" yang dingin dan tak bernyawa—seperti mesin jam raksasa yang sekali diputar, lalu membiarkan alam semesta berdetak sendiri. Tuhan model ini adalah teka-teki yang sengaja dibuat tak terpecahkan. "Jika kau bisa memahaminya," kata mereka sambil tersenyum penuh superioritas intelektual, "maka itu bukan Tuhan."
Ironisnya, konsep ini justru menjadi surga bagi para ilmuwan. Newton dan Einstein—dua pendeta sains modern—bersujud pada "Tuhan para filsuf", yang tak perlu campur tangan dalam urusan fisika kuantum atau relativitas. Tuhan model ini adalah tuan tanah kosmis yang menandatangani kontrak alam semesta di awal waktu, lalu pergi berlibur ke dimensi lain—persis seperti dewa-dewa mitologi Yunani yang bosan dengan manusia. Tapi di balik keagungan konsep ini tersembunyi lelucon kosmik: jika Tuhan benar-benar tak terpahami, mengapa kita menghabiskan ribuan halaman buku untuk membahasnya? Para filsuf menjawab dengan metafora laut: "Kau tak perlu minum seluruh samudra untuk mengetahui rasanya asin." Tapi mungkin mereka lupa: manusia bukanlah ikan yang bisa hidup dalam air garam metafisika tanpa kehausan akan makna yang personal.
Sementara itu, di pojok paling sunyi persimpangan, para sufi berputar-putar seperti gasing yang mabuk cinta. Bagi mereka, Tuhan bukanlah patung atau kabut, melainkan kekasih yang merajut diri-Nya dalam setiap helai daun, desir angin, bahkan dalam nafas manusia yang terengah-engah mencari. Ibn Arabi dan Rumi menertawakan perdebatan teologis sambil bersenandung: "Mengapa ribut tentang 'di mana' Tuhan? Dia ada di sini, di cawan anggur ini, di debu yang menempel di jubahmu!"
Inilah Tuhan yang paling subversif: bukan penguasa yang duduk di singgasana, bukan pula prinsip abstrak, melainkan cinta yang membara di dalam tungku eksistensi. Tapi cobalah bertanya pada sufi: "Jika segalanya adalah Tuhan, lalu di mana ruang untuk kejahatan?" Mereka akan tersenyum sambil mengutip syair: "Kegelapan hanyalah bayangan dari cahaya-Nya yang terlalu terang." Jawaban yang memuaskan hati tapi membuat logika mengernyit—persis seperti puisi-puisi Rumi yang indah namun menolak untuk diotopsi oleh akal.
Lihatlah ironi yang menggelitik: para teolog yang marah ketika Sufi menyebut "Tuhan ada di mana-mana", padahal mereka sendiri bersikeras bahwa Tuhan "Maha Hadir". Ilmuwan yang bersemangat mengadopsi Tuhan para filsuf, lalu—dalam generasi berikutnya—menggunakan konsep yang sama untuk menyatakan kematian Tuhan. Ateis modern yang menyombongkan diri telah "melampaui dongeng", tapi lupa bahwa "Tuhan" yang mereka tolak hanyalah karikatur buatan abad pertengahan.
Dan di tengah semua keriuhan ini, Tuhan—entah yang mana—seperti penonton teater yang tersenyum melihat aktor-aktor manusia berebut memainkan peran-Nya. Para teolog memahat patung-Nya, filsuf mengaburkan-Nya dalam konsep, Sufi menari dengan-Nya, sementara ilmuwan sibuk membuktikan bahwa panggung teater ini bisa berjalan tanpa sutradara. Tapi mungkin itu semua bagian dari lelucon ilahi: menciptakan makhluk yang cerewet, lalu memberinya kebebasan untuk meributkan diri-Nya dalam tiga—atau tiga ribu—wajah yang berbeda.
Pada akhirnya, ketiga wajah ini mungkin hanyalah cermin retak yang memantulkan cahaya tunggal. Setiap zaman, setiap budaya, setiap manusia menjilid Tuhan dalam sampul pemahamannya sendiri—seperti anak kecil yang menggambar matahari dengan krayon, meski tahu sang surya tak mungkin terkurung dalam kertas. Tapi di situlah keindahannya: dalam ketidakmampuan kita untuk menangkap-Nya, justru kita terdorong untuk terus berjalan. Seperti pelaut yang tahu laut tak akan pernah sepenuhnya dipetakan, tapi tetap berlayar karena di situlah makna hidupnya. Atau seperti Sufi yang terus menari meski tahu tariannya takkan pernah menyentuh sang Kekasih—karena dalam putaran itulah ia menemukan dirinya hilang dan ditemukan kembali.
Maka di persimpangan itu, di mana debu-debu pengetahuan masih berputar, manusia mungkin perlu belajar tertawa pada dirinya sendiri. Bukan menertawakan pencariannya, tapi pada kesombongan yang mengira satu jawaban cukup untuk mengejar yang Tak Terjawab. Sebab Tuhan—entah yang mana—barangkali lebih mirip pertanyaan itu sendiri: sebuah misteri yang tetap hidup justru karena kita tak pernah berhenti bertanya, merenung, dan kadang tersandung dalam keindahan ketidaktahuan yang abadi.
Posting Komentar
...