Batu Imam Bonjol

     Waktu baru saja bergeser meninggalkan ashar ketika kami tiba di pelataran depan makam. Bentuk yang khas Sumatera Barat, menjadi unik sendiri di tengah negeri nyiur melambai ini. Bangunan yang menaungi makam Imam Bonjol nampak asri ketika memasuki halaman depannya. Taman yang teratur rapi terasa sejuk sehingga mengimbangi gerahnya kota Manado.
     Makam yang sebenarnya tidak terletak di pusat kota, tetapi di jalur tepi ring road menuju kota Tomohon. Jalan yang lengang menuju makam, di kiri kanan masih bersemak belukar seperti tepi hutan. Ah, langsung terbayang bagaimana sepinya suasana di tahun-tahun pengasingan sang Imam dulu. Di saat sekarang saja, suasana sekitar makam masih begitu sepi.
Makam Imam Bonjol
lukisan di dinding bangunan yang menaungi makam Imam Bonjol
     Sejenak menyalami yang empunya makam, selanjutnya saya melanjutkan ke arah belakang bangunan. Di sana ada jalan kecil menuju kali di bawah sana. Kali yang di tepinya ada sebongkah batu yang konon adalah batu tempat Imam Bonjol melakukan ritual shalatnya sehari-hari.
     Gemuruh air sungai terdengar indah mengiringi belaian sepoi yang menyelusup di sela-sela pohon bambu di sepanjang jalan kecil yang telah dibentuk menjadi anak tangga. Dari atas, nampak ada kubah kecil berwarna perak mengkilat di tepi sungai sana. Saya mempercepat langkah, setengah berlari karena tidak sabar ingin segera tiba.
     di dalam bangunan sederhana itu, terletak batu yang menjadi tempat Imam Bonjol melakukan shalat sehari-hari
celah kecil berupa mata air di samping batu itu, untuk berwudhu sebelum shalat
     Luar biasa sekali rasanya berkesempatan bersujud di atas batu itu. Saya merasakan kekuatan auranya yang menenangkan suasana hati dan pikiran. Khusyuk tentu saja karenanya. Sungguh rasa yang saya rasakan menggelitik kerinduan untuk kembali dan kembali bersujud di atas batu itu.
     Di pintu makam, saya sempat bertemu dengan seseorang, Ibu Salindri. Beliau berceritera tentang Imam Bonjol dan seorang pengikutnya bernama Apolos, satu-satunya orang yang mengikuti sang Imam di tanah pengasingan. Apolos kemudian menikah dengan seorang putri Minahasa bernama Katrintje. Sedangkan Imam Bonjol sendiri tidak menikah di tanah Minahasa ini hingga akhir hayatnya.
     Ibu Salindri adalah generasi keenam dari Apolos. Di sekitar makam Imam Bonjol sekarang ini selain didiami oleh keluarga Ibu Salindri, juga oleh sekitar 50 orang lainnya sebagai kerabat keturunan Apolos, si pengikut sang Imam.
     Mengakhiri ziarah di sore hari penghujung bulan Maret 2015 itu, saya sampaikan terimakasih yang tak terhingga untuk Bapak Raymond J.Liaw yang telah menunjukkan jalan sekaligus mengantarkan hingga saya berkesempatan mampir di makam salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Kebaikan hati beliau yang tulus yang membuat saya merasa tidak pernah cukup bila hanya sekadar menyampaikan ucapan untuk rasa terimakasih yang tak terhingga. Semoga semua kebaikan beliau dibalas oleh-Nya dengan limpahan kesehatan dan kebaikan di perjalanan hidup beliau selanjutnya.

Luar biasa sekali rasanya berkesempatan bersujud di atas batu itu. Saya merasakan kekuatan auranya yang menenangkan suasana hati dan pikiran. Khusyuk tentu saja karenanya. Sungguh rasa yang saya rasakan menggelitik kerinduan untuk kembali dan kembali bersujud di atas batu itu

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.