Banyak orang menolak gagasan evolusi karena mereka membayangkan kehidupan lahir dari kebetulan murni. Bagaimana mungkin mata yang rumit terbentuk hanya karena lemparan dadu kosmik? Jika benar segalanya acak, peluang terbentuknya sesuatu seindah retina atau setepat sayap kupu-kupu hampir sama dengan peluang huruf-huruf dari mesin tik acak menyusun puisi Shakespeare. Hampir nol.
Di sinilah sering terjadi salah paham. Evolusi memang dimulai dari variasi yang acak, tapi keberlanjutannya tidak acak sama sekali. Di titik ini, seleksi alam masuk sebagai tangan halus yang penuh kesabaran. Ia tidak memilih dalam satu kali undian besar, melainkan menyaring langkah-langkah kecil, generasi demi generasi. Prosesnya kumulatif. Satu perubahan kecil yang berguna akan bertahan, diturunkan, lalu ditambah lagi oleh perubahan kecil berikutnya.
Bayangkan kita diminta menulis kata EVOLUSI dengan cara menekan tombol acak di papan ketik. Kemungkinannya sangat tipis untuk berhasil. Tapi jika setiap kali muncul huruf yang benar kita simpan, lalu hanya mengacak sisanya, maka dalam beberapa puluh percobaan kata itu bisa muncul sempurna. Bukan karena kebetulan besar, melainkan karena seleksi kumulatif yang mengarahkan langkah-langkah kecil menuju hasil yang tampak mustahil.
Mata adalah contoh yang sering diperdebatkan. “Untuk apa setengah mata?” kata sebagian orang, seolah mata hanya berguna jika sudah sempurna. Tapi kenyataannya, bahkan seberkas jaringan yang hanya bisa membedakan terang dan gelap sudah memberi keuntungan bertahan hidup. Dari situ, sedikit demi sedikit, jaringan itu melengkung, lalu membentuk lensa sederhana, kemudian semakin rumit hingga menjadi mata elang yang mampu melihat seekor tikus dari ketinggian. Tiap tahap ada gunanya, tiap peningkatan kecil meningkatkan peluang bertahan.
Inilah keajaiban seleksi alam kumulatif. Ia tidak menuntut kebetulan besar yang langsung melahirkan kompleksitas, melainkan memelihara kebetulan kecil yang bermanfaat. Bayangkan seorang pemahat yang tidak tahu apa yang sedang ia bentuk. Ia hanya menyingkirkan pecahan batu yang tampak rapuh, menyisakan bagian yang lebih kuat. Setelah jutaan ketukan, tanpa pernah tahu tujuan akhirnya, tiba-tiba terbentuklah patung yang menakjubkan.
Ketika orang berkata “itu terlalu kompleks untuk terjadi kebetulan,” mereka sesungguhnya sedang berbicara tentang kebetulan sekali pukul. Padahal seleksi alam bukan sekali pukul. Ia adalah mesin yang sabar, menumpuk perubahan demi perubahan, dan dari akumulasi itu lahirlah kompleksitas. Bukan dari satu kejutan, melainkan dari kesetiaan pada langkah-langkah kecil yang terus dipelihara.
Dengan cara inilah kehidupan menjelma. Dari molekul sederhana, lahir organisme bersel tunggal, lalu perlahan menjadi makhluk yang bisa berenang, merayap, berlari, dan berpikir. Semua bukan karena keberuntungan besar, tapi karena ada mekanisme yang terus-menerus menyingkirkan kegagalan dan menyimpan keberhasilan. Jika kebetulan murni ibarat undian lotre yang hampir mustahil dimenangkan, maka seleksi alam kumulatif ibarat investasi kecil yang sabar—dan pada akhirnya, ia membangun kekayaan yang tak terbayangkan.
Posting Komentar
...