Kita hidup di dunia yang penuh dengan bentuk rumit. Ada sarang lebah dengan pola segi enam yang nyaris sempurna. Ada bunga anggrek yang seolah tahu cara memikat serangga dengan warna dan aroma yang tepat. Ada otak manusia dengan jaringan miliaran sel yang saling terhubung, memungkinkan kita menulis puisi, membangun jembatan, atau sekadar merindukan seseorang. Semua itu tampak begitu tertata, sehingga mudah sekali bagi kita untuk mengira: pasti ada perancang di baliknya.
Namun Dawkins menunjukkan bahwa kompleksitas tidak selalu lahir dari desain yang disengaja. Justru, keindahan yang kita lihat adalah hasil dari proses buta, seleksi alam, yang hanya mempertahankan apa yang bekerja dan membiarkan yang gagal lenyap. Tidak ada rencana jangka panjang, tidak ada gambar arsitek yang digantung di papan, hanya seleksi yang sabar dan waktu yang sangat panjang.
Ambil contoh sarang lebah. Bentuk segi enam bukanlah pilihan sadar lebah untuk “hemat bahan bangunan”. Pola itu muncul karena hukum sederhana: lilin yang lunak cenderung menekan satu sama lain hingga membentuk sudut-sudut paling efisien. Lebah hanya mengikuti naluri membuat wadah, lalu fisika melakukan sisanya. Yang tampak seperti perhitungan insinyur jenius ternyata lahir dari hukum alam yang tanpa niat.
Atau lihat sayap kupu-kupu. Warnanya sering terlihat seperti lukisan halus yang penuh maksud, ada pola yang mirip mata untuk menakut-nakuti predator, ada kilauan untuk menarik pasangan. Tetapi semua itu lahir dari variasi kecil dalam pigmen dan bentuk sisik sayap, lalu dipilah oleh seleksi alam. Seekor kupu-kupu dengan pola yang lebih menakutkan memiliki peluang lebih besar bertahan, dan pewarnaan itu pun diwariskan. Dari akumulasi banyak sekali kebetulan yang berguna, muncullah keindahan yang tampak seperti lukisan seorang pelukis agung.
Yang paling menakjubkan tentu otak manusia. Kita sering mengira otak dirancang khusus untuk berpikir abstrak, menulis filsafat, atau membuat matematika. Padahal kemampuan-kemampuan itu adalah produk sampingan dari seleksi untuk bertahan hidup. Otak awalnya hanya perlu cukup pintar untuk mencari makan, mengingat jalur, mengenali wajah, atau mengatur hidup bersama kelompok. Dari sana, perlahan-lahan muncul kemampuan bahasa, seni, hingga sains. Tidak ada perancang yang duduk sambil berkata: mari kita buat makhluk yang bisa memahami relativitas. Semuanya lahir dari perluasan kapasitas yang berguna dalam konteks sederhana, lalu berlipat-lipat.
Mitos bahwa kompleksitas harus punya perancang lahir dari kebiasaan manusia sendiri. Kita terbiasa dengan benda buatan—jam, jembatan, rumah—yang memang selalu ada pembuatnya. Maka ketika kita melihat hal yang lebih rumit, kita dengan mudah mengasumsikan pola yang sama. Padahal alam bekerja dengan cara berbeda. Ia tidak “membuat” sekaligus, ia menyeleksi perlahan. Yang tampak seperti karya seorang desainer jenius sesungguhnya adalah hasil sampingan dari jutaan kegagalan yang tidak bertahan.
Kompleksitas tanpa desain mengajarkan kita dua hal. Pertama, bahwa kita tidak perlu seorang arsitek untuk menjelaskan keindahan hidup. Kedua, bahwa keindahan justru lebih menakjubkan ketika kita tahu ia lahir dari kebutaan murni alam. Bayangkan sebuah simfoni megah yang bukan ditulis oleh seorang komponis, melainkan terbentuk dari dentingan nada yang kacau, lalu perlahan-lahan dipilah oleh waktu hingga terdengar indah. Sulit dipercaya, tetapi begitulah cara alam memainkan musiknya.
Posting Komentar
...