Hidup adalah—

     Pesta itu telah dimulai jauh sebelum Anda tiba, dan entah siapa yang pertama kali mengundang mereka semua ke dalam ruangan ini. Satu yang pasti, atmosfer di dalamnya begitu kental dengan pemikiran yang berkelindan, seolah logika dan absurditas menari bersama dalam harmoni yang aneh. Nietzsche menari di atas meja, mengangkat gelas anggur sambil tertawa terbahak-bahak tentang kehancuran segala kepastian. Di sudut ruangan, Schopenhauer duduk dengan ekspresi muram, lebih memilih tenggelam dalam keheningan batinnya daripada terlibat dalam hiruk-pikuk tersebut.

     Sementara itu, Gandhi mencoba menyanyikan lagu tentang cinta dan kedamaian, namun suaranya tenggelam dalam orasi meledak-ledak Marx yang mengutuk kapitalisme, sementara angka-angka saham berkedip di layar belakangnya seperti bintang-bintang yang sinis. Freud, dengan jas yang kusut dan kacamata miring, sibuk membolak-balik tumpukan mimpi buruk yang dikumpulkannya dari para tamu, mencoba menafsirkan arti tersembunyi di balik simbol-simbol gelap yang menghantui mereka.

     Di luar jendela, di bawah derasnya hujan, Kafka berdiri sendirian. Matanya terpaku pada layar ponsel yang terus bergetar dengan notifikasi dari sistem yang tak pernah benar-benar ia pahami. Mungkin hanya dia yang menyadari betapa absurdnya malam ini—dan betapa tak terelakkannya absurditas itu.

     Anda melangkah masuk, merasa seolah memasuki dimensi lain di mana batas-batas logika telah melebur menjadi arus pikiran yang liar. Dengan suara nyaris tenggelam di tengah riuh rendah diskusi yang berubah menjadi kekacauan intelektual, Anda bertanya, "Apa itu hidup?"

     Dostoevsky menatap Anda dengan mata yang menyala, seperti api yang membara di tengah malam gelap. Tiba-tiba, ia menyambar kerah baju Anda, suaranya bergetar penuh intensitas, "Neraka," katanya, "tetapi kau harus mencintai neraka ini, dengan semua jeritannya!" Di sudut lain, Picasso berhenti sejenak dari melukis wajah-wajah yang terus berubah di kanvasnya, menyeringai sambil berkata, "Kau terpecah-pecah, tapi di situlah keindahannya." Einstein, duduk dekat papan tulis penuh persamaan rumit, menggumam sambil menyesap kopi dingin, "Keindahan adalah persamaan yang belum terpecahkan."

     Tiba-tiba, hologram Steve Jobs muncul dari iPhone di meja. Dengan suara tenang namun penuh keyakinan, ia menyela, "Persamaan itu akan terjawab di versi iOS berikutnya." Anda mencoba melarikan diri dari absurditas ini, tetapi kaki Anda terasa berat. Akar-akar buku Aristoteles yang berserakan menjalar, mencengkeram pergelangan Anda. Sebuah suara berbisik dari entah di mana, "Pikiran... hanya pikiran yang bisa membebaskanmu."

     Nietzsche tertawa histeris, mengangkat botol anggurnya, "Bebaskan diri dari pikiran! Bakar semua buku!" Namun sebelum Anda sempat merespon, lampu tiba-tiba padam.

     Dalam kegelapan, suara-suara mulai berbisik. Freud dengan nada dalam berkata, "Kau takut gelap karena itu mengingatkanmu pada rahim." Marx menimpali dengan semangat, "Gelap adalah kondisi proletar yang teralienasi dari sumber cahaya!" Kafka, hampir tak terdengar, berbisik lirih, "Gelap... adalah ruang ujian dengan soal yang tak pernah diberikan."

     Di tengah kebingungan, ponsel Anda menyala, layarnya menyilaukan mata. Notifikasi muncul: "Anda diundang ke pertemuan penting tentang makna hidup. Konfirmasi kehadiran: Ya  Tidak."

     Dostoevsky selalu menulis dengan darah. Dalam novelnya, hidup bukan sekadar cerita, tetapi luka terbuka yang dipamerkan agar dunia melihat isinya. Sang narator dalam Catatan dari Bawah Tanah berteriak, "Aku sakit... tapi aku tak mau disembuhkan!" Ia menolak penyembuhan sederhana atas kompleksitas eksistensi manusia.

     Di kafe yang remang, ia berbincang dengan Ivan Karamazov yang menuangkan vodka ke gelasnya dengan tatapan kosong. "Jika Tuhan mati," kata Ivan, "apakah kita boleh membunuh anak kecil demi kebahagiaan universal?" Dostoevsky menatapnya dalam, menghela napas, "Itulah neraka—kesunyian tanpa jawaban."

     Gandhi, duduk tak jauh, mengaduk tehnya dengan tenang. "Cinta," ujarnya lembut, "adalah jawaban yang tak memerlukan pertanyaan." Namun Nietzsche kembali meledak dalam tawa. "Tuhan sudah mati!" teriaknya penuh gairah. "Hidup adalah permainan, dan hanya mereka yang berani menciptakan aturannya yang akan menang!"

     Di tengah keramaian klub malam yang gemerlap, Nietzsche berdiri di atas DJ booth, meneriakkan isi Demikianlah Sabda Zarathustra kepada massa yang terpukau. "Kalian sibuk mencari makna, sampai lupa bahwa makna harus diciptakan!" Schopenhauer, di sudut ruangan, menggeleng sambil menyesap minumannya. "Permainan? Hidup adalah keinginan tanpa akhir yang tak pernah terpenuhi."

     Freud, di kliniknya yang pengap, mendengarkan pasiennya berbicara tentang mimpi ular dan menara. "Ular itu," katanya, "adalah hasrat terdalammu. Menara adalah ambisimu akan kekuasaan. Dan Menara Eiffel? Bayangan ayahmu yang selalu kau cari." Marx tiba-tiba muncul, menentang dengan sengit, "Itu bukan tentang hasrat individu, Freud! Itu adalah simbol penindasan kelas!" Freud mengangkat bahu, "Setiap revolusi dimulai dari konflik dalam diri."

     Kafka, terperangkap dalam labirin pikirannya, menulis surat kepada ayahnya yang tak pernah sampai. Di stasiun kereta yang sepi, ia bertemu Jobs. "Apakah teknologi bisa menjawab semua pertanyaan?" tanyanya. Jobs tersenyum kecil, "Teknologi adalah cermin, tapi pertanyaanmu mungkin terlalu dalam untuk pantulannya." Kafka menatap jauh, "Mungkin jawabannya hilang bersama pertanyaannya."

    Saat pesta berakhir, ruangan itu sunyi. Gelas-gelas kosong berserakan, kursi-kursi terbalik, dinding-dinding penuh coretan dari tangan-tangan gelisah yang mencari makna. Anda berdiri sendirian, merasakan kehampaan yang aneh. Ponsel Anda bergetar; notifikasi terakhir muncul: "Pertanyaan 'Apa itu hidup?' telah dihapus oleh moderator. Alasan: melanggar pedoman komunitas." Anda menatap layar itu lama, lalu perlahan menekan tombol "Batal".

     Di dinding, lukisan Picasso yang terpotong-potong masih tersenyum misterius. "Lanjutkan," bisiknya samar. "Lanjutkan saja. Ini baru permulaan." Anda mengangguk kecil, berusaha beranjak. Namun sulit menggerakkan apapun, seakan tertindih gelap sangat pekat.

      Dihimpit kegelapan, Anda merasakan sesuatu dingin menyentuh kulit—tangan Kafka. "Tidak usah takut," bisiknya. "Kegelapan ini… hanya pendahuluan. Tiba-tiba, Anda tersadar di kamar sendiri. Jam dinding menunjukkan pukul 3:33. Di meja, ada secangkir kopi dingin dan kertas berisi satu kalimat: "Hidup adalah—"

     Di luar jendela, langit mulai terang. Burung-burung berkicau. Anda mendengar suara Hawking dari radio tua: "Harapan… selalu datang dengan fajar." Tapi di cermin, bayangan Anda sendiri menyeringai: "Fajar? Atau hanya lampu kota yang tak pernah mati?"

     Anda menuangkan kopi itu ke tanaman di sudut ruangan. "Minumlah,"  bisik Anda. "Mungkin kau lebih tahu artinya hidup."  Tanaman itu diam. Tapi di daunnya, Anda melihat tulisan kecil: "Terima kasih. Tapi aku lebih suka hujan."

     Anda tertawa. Di suatu tempat, Dostoevsky menangis. Di tempat lain, Nietzsche mengutuk. Tapi di sini, di kamar ini, hidup hanyalah secangkir kopi yang tumpah, seekor tanaman yang puitis, dan sebuah kalimat yang tak pernah selesai—

     "Hidup adalah—"  tanda hubung, dan mungkin, itu sudah cukup.

Hidup adalah permainan, dan hanya mereka yang berani menciptakan aturannya yang akan menang.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.