Bukan Karena Benar, Tapi Karena Bisa Salah

     Rasionalisme sejati lahir dari keberanian untuk salah dan kemauan untuk dikritik. Seperti kata Karl Popper, pemikiran tak akan pernah berkembang dalam ruang hampa pujian atau keheningan tanpa sanggahan. Tidak ada cahaya yang muncul dari kegelapan yang enggan dipertanyakan. Di situlah Popper berdiri—di antara reruntuhan absolutisme, dengan lentera keraguan di tangan dan tekad untuk mengusir dogma dari singgasananya.

     Dalam Awal Mula Rasionalisme, Popper tidak datang sebagai nabi yang membawa wahyu kebenaran, melainkan sebagai pengacau pesta yang datang terlambat namun membawa pertanyaan yang membuat tuan rumah berkeringat. Ia tidak meminta kita untuk percaya, tetapi justru memohon agar kita ragu—bahkan terhadap dirinya sendiri. Baginya, rasionalisme bukanlah iman yang tenang, melainkan gelisah yang berkelanjutan. Ia bukan soal membenarkan apa yang telah diketahui, tapi keberanian untuk mengakui bahwa apa yang kita ketahui bisa saja keliru—dan sangat mungkin demikian.

     Di antara heningnya ruang akademik yang kerap terlena dalam jargon dan konfirmasi, suara Popper terdengar seperti ketukan palu hakim yang mengganggu tidur panjang para pemuja kepastian. Ia menolak gagasan bahwa ilmu pengetahuan harus dibangun di atas batu fondasi yang tak tergoyahkan. Sebaliknya, ia mengusulkan bahwa fondasi terbaik adalah ketidaktetapan itu sendiri. Teori terbaik bukanlah yang paling benar, melainkan yang paling terbuka untuk dibantah. Dan bukankah ini ironis? Bahwa kekuatan sebuah teori terletak pada kelemahan yang bersedia ia tunjukkan?

     Jika Descartes mengawali rasionalisme dengan "cogito ergo sum" yang begitu pasti, Popper memilih untuk tidak begitu mudah percaya pada pikiran sendiri. Ia menantang semangat Cartesian itu dengan skeptisisme yang aktif. Di sinilah kita melihat kontras yang subtil namun tajam antara fondasi rasionalisme klasik dan rasionalisme kritis. Descartes ingin membangun menara dari batu bata kepastian. Popper hanya ingin memastikan bahwa menara itu tidak menimpa kita ketika realitas bergeser.

     Kita bisa membayangkan percakapan antara Popper dan Plato jika mereka duduk dalam satu ruang. Plato, dengan idealismenya, akan berkata bahwa dunia nyata hanyalah bayangan dari kebenaran hakiki yang tak terlihat. Popper, yang pernah menggambarkan Plato sebagai pendahulu totalitarianisme intelektual, mungkin hanya akan tersenyum tipis dan bertanya: “Tapi bagaimana Anda tahu bahwa bayangan itu tidak berubah bentuk karena lentera Anda sendiri?”

     Popper menyodorkan kepada kita gagasan bahwa ilmu berkembang bukan melalui pembuktian, melainkan melalui pemalsuan. Suatu teori harus menanggung risiko kehancuran agar bisa menjadi bagian dari wacana yang hidup. Tidak ada kemajuan tanpa kemungkinan jatuh. Paradoksnya: agar pemikiran bertahan, ia harus selalu dalam ancaman dibantah.

     Di sinilah terletak keindahan dan kekejaman epistemologi Popper: ia meminta kita jatuh cinta pada gagasan yang bersifat sementara, dan menyambut patah hati intelektual sebagai proses menuju pencerahan. Bukan hal yang mudah bagi pikiran yang dibesarkan dengan kecintaan pada stabilitas. Dunia mengajarkan kita untuk mencari kebenaran yang tetap, padahal Popper justru menyeret kita pada arus yang selalu mengalir, berubah, dan penuh pusaran kemungkinan salah.

     Tentu tidak semua filsuf bersedia bergandengan tangan dengan Popper dalam tarian epistemologis ini. Thomas Kuhn, misalnya, menyoroti bagaimana ilmu tidak bergerak dengan elegan melalui bantahan demi bantahan, melainkan melalui revolusi paradigmatik—ledakan yang mengganti kerangka berpikir lama dengan yang baru, terkadang bukan karena lebih benar, tetapi karena lebih dominan. Kuhn tidak serta-merta menolak logika falsifikasi Popper, namun ia menekankan bahwa dunia nyata sains lebih kacau dan penuh politik daripada yang dibayangkan oleh rasionalisme kritis.

     Sementara itu, Imre Lakatos mencoba menyambungkan keduanya, menciptakan jembatan antara falsifikasi dan dinamika program riset ilmiah. Lakatos, murid sekaligus pengkritik Popper, menganggap bahwa teori tidak bisa serta-merta ditinggalkan hanya karena satu bantahan; ia harus diuji dalam kerangka keseluruhan, diberi waktu, ruang, dan konteks. Ia seperti anak yang tak ingin membuang mainannya hanya karena satu roda copot.

     Namun tetap saja, semangat Popper tidak mudah dibunuh. Ia hidup dalam setiap perdebatan terbuka, dalam setiap seminar yang menerima pertanyaan sulit, dalam setiap makalah yang tidak menghindari kritik. Ia hadir ketika seorang peneliti mengatakan, “Saya tidak tahu pasti, tapi ini dugaan saya, dan saya siap jika ini terbukti keliru.”

     Rasionalisme kritis bukanlah metode; ia adalah sikap. Bukan prosedur teknis, melainkan keberanian eksistensial. Dalam dunia yang semakin gaduh dengan opini yang ingin selalu benar, rasionalisme ala Popper terasa seperti suara kecil yang tenang namun tajam, berkata: “Mungkin kita salah. Dan justru karena itulah kita terus berpikir.”

     Tentu, ini bukan ajakan untuk merayakan kebodohan atau menikmati kekeliruan sebagai hobi. Ini adalah seruan untuk tetap waspada terhadap kemapanan, baik dalam pikiran maupun keyakinan. Ia mengingatkan kita bahwa tak ada dogma yang lebih berbahaya daripada dogma kebenaran yang tidak bisa disentuh oleh kritik. Jika kita membentengi diri dari kemungkinan salah, kita telah menutup satu-satunya jalan menuju kebenaran yang lebih baik.

     Pada akhirnya, rasionalisme sejati bukanlah tentang menjadi benar, tapi tentang menjadi jujur terhadap kemungkinan salah. Dalam keheningan ruang belajar, atau dalam kegaduhan forum publik, semangat ini mestinya menjadi lilin yang tetap menyala. Popper, dengan segala keteguhannya, tidak menawarkan kita jawaban final, melainkan cara untuk terus bertanya. Dan bukankah dalam pertanyaan yang jujur, manusia menemukan martabat tertingginya?

Rasionalisme sejati lahir dari keberanian untuk salah dan kemauan untuk dikritik.Tidak ada cahaya yang muncul dari kegelapan yang enggan dipertanyakan

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.